Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | al mahfud
Buku karya Rebecca Hagelin (DocPribadi/Rebecca Hagelin)

Saat ini dapat dikatakan konten digital menjadi hal yang paling memengaruhi kehidupan anak-anak atau kalangan remaja kita. Hampir setiap saat, anak-anak dan remaja kita melihat berbagai konten dari perangkat di genggaman mereka; smartphone, iPods, tablet, dll.

Konten-konten digital yang dikonsumsi anak-anak kita begitu beragam, mulai berbentuk gambar, video, lagu atau suara, teks, dll. Masalahnya, tak sedikit konten yang cenderung berisi hal-hal negatif seperti kekerasan, percintaan yang mengarah ke seks, pornografi, peperangan dan kejahatan.

Melihat kondisi tersebut, Rebecca Hagelin, seorang kolumnis masalah keluarga, budaya, dan isu-isu media, lewat buku ini berusaha membuka mata kita untuk menyadari bahaya berbagai konten media.

Berdasarkan suatu laporan yang dikutip buku ini, remaja masa kini menghabiskan waktu 6,5-8,5 jam setiap hari di media dengan beberapa hal yang dilakukan sekaligus (misalnya, mendengarkan iPods sambil berselancar di internet atau bermain game sambil menonton televisi). Masalahnya, banyak orang tua yang tak tahu dengan bahaya yang mengancam anak remaja mereka lewat interaksinya dengan berbagai konten media tersebut.

Di dalam buku ini, penulis tak sekadar menyebutkan bahaya konten media bagi remaja, namun ia mencoba merunut persoalan dari akarnya: mengajak kita memahami bagaimana cara atau strategi para pemasar produk atau konten media dalam membidik para anak muda kita. Dari sana, orang tua akan melihat inti persoalan dan bisa menentukan langkah yang bisa diambil secara lebih tepat dan efektif agar anak terhindar dari dampak buruknya.

Menurut Hagelin, kebanyakan pemasar membidik remaja dengan membangkitkan hormon dan emosi mereka yang masih menggelora dengan membuat acara-acara atau konten yang merangsang hingga memicu adrenalin dan membuat ketagihan. Para pemasar juga mengajarkan pandangan hidup yang sangat materialis, yang membuat anak-anak muda percaya bahwa kebahagiaan bisa ditemukan lewat pakaian baru yang bergaya, musik “panas” terbaru, permainan (game) baru yang mengasyikkan, dll (hlm 54-57).

Salah satu poin yang ditekankan di sini, bahwa iklan memiliki andil besar dalam memengaruh remaja. Jadi, Setiap orang tua perlu memberi bekal anak dalam memandang iklan. Menangkal pengaruh iklan media bisa dilakukan dengan membantu anak mempelajari iklan itu sendiri. Penulis memberi beberapa pertanyaan yang bisa diajukan orang tua pada anak remaja mereka dalam mempelajari iklan. Misalnya, “Apa yang sebenarnya dijual pihak sponsor? Apakah produk itu sendiri? Atau hanya image yang dikaitkan pada produk tersebut?” atau “Apakah saya benar-benar membutuhkan produk ini? Atau pihak sponsor sekadar menciptakan kebutuhan untuk produk ini?” (hlm 60-61).

Selain iklan, remaja juga sangat dipengaruhi tokoh idola. Di sini, penting bagi orang tua memberi pengertian tentang makna pahlawan yang patut diidolakan. Janet, pengajar sistem sekolah di New York pernah melakukan penelitian dengan meminta anak didiknya menggambar wajah sosok idola mereka. Janet terkejut melihat gambar-gambar yang muncul; Madona, 50 Cent, James Bond, dll. Bahkan ada murid yang ingin menjadi “pembunuh bayaran” (hlm 254). Ini memperlihatkan betapa mengkhawatirkan pengaruh konten media bagi perkembangan anak.

Penulis dalam buku ini memberikan pandangan bahwa orang tua sebaiknya bukan fokus pada membolehkan atau melarang. Namun lebih pada menumbuhkan kesadaran akan nilai-nilai moral yang harus dipegang agar menjadi karakternya hingga dewasa. Orang tua harus banyak berkomunikasi untuk membangun kesadaran agar anak menjauhi sesuatu bukan karena dilarang, namun karena memang sadar dampak negatifnya.

Sebagai contoh, saat mendampingi anak menonton televisi atau suatu konten dan muncul adegan tak layak ditonton, orang tua harus menjelaskan pada anak. “Tujuan Anda adalah membantu mereka (anak) menumbuhkan pemahaman dan penilaian secara bertahap agar mereka mampu berdiri sendiri dalam mengambil keputusan-keputusan yang dilandasi moral,” tulis Hagelin (hlm 24-25).

Penulis juga menekankan pentingnya orang tua agar aktif mengambil peran dalam pendidikan anak. Orang tua tak boleh lepas tangan dengan hanya membiayai anak sekolah dan menyerahkan anak sepenuhnya pada guru atau pendidikan sekolah. Selain membangun lingkungan keluarga yang hangat dan komunikatif, penting bagi orang tua melakukan tindakan-tindakan detail. Seperti memastikan keamanan konten-konten dalam perangkat yang dipakai anak remaja, membaca isi buku pelajaran anak, sampai berinteraksi dan berkoordinasi dengan para guru di sekolah.

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

al mahfud