Konsep ujian open book sering kali dipuji sebagai alternatif cerdas untuk menggantikan metode ujian tradisional yang hanya mengukur kemampuan menghafal. Dengan akses penuh ke buku, catatan, atau bahkan materi digital, ujian digadang-gadang ini mampu melatih kemampuan berpikir kritis siswa. Tapi, benarkah efektivitasnya sesuai harapan?
Sebagian besar dosen berargumen bahwa ujian open book mendorong siswa untuk memahami konsep daripada sekadar menghafal. Soal-soal yang diberikan biasanya bersifat analitis, memahami interpretasi dan penerapan teori dalam konteks tertentu. Namun, hal ini hanya efektif jika soal dirancang dengan benar—mengutamakan pemecahan masalah daripada fakta-fakta yang bisa ditemukan di buku.
Sayangnya, di sisi siswa, ujian open book sering dianggap "kesempatan emas" untuk menghindari belajar secara mendalam. Dengan pola pikir "semua penjelasan ada di buku," banyak siswa akhirnya hanya fokus mencari informasi di tengah ujian, alih-alih benar-benar memahami konsep sebelumnya. Akibatnya, waktu ujian habis hanya untuk membalik-balik buku tanpa menghasilkan jawaban yang substansial.
Faktor lain yang menentukan efektivitas ujian open book adalah kesiapan siswa dalam memanfaatkan materi. Ujian ini tidak berarti siswa bisa datang dengan persiapan minimal. Sebaliknya, keberhasilan ujian open book bergantung pada kemampuan siswa menyusun dan mengorganisasi informasi secara efisien sebelum ujian dimulai. Namun kenyataannya, tidak semua siswa menyadari hal ini.
Dari sisi dosen, tantangan lain muncul dalam merancang soal. Pertanyaan yang terlalu kompleks bisa membuat siswa frustrasi, sementara soal yang terlalu sederhana malah membuat ujian kehilangan esensinya. Dosen harus memastikan soal benar-benar menguji pemahaman, bukan sekadar kecepatan mencari jawaban di buku.
Jadi, apakah ujian open book benar-benar meningkatkan kemampuan berpikir kritis? Jawabannya, tergantung. Jika siswa siap secara mental dan dosen mampu merancang soal dengan baik, ujian ini bisa menjadi alat belajar yang efektif. Namun, tanpa persiapan dan pola pikir yang tepat, ujian open book bisa menjadi ajang mencari "jalan pintas" baru.
Ujian tapi open book adalah tentang bagaimana memanfaatkan pengetahuan yang ada untuk memecahkan masalah. Jadi, alih-alih hanya mengandalkan buku, siswa harus menjadikan ujian ini sebagai peluang untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan penerapan teori. Dengan demikian, ujian open book dapat benar-benar memenuhi tujuan sebagai metode belajar yang lebih baik.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Belanja Cerdas dengan Cashback! Cara Belanja Hemat di Era Digital
-
Jurusan Kuliah Bukan Tongkat Sulap, Kenapa Harus Dibohongi?
-
Nilai Nomor Sekian! Yang Penting Tetap Waras dan Tugas Kelar, Setuju?
-
Transformasi Pola Komunikasi Keluarga dari Telepon Rumah ke Chat dan Video Call
-
Detak di Pergelangan! Bagaimana Smartwatch Merawat Jiwa Kita?
Artikel Terkait
-
Inspiratif! Ulasan Buku Antologi Puisi 'Kita Hanya Sesingkat Kata Rindu'
-
Novel Bungkam Suara: Memberikan Ruang bagi Individu untuk Berpendapat
-
Belajar Merancang Sebuah Bisnis dari Buku She Minds Her Own Business
-
Cerdas dalam Berkendara Lewat Buku Jangan Panik! Edisi 4
-
Menyesali Pilihan Hidup di Masa Lalu dalam Novel The Book of Two Ways
Kolom
-
Dari Era Kolonial ke AI: Mampukah Indonesia Benar-Benar Swasembada Gula?
-
Kurikulum AI: Lompatan Pendidikan atau Jurang Ketimpangan Baru?
-
KIP Kuliah dan Budaya Gengsi: Bantuan Pendidikan yang Melenceng dari Tujuan
-
Budaya Sibaliparriq: Jalinan Solidaritas Sosial dalam Bingkai Budaya Mandar
-
ENDIKUP dan Pidato Terakhir Gustiwiw: Perpisahan yang Tak Pernah Benar Usai
Terkini
-
4 Facial Wash Berbahan Aloe Vera, Jaga Kelembapan Kulit untuk Cegah Iritasi
-
Honor 400 vs Honor 400 Lite: Dilema Kaum Mendang-mending, Pilih Mana Nih?
-
Media Vietnam Kritik Kuota 11 Pemain Asing di Liga Indonesia karena Hal ini
-
Lama Dinanti, Ragebound Hidupkan Kembali Ninja Gaiden dengan Gaya Klasik yang Brutal
-
Gaya Makin Standout! Intip 5 Ide Layering Outfit ala Milk Pansa Vosbein