Konflik adalah salah satu elemen penting dalam sebuah cerita. Dengan adanya konflik, sebuah kisah terasa bisa bergerak, tidak monoton, dan semakin seru.
Hubungan sebab akibat dan kelogisan cerita juga bisa dilihat dari cara penulis mengeksekusi konflik yang ia tulis. Sehingga saat membaca, pembaca bisa menilai tingkat keseruan dan relevansi fiksi yang ia baca dengan hal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga walau mengusung genre fantasi sekalipun yang adegannya mustahil terjadi di kehidupan nyata, tapi sebab akibat dari konflik yang ia bangun harus terasa masuk akal.
Namun dengan berkembangnya teknologi, saat ini banyak sekali penulis-penulis yang tidak bisa menulis bermunculan. Hanya dengan berbekal gadget dan internet, mereka bisa mengunggah apa pun yang terlintas di imajinasi dan benaknya.
Mudah sekali. Sungguh berbeda dengan sulitnya menerbitkan tulisan di zaman dulu.
Bahkan tak jarang, semuanya terasa sangat tidak masuk akal hingga 'berbahaya' untuk dibaca.
Mengapa demikian?
Karena tulisan mereka tidak hanya menyinggung pornografi, tapi penulis-penulis tidak lulus sensor ini juga berpotensi 'membunuh' harapan orang lain.
Kita tentu akrab dengan kisah yang mengangkat konflik tentang penyakit, baik penyakit fisik maupun psikis. Sayangnya, tema menarik ini tidak dibarengi dengan riset yang mendalam sehingga penulis yang asal menulis seringkali terjadi.
Coba bayangkan, bagaimana bila orang yang menderita penyakit sama membaca tulisan minim riset ini? Bisa jadi mereka merasa putus asa atau semakin tertekan dengan penyakit yang dideritanya.
Karena tak jarang, para penulis tak lulus sensor ini hobi sekali 'menyiksa' tokoh ciptaannya hingga di luar batas manusiawi. Contohnya, membuat diagnosa dan alur yang ngawur ditambah dengan solusi yang tak kalah ngawur pula.
Mirisnya, hal-hal seperti ini justru mudah sekali viral. Sehingga para penulisnya pun semakin 'semangat' untuk terus menerbitkan cerita ngawur karena merasa masih memiliki pasar yang besar.
Berangkat dari fenomena ini sudah seharusnya anak di bawah umur memang dalam pengawasan orang tua. Sehingga apa pun yang mereka lihat dan dengar bisa terkontrol. Jadi hal seperti ini mungkin belum bisa hilang total tapi setidaknya berkurang.
Baca Juga
-
Tak Hanya Sesama Teman, Saat Guru dan Dosen Juga Jadi Pelaku Bully
-
Kisah Relawan Kebersihan di Pesisir Pantai Lombok
-
Viral Tumbler KAI: Bahaya Curhat di Medsos Bagi Karier Diri dan Orang Lain
-
Ricuh Suporter Bola hingga War Kpopers, Saat Hobi Tak Lagi Terasa Nyaman
-
Budaya Titip Absen: PR Besar Guru Bagi Pendidikan Bangsa
Artikel Terkait
-
Menggali Konflik Batin sang Pembunuh Bayaran dalam Film Cold Blood Legacy
-
Novel Penulis Jalanan, Menghadapi Ketidakpastian Hidup dengan Prasangka Baik
-
Daftar Pekerjaan yang Tak Bisa Digantikan AI, Termasuk Penulis dan Jurnalis?
-
Penulis Wattpad 'Ngemis' Vote dan Komen, Selera Pembaca Bisa Dipaksakan?
-
Makoto Shinkai Umumkan akan Rilis Film Anime Terbaru di 2025
Kolom
-
Tahun Baru dan Identitas Diri: Kenapa Banyak Orang Ingin Jadi 'Versi Baru'?
-
Darurat Sampah 2025: Saat Kantor Pejabat Jadi Tempat Pembuangan Akhir
-
Self-Love Bukan Egois tapi Cara Bertahan Waras di Tengah Tuntutan Hidup
-
Refleksi Diri di Penghujung Tahun: Cara Sederhana Merawat Diri dan Pikiran
-
Ketika Rumah Tak Lagi Ramah: Anak yang Tumbuh di Tengah Riuh KDRT
Terkini
-
Ulasan Buku Merasa Dekat dengan Tuhan Itu Godaan yang Berat: Kritik Sosial dan Godaan Beragama
-
Rumor Kencan Winter aespa dan Jungkook BTS Kembali Mencuat Karena Hal Kecil
-
Siap Tampil Stunning di Tahun Baru dengan 5 Hairstyle ala Song Hye Kyo
-
5 Rekomendasi Tumbler Travel-Friendly yang Ringan dan Praktis
-
Dari Formal Look hingga Street Style, Intip 3 OOTD ala Song Weilong!