Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi kebebasan berpendapat (Sora Shimazaki/Pexels.com)

Kebutuhan untuk melindungi kebebasan berekspresi dari penyensoran oleh negara atau perusahaan swasta sering kali dipakai sebagai argumen melawan regulasi terhadap ekspresi kebencian, terutama di ranah daring.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan fondasi hak asasi manusia dan pilar masyarakat yang demokratis.

Kebebasan ini mendukung hak-hak fundamental lainnya, seperti hak berkumpul secara damai, berpartisipasi dalam urusan publik, dan kebebasan beragama.

Tidak dapat disangkal bahwa media digital, termasuk media sosial, berkontribusi pada hak untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi serta ide.

Oleh karena itu, upaya legislatif untuk mengatur kebebasan berekspresi sering menimbulkan kekhawatiran bahwa pengendalian ujaran kebencian dapat mengekang perbedaan pendapat dan oposisi.

Untuk mengatasi ujaran kebencian, Perserikatan Bangsa-Bangsa mendorong lebih banyak ujaran positif dan menegaskan pentingnya penghormatan terhadap kebebasan berekspresi sebagai norma.

Karena itu, setiap pembatasan harus menjadi pengecualian yang bertujuan untuk mencegah bahaya dan memastikan kesetaraan serta partisipasi publik bagi semua orang.

Rencana Aksi Rabat PBB memberikan panduan kepada negara-negara mengenai perbedaan antara kebebasan berekspresi dan "hasutan" yang dapat berujung pada diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan, yang dilarang oleh hukum pidana.

Menentukan kapan potensi bahaya cukup signifikan untuk membenarkan larangan ujaran masih menjadi bahan perdebatan.

Namun, negara juga dapat menggunakan alternatif lain—seperti pendidikan dan promosi pesan positif—untuk menghadapi spektrum ekspresi kebencian, baik daring maupun luring.

Adnan Buyung Nasution dalam Nugraha (2013) menegaskan bahwa penghormatan terhadap kemanusiaan adalah pengakuan atas pluralisme dalam masyarakat melalui penghormatan terhadap keberagaman. 

Analisis sejumlah peneliti, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menunjukkan bahwa Pasal 23 Ayat (2) UU HAM menekankan bahwa kebebasan berpendapat harus memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara.

Unsur-unsur ini berfungsi sebagai batasan bagi masyarakat Indonesia dalam menggunakan hak kebebasan berpendapat.

Batasan-batasan ini seharusnya dianggap sebagai kewajiban bagi masyarakat Indonesia untuk memastikan terciptanya ketertiban.

Pembatasan ini bukan untuk mengekang kebebasan berpendapat, melainkan untuk menghormati hak asasi manusia individu dan kelompok, serta agar kebebasan tersebut tidak disalahgunakan sehingga merugikan orang lain.

Kebebasan berpendapat berbeda dengan ujaran kebencian. Kebebasan berpendapat dilindungi oleh konstitusi, sementara ujaran kebencian merupakan tindakan yang melanggar hukum.

Menurut Widayati (2018), ujaran kebencian memiliki niat jahat dan tujuan negatif, membedakannya dari ujaran umum yang tidak dimaksudkan untuk menimbulkan dampak buruk, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Ujaran kebencian adalah penyimpangan dari kebebasan berpendapat, yang juga memiliki batasan.

Meskipun kebebasan berpendapat dilindungi oleh UUD 1945, ujaran kebencian bersifat negatif dan ditujukan pada individu atau kelompok tertentu, sering kali menyangkut isu SARA.

Ujaran kebencian dapat menyebar dengan cepat di media sosial, terutama jika masyarakat terpancing untuk membagikannya sebagai respons yang penuh kebencian. 

Yayang Nanda Budiman