Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | hanifati radhia
ilustrasi ibu pekerja lepas dan mengasuh di rumah (Pexels/Ketut Subiyanto)

Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang diperingati setiap tanggal 25 November-10 Desember, menjadi momentum tepat untuk menyuarakan perjuangan perempuan di berbagai lini kehidupan. Salah satunya yang dekat dengan keseharian adalah perempuan di dunia kerja. Selama ini perempuan harus menanggung beban ganda di rumah tangga. Sebut saja, mereka acapkali didera kesibukan yang tak terbatas mulai dari pekerjaan profesional hingga tanggung jawab rumah tangga.

Saya pribadi, misalnya, seorang ibu rumah tangga. Saya telah berkeluarga dan memiliki seorang anak balita. Selama ini, sejak berhenti dari pekerjaan di kantor beberapa tahun lalu, menyibukkan diri dengan mengurus suami dan anak di rumah.

Namun adakalanya, saya ingin mengaktualisasikan diri dan menghasilkan uang dari rumah. Meski tak banyak atau besar, uang itu bisa saya habiskan untuk sekedar jajan atau membeli skincare yang dibutuhkan. Saya mulai bekerja menjadi freelance yakni penulis lepas dengan mengirimkan artikel ke beberapa media daring seperti Yoursay ini. Selain itu, saya juga belajar menggeluti dunia content creator setahun belakangan ini.

Pada awalnya, saya pikir ini adalah terbaik. Tetap bekerja atau mengisi waktu luang dengan keterampilan yang dimiliki, sekaligus bisa menjaga anak di rumah. Tetapi lambat laun, saya merasa menghadapi dilema dan konflik peran tersendiri.

Glorifikasi Supermom dan Beban Ganda yang Tersembunyi

Tak pelak, saya terbayang akan diri saya harus mampu menjadi seorang "Supermom" yakni menjadi ibu yang sempurna, mampu melakukan segalanya—dari urusan mendidik anak, mengurus rumah dan bekerja. Supermon, gelar yang disematkan, sebuah sindrom yang membuat para ibu mencoba melakukan semuanya karena tuntutan.

Padahal, ibu jugalah seorang manusia biasa yang punya keterbatasan dan memerlukan kebahagiaan. Bayangkan lagi, dengan gelar dan latar belakang pendidikan tinggi saya, saya merasa dihantui rasa bersalah jika itu semua sia-sia. “sayang gelarnya mbak”, begitulah kira-kira pernyataan yang dilontarkan oleh tenaga kesehatan, ketika saya datang ke Puskesmas.

Hal itu terjadi saat saya ditanya untuk kebutuhan administrasi sebelum pemeriksaan kesehatan. Pekerjaan saat ini: ibu rumah tangga. Saya jawab seadanya, daripada saya susah payah harus menjelaskan apa itu freelance. Realitanya, sebagai seorang pekerja lepas pun, intensitas saya di rumah lebih besar dan tampak daripada tenggelam dalam kesibukan mengetik tulisan.

Realitanya di lapangan, berdasarkan data BPS, jumlah pekerja lepas di Indonesia mencapai 46,47 juta orang atau sekitar 32% dari total angkatan kerja. Terjadi penambahan sekitar 4,3 juta orang dalam setahun. Artinya, pekerja lepas atau freelancer ini terus mengalami pertumbuhan.Tak pelak lagi, menjadi pilihan bagi perempuan sekaligus ibu rumah tangga seperti saya.

Di sisi lain, tak salah jika pekerjaan lepas (freelance) sering kali dianggap sebagai pekerjaan yang "fleksibel" dan "ringan". Namun demikian, meski tidak terikat jam dan peraturan kantor tetap saja ada tekanan. Seperti proses menulis, tidak bisa sekali jadi. Selalu ada tenggat waktu, ada kompetisi, ada proses mengumpulkan data, fakta, menyusun, menulis hingga mengumpulkan point atau reward agar bisa redeem.

Tidak mudah melakukan itu semua, bahkan terkadang anak ingin selalu berdekatan dengan ibunya. Bermain atau melakukan sesuatu bersama. Belum lagi kondisi rumah yang tidak bisa dipastikan bersih setiap saat, atau makanan yang siap sedia.

Alhasil, bahwa beban ganda inilah seringkali tak tampak dari tatapan masyarakat. Sebisa mungkin saya menyeimbangkan keduanya. Pekerjaan sendiri dan pekerjaan rumah. Tak jarang, saya terjebak dalam situasi, mana yang harus saya selesaikan terlebih dahulu, apakah saya harus fokus pada pekerjaan atau keluarga.

Ketika rasa lelah itu tiba, disertai dengan komentar miring dari orang terdekat, benar-benar menurunkan perasaan. ”sudahlah, nggak usah kerja, istirahat dan urus rumah”. Saya harus menghela napas, persoalan tak semudah itu. Dengan demikian, dari sini, beban fisik dan mental tak pelak lagi saya rasakan.

Saya rasa ini tak hanya menimpa diri saya saja, tapi banyak perempuan lain di sana yang mengalami perasaan serupa. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa semakin panjang durasi jam kerja perempuan, semakin besar risiko mereka mengalami stress hingga gejala depresi. Inilah hal yang tentu saja saya dan kami para pekerja freelance khawatirkan. Meskipun kami (hanya) bekerja dari rumah, namun sesungguhnya kami juga bisa saja rentan terhadap stigma negatif dan tak memperoleh dukungan.

Penutup

Momentum peringatan Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan rasanya tepat untuk saya dan perempuan di luar sana untuk refleksi. Selain itu, saya ingin mengundang serta mengajak masyarakat agar perlu berhenti melakukan glorifikasi "Supermom." Sindrom serupa gelar yang kerap disematkan pada perempuan dan ibu, seolah-olah bisa melakukan segalanya dengan sempurna.

Sekali lagi, tidak ada yang bisa menyelesaikan semuanya sendiri. Serta, tak ada yang selalu sempurna. Memang benar, jika sudah berumah tangga, perempuan akan berperan sebagai ibu dan istri. Namun harus diingat dan ditegaskan, mereka juga tetap sebagai individu yang memiliki hak untuk berkembang, berkarir, dan merasa dihargai.

Relasi di dalam rumah tangga antara pasangan suami dan istri juga harus dilandasi secara setara. Suami dan istri harus saling berbagi peran dalam rumah tangga. Keduanya berbagi peran tidak hanya dalam mengurus rumah, tetapi juga dalam mendukung karir masing-masing.

Dengan demikian, perempuan seharusnya tak lagi dipaksa atau terpaksa memilih antara pekerjaan atau keluarga. Kedua hal itu bisa berjalan seiring dengan dukungan orang-orang terdekat. Mari kita beri ruang, tempat, dimana perempuan dapat bekerja, berkembang hingga meraih impian tanpa tertekan atau terjerat beban ganda. Untuk itu, stop dari sekarang juga menyalahkan perempuan dan beri dukung agar menjadi diri terbaik versi mereka sendiri.

hanifati radhia