Di era digital saat ini, gaya menulis santai atau kasual bukan lagi hal yang asing. Gen Z, sebagai generasi yang tumbuh besar dengan media sosial dan budaya internet, lebih memilih gaya bahasa yang lebih ringan, bahkan untuk membahas topik-topik yang seharusnya dianggap serius.
Alih-alih menggunakan bahasa formal dan terstruktur, mereka cenderung menulis dengan cara yang lebih santai, penuh slang, emoji, atau bahkan meme. Gaya ini dianggap sebagai bentuk pembebasan, mereka bisa berbicara tentang apa saja tanpa terikat norma penulisan konvensional.
Nah, yang menarik adalah bagaimana gaya menulis ini bisa diterima dalam diskursus yang lebih serius. Isu-isu seperti politik, kesehatan mental, atau pendidikan yang seharusnya dipandang dengan keseriusan dan kedalaman, malah sering kali dibahas dengan cara yang jauh lebih ringan.
Mereka menyebutnya "pembebasan", karena menulis dengan gaya kasual memungkinkan mereka untuk mengekspresikan diri tanpa terikat pada batasan-batasan baku. Ini, menurut beberapa pakar, bisa jadi merupakan reaksi terhadap sistem pendidikan yang terlalu formal dan penuh aturan.
Namun, apakah gaya menulis santai ini benar-benar mencerminkan pemikiran bebas, atau malah menurunkan kualitas pemahaman terhadap topik yang dibahas?
Penelitian dalam Language and Identity in the Digital Age (2022) mengungkapkan bahwa generasi muda, khususnya Gen Z, sering menggunakan gaya bahasa yang lebih kasual sebagai upaya untuk lebih dekat dengan audiens mereka.
Dalam dunia digital, kecepatan menjadi faktor penting, menulis dengan gaya santai dianggap lebih efisien dan efektif dalam menyampaikan pesan.
Namun, ada kritik yang mengatakan bahwa menulis dengan gaya santai ini bisa membuat topik yang serius kehilangan bobotnya. Bagaimana kita bisa serius mendiskusikan masalah kesehatan mental jika kita menggunakan emoji dan bahasa gaul?
Di sisi lain, penulisan yang sangat formal juga bisa terasa membosankan dan mengasingkan pembaca, terutama bagi generasi muda yang lebih suka berkomunikasi dalam bahasa sehari-hari mereka.
Ketika penulisan formal dianggap terlalu kaku dan tidak relevan, gaya santai justru memberi ruang bagi kreativitas dalam menyampaikan pesan.
Menulis dengan gaya kasual juga bisa dilihat sebagai bentuk pemberontakan terhadap aturan-aturan yang membatasi ekspresi pribadi. Dalam konteks ini, ada dorongan untuk menciptakan ruang di mana ide-ide bisa bebas diekspresikan tanpa takut dihakimi.
Misalnya, saat membahas isu diskriminasi atau ketidaksetaraan, Gen Z lebih suka memakai istilah-istilah yang bisa dicerna dengan mudah, alih-alih memilih bahasa yang berat dan penuh teori. Ini adalah cara mereka untuk memperkenalkan ide besar kepada audiens yang mungkin tidak terlalu tertarik dengan tulisan yang terkesan akademis.
Namun, ada juga sisi negatif dari kebiasaan ini. Menggunakan bahasa kasual untuk topik yang berat bisa menyebabkan kesalahpahaman atau pengabaian pesan yang ingin disampaikan.
Bagi sebagian orang, penulisan yang terlalu santai dianggap kurang menghargai pentingnya isu tersebut. Ini bisa menciptakan kesan bahwa penulis tidak benar-benar memahami atau peduli dengan masalah yang sedang dibahas.
Sebaliknya, bagi mereka yang terbiasa dengan gaya ini, menulis dengan cara yang terlalu formal justru bisa terasa membatasi dan tidak mengalir dengan alami.
Menulis dengan gaya bahasa kasual adalah cerminan dari perubahan zaman dan cara berkomunikasi yang lebih terbuka. Tetapi, seperti halnya kebebasan berekspresi lainnya, ini juga datang dengan tanggung jawab.
Mungkin, kunci dari semua ini adalah menemukan keseimbangan antara menyampaikan pesan yang kuat dengan cara yang tetap dapat dipahami dan relevan oleh semua audiens.
Dengan demikian, menulis dengan gaya santai bisa tetap menjadi alat yang efektif tanpa kehilangan substansi atau dampaknya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Menelisik Jejak Ki Hadjar Dewantara di Era Kontroversial Bidang Pendidikan
-
Ki Hadjar Dewantara dalam Revitalisasi Kurikulum yang Relevan
-
Menghidupkan Semangat Ki Hadjar Dewantara dalam Politik Pendidikan Era AI
-
Meneropong Kehidupan Pendidikan di Era AI dan Kehilangan Nilai Literasi
-
Menyelami Filosofi Ki Hadjar Dewantara di Era Pendidikan Deep Learning
Artikel Terkait
-
Lawan Ancaman Siber Perusahaan Ini Wujudkan dengan Standar Keamanan Global
-
Digital Fatigue dan Mental Overload: Saat Notifikasi Jadi Beban Psikologis
-
FOMO tapi Hemat: Rahasia Gen Z Bisa Nonton Coachella Meski Dompet Pas-pasan
-
8 Peran Penting Content Delivery Network untuk Optimalisasi Peforma Bisnis
-
Masa Depan di Genggaman: Peran Bank Digital dalam Mendorong Kemandirian Finansial Generasi Muda
Kolom
-
Menelisik Jejak Ki Hadjar Dewantara di Era Kontroversial Bidang Pendidikan
-
Nilai Tukar Rupiah Loyo, Semangat Pengusaha Jangan Ikut-ikutan!
-
Ki Hadjar Dewantara dalam Revitalisasi Kurikulum yang Relevan
-
Menghidupkan Semangat Ki Hadjar Dewantara dalam Politik Pendidikan Era AI
-
Harta Koruptor Aman, RUU Perampasan Aset Mandek Lagi
Terkini
-
Dilengserkan dari Kursi Pelatih, Nasib Jesus Casas Mirip Shin Tae-yong
-
Ulasan Novel Giselle: Tragedi Menyeramkan di Balik Panggung Ballet
-
Romantisme Fans Indonesia dan Uzbekistan: Dulu Menjatuhkan, Kini Saling Menguatkan
-
3 Inspirasi Outfit Dokter Muda ala Choo Young Woo, Smart dan Professional!
-
Review Film A Working Man: Jason Statham Ngegas Lagi, tapi Tetap Seru Gak Sih?