Indonesia merupakan negara dengan pengguna media sosial TikTok terbesar di dunia, jumlahnya mencapai 157 juta pengguna, mengalahkan Amerika Serikat. Namun, kehadiran TikTok di Indonesia tidak lepas dari kontroversi dan pro-kontra.
Usia pengguna pun didominasi oleh Gen Z (kelahiran tahun 1997-2012). Popularitas TikTok tetap saja tidak terlepas dari berbagai pendapat tentang dampak positif dan negatifnya. Terlebih manfaat penggunaan TikTok pada oleh generasi muda Indonesia.
Sejauh ini, media sosial TikTok memang menawarkan berbagai fitur menarik sehingga begitu sangat digemari baik di Indonesia dan dunia. Pengalaman di TikTok menawarkan kita untuk dapat membuat, mengedit, dan berbagi klip video pendek dengan dilengkapi dengan filter, efek, dan musik.
Pengguna TikTok bebas untuk membuat berbagai jenis konten mulai dari hiburan hingga edukasi. Maka tak jarang pula, TikTok bisa menciptakan berbagai tren yang menyebar luas dengan cepat, seperti menghasilkan istilah-istilah viral dalam kehidupan sehari-hari.
Ada juga yang tak kalah sering dimanfaatkan adalah dance challenges serta berbagai ekspresi lainnya. Tok Tok terbukti efektif mengundang partisipasi penggunanya untuk saling berbagi konten.
Menariknya, di kalangan anak muda terutama Gen Z, justru menggunakan TikTok tak sekadar hiburan. Mereka menggunakan platform tersebut untuk mencari informasi dan berita serupa mencari informasi di mesin mencari seperti Google. Hal itu diungkap oleh beberapa laporan, seperti disampaikan oleh perusahaan riset YPluse.
Hal ini lantaran TikTok menawarkan berbagai konten informatif ringan, mudah dicerna, meliputi penjelasan tentang isu-isu terkini, panduan (tutorial), hingga ulasan produk. Namun demikian, tetap saja ada risiko terkait dengan keberadaan konten yang tidak terverifikasi atau cenderung menyesatkan.
Hal ini tidak terlepas dari penyalahgunaan oleh pengguna dalam bermedia sosial. TikTok sering kali dimanfaatkan untuk konten kontroversial, provokatif, atau bahkan merugikan.
Mari kita sebut saja beberapa di antaranya, salah satu fenomena terbaru yang menyita perhatian adalah fenomena Joget Sadbor, yang dipelopori oleh Gunawan, seorang mantan penjahit asal Sukabumi.
Sadbor memulai tren dengan berjoget diiringi musik dan mengajak warga kampungnya untuk berpartisipasi melalui siaran langsung.
Namun, fenomena ini kemudian menjadi kontroversial setelah terungkap bahwa beberapa pemberi "gift" atau sumbangan selama siaran langsung berasal dari akun-akun yang terafiliasi dengan judi online.
Hal ini menimbulkan dugaan bahwa Sadbor dan rekannya sedang mempromosikan judi online melalui TikTok hingga berujung penangkapan mereka.
Selain itu, hal kontroversial lainnya adalah saat pengguna TikTok “menyerang” jurnalis senior Najwa Shihab. Serangan ini bermula setelah Najwa Shihab mengkritik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dinilai tidak menggunakan pesawat komersial saat kembali ke Solo setelah pelantikan Prabowo Subianto pada 20 Oktober 2024.
Najwa kala itu menyebut “Jokowi nebeng pesawat TNI AU”. Ucapan Najwa itu langsung menuai komentar jahat, ujaran angkaian serangan pribadi dari warga TikTok, termasuk komentar berbau SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan).
Komentar itu di antaranya seperti menyerukan untuk memboikot Najwa Shihab, dicap sebagai "provokator" hingga diminta untuk "kembali ke Yaman".
Sekilas, serangan-serangan kepada Najwa Shihab ini berkembang tampak seperti upaya untuk "membunuh karakter" Najwa melalui penyebaran ujaran kebencian. Betapa mengerikannya bukan saat warganet menyikapi suatu hal tersebut.
Dari contoh-contoh fenomena di atas, kita dapat melihat bahwa penggunaan media sosial senantiasa membawa kita pada perumpamaan sebuah pisau.
Pisau memiliki dua mata sisi yang bisa bermanfaat atau merugikan. Namun salah satu kekhawatiran terbesar terkait penggunaan media sosial TikTok adalah dampaknya terhadap mentalitas dan perilaku pengguna terutama generasi muda.
Di sisi lain, TikTok sebagai media sosial juga sudah memiliki dan menerapkan aturan moderasi dan kebijakan untuk mengontrol konten yang diterbitkan.
Akan tetapi, masih kerap ditemukan dan muncul konten yang tidak sesuai dengan standar etika atau bahkan berpotensi merusak. Sebut saja konten-konten bernada provokatif, hinaan, konten memicu ujaran kebencian, atau bahkan konten ekstrem seringkali menjadi viral tanpa ada pemantauan cukup.
Penelitian telah menunjukkan bahwa paparan terhadap konten-konten seperti disebut sebelumnya dikhawatirkan akan berdampak buruk pada kecerdasan emosional dan mental seseorang. Terlebih pada orang-orang muda berusia remaja atau dewasa muda yang masih dalam tahap perkembangan.
Bahkan, beberapa studi juga mengungkap bahwa ketika pengguna sering terpapar konten yang tak substansial, maka dapat mengurangi hingga menghilangkan daya kritis serta empati. Selain itu, bisa mempengaruhi dan mengarahkan pada sikap lebih permisif pada konten negatif.
Penutup
TikTok menjadi sebuah perubahan budaya dan fenomena global seiring zaman yang tak terelakkan. Namun sebagai sebuah teknologi, aplikasi tersebut melahirkan berbagai sisi positif juga negatif bagi para pengguna.
Salah satunya tidak terlepas dari kontroversi dan sisi negatif, terutama terkait dengan penyalahgunaan platform seperti halnya aktivitas ilegal (judi), ujaran kebencian, konten non edukatif, penyebaran hoaks, serangan terhadap figur publik hingga efeknya terhadap mental generasi muda.
Dengan demikian, sangat penting dan bijak bagi kita, baik diri sendiri atau sebagai orang tua untuk menyadari dampak ini. Meskipun sudah ada regulasi, mekanisme yang mendukung dalam memantau dan mengontrol konten dari penyedianya, kita tetap harus aware.
Edukasi, literasi bagi para pengguna, utamanya anak muda, menjadi penting dalam mengurangi dampak psikologis media sosial. Harapannya bermedia sosial seperti halnya platform TikTok secara positif dapat bermanfaat bagi perkembangan diri, mental dan sosialnya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Lapor Mas Wapres ala Gibran: Kebijakan Strategis atau Populis?
-
Ujian Nasional dan Tantangan Integritas Pendidikan Indonesia
-
Tantangan Literasi di Era Pesatnya Teknologi Informasi
-
Tren Media Sosial dan Fenomena Enggan Menikah di Kalangan Anak Muda
-
Calon Kepala Daerah Keluarkan Pernyataan Seksis dan Nuansa Patriarki, Pilkada 2024 Sarat Bias Gender?
Artikel Terkait
-
Awasi Judi Online, Disdikpora Cianjur Razia HP Siswa & Guru di Sekolah
-
Ulasan Buku Karya Rebecca Hagelin: Tips Melindungi Anak dari Konten Negatif
-
Cegah Anak Kecanduan Medsos, Menteri PPPA Dorong Ajarkan Permainan Tradisional
-
Setelah Sadbor, Netizen Tuntut Ivan Sugianto Dibotaki dan Dihukum Serupa
-
Jebakan Maskulinitas di Balik Tren Video Laki-laki Tidak Bercerita
Kolom
-
Viral Lomba Mirip Nicholas Saputra, Kok Bisa Kita Kembar dengan Orang Lain?
-
Mapel Coding dan AI untuk SD, Kebijakan FOMO atau Kebutuhan Pendidikan?
-
Miris! Ribuan Anggota TNI-Polri Terseret Judi Online, Sinyal Pembenahan?
-
Lapor Mas Wapres ala Gibran: Kebijakan Strategis atau Populis?
-
Tantangan Ujian Nasional Berbasis Komputer: Ketimpangan Akses, Perspektif Guru, dan Alternatif Penilaian yang Adil
Terkini
-
Indonesia vs Arab Saudi: Momen Tepat bagi Pasukan Garuda untuk Realisasikan Kemenangan Perdana!
-
Menjajal Kembali Pisang Goreng Bandung di Kota Jambi, Topping Melimpah
-
3 Film Paul Mescal yang Pantang Buat Dilewatkan, Terbaru Ada Gladiator II
-
Aurora Ribero Terpilih Bintangi Film 'Komang', Kisah Nyata Raim Laode
-
Arab Saudi Akui Indonesia Berbahaya dari Skema Set Piece, Waspadai Arhan?