Di negara kita sendiri, kerja kadang kayak ngejalanin hubungan toxic. Kita udah bekerja maksimal, tapi yang didapat kok rasanya nggak sebanding.
Gaji segitu-gitu aja, tapi tuntutannya makin tinggi tiap hari. Inilah realita kerja di Indonesia yang menjadi keluh kesah banyak orang ketika menjalani pekerjaannya.
Gaji Pas-pasan, Ekspektasi Selangit
Sebagian besar dari kita pasti sering menghadapi kenyataan pahit. Gaji yang nggak seberapa, tapi tanggung jawabnya banyak. Baru masuk kerja, eh udah disuruh handle ini itu. Katanya, biar cepat belajar dan berkembang. Tapi, kalau nggak dibarengi apresiasi yang jelas, lama-lama ya capek juga.
Nggak jarang kita dengar cerita, “Dulu masuk kerja gaji UMR, sekarang tanggung jawab naik, tapi gaji cuma nambah dikit.” Ini realita banyak orang, terutama di sektor industri kreatif, retail, dan perusahaan rintisan (startup).
Nggak Cuma Masalah Gaji, Tapi Juga Jam Kerja
Nggak Cuma soal gaji aja, jam kerja juga tentu menjadi permasalahan. Gaji udah pas-pasan, eh jam kerjanya juga bablas terus. Masuk jam 8 pagi, pulang bisa jam 10 malam, tapi bonusnya cuma ucapan “terima kasih ya, kamu hebat!” tanpa embel-embel tambahan di rekening.
Hal yang lebih ngeselin, ada budaya kerja yang kalau belum lembur berarti nggak kerja keras. Budaya ini masih hidup subur di banyak tempat. Seolah-olah, makin lama duduk di depan laptop atau di kantor, makin loyal dan berprestasi. Padahal, kerja lembur terus bukan tanda produktivitas, tapi tanda manajemen yang buruk.
Jam kerja yang nggak jelas ini bukan cuma nguras tenaga, tapi juga bikin hidup jadi nggak seimbang. Waktu buat diri sendiri, keluarga, dan hobi jadi hilang entah ke mana. Padahal, kerja yang sehat itu ada jedanya, biar otak beristirahat.
Hal yang kita inginkan sebenarnya nggak muluk-muluk. Gaji yang layak, jam kerja yang manusiawi, dan lingkungan kerja yang menghargai usaha. Kalau hal-hal dasar ini bisa dipenuhi, loyalitas dan produktivitas pasti meningkat.
Pada akhirnya, orang kerja bukan cuma buat perusahaan, tapi juga buat masa depan mereka sendiri. Kalau aja perusahaan bisa ngehargain, kita sebagai pekerja juga pasti akan kasih yang terbaik.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Tag
Baca Juga
-
Dosen Cuek, Mahasiswa Terabaikan: Krisis Pendidikan yang Perlu Perhatian
-
Kemiskinan di Indonesia: Mengapa Masih Jadi PR Besar yang Tak Kunjung Usai?
-
Generasi Muda Terancam: Mengapa Narkoba Begitu Sulit Diberantas?
-
Berhenti Ikuti Tren TikTok: Kenali Diri sebelum Terjebak Standar Sosial
-
Bansos Cuma Sesaat, Skill dan Pekerjaan Selamanya: Perlukah Ubah Prioritas?
Artikel Terkait
-
Ayah Harvey Moeis Kerja Apa? Ternyata Profesinya Sementereng Ini, Pantas Bisa Kasih Warisan Rp1 T
-
Pengaruh Ekonomi Digital pada Pola Kerja Generasi Muda
-
Kerja Jarak Jauh Tanpa Stres? Ini Strategi Sukses di Era Remote Work
-
Tenaga Kerja Indonesia Jadi Fokus Apple untuk Dukungan Peluncuran iPhone 16
-
Liburan Impian Berujung Tragedi, 5 Rekan Kerja Tewas dalam Kecelakaan Pesawat Jeju Air
Kolom
-
Euforia usai Tahun Baru di Solo Penuh Sampah, Merayakan atau Merusak?
-
Pengaruh Ekonomi Digital pada Pola Kerja Generasi Muda
-
Generasi Muda, Ekonomi Berkelanjutan dan Arah Kebijakan Publik ke Depan
-
Peluang dan Tantangan Ekonomi untuk Generasi Muda di Era Globalisasi
-
Apakah Koruptor Dulu Tidur dan Bolos Waktu Pelajaran PPKn?
Terkini
-
3 Serum Antioksidan Brand Lokal untuk Lindungi Kulit dari Radikal Bebas
-
Ulasan Buku Laundry Hati, Pentingnya Menjaga Hati dari Sifat Iri Dengki
-
Harus Bertandang ke Markas Vietnam Lebih Dulu, Sejatinya Bukan Masalah Besar bagi Thailand
-
Ulasan Novel Hello My Pumpkin, Ketegangan dalam Permainan Berbahaya
-
Thailand vs Vietnam: Saling Mengalahkan di Final, tapi Pasukan Gajah Perang Lebih Superior