Dalam sebuah konferensi pers di Senayan, Ketua DPD Sultan Najamuddin mengusulkan gagasan yang tampaknya sederhana, namun sarat makna: melibatkan masyarakat melalui zakat untuk membiayai program makan bergizi gratis (MBG).
Dilansir dari suara.com pada (14/1/2024), Sultan menilai, sifat dermawan masyarakat Indonesia bisa menjadi solusi atas keterbatasan anggaran APBN.
Namun, gagasan ini memunculkan sejumlah pertanyaan besar. Apakah benar solusi tersebut mencerminkan semangat gotong royong, atau justru sebuah bentuk kegagalan pemerintah dalam mengelola keuangan negara?
Zakat untuk APBN: Solidaritas atau Beban Rakyat?
Zakat memang memiliki potensi besar sebagai sumber dana sosial. Berdasarkan laporan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), potensi zakat nasional mencapai lebih dari Rp300 triliun per tahun. Namun, zakat sejatinya adalah kewajiban umat Islam untuk membantu kaum dhuafa, bukan untuk menutupi kekurangan pemerintah dalam menjalankan program.
Usulan Sultan mengisyaratkan bahwa APBN tidak cukup untuk mendanai program makan bergizi gratis. Padahal, anggaran belanja negara terus meningkat dari tahun ke tahun. Di mana sebenarnya prioritas alokasi anggaran? Mengapa program seperti MBG harus mencari "tambahan" dana dari kantong masyarakat?
Jika pemerintah mulai mengandalkan zakat untuk program semacam ini, apakah langkah ini tidak membuka pintu bagi negara untuk terus bergantung pada masyarakat dalam menutupi kegagalan pengelolaan anggaran? Bukankah ini justru melemahkan posisi negara sebagai penanggung jawab utama kesejahteraan rakyat?
Solidaritas Global: Benarkah Bantuan Luar Negeri Solusi?
Selain zakat, Sultan juga mengusulkan agar pemerintah mencari bantuan dari negara lain, seperti Jepang, yang disebutnya telah memberikan dukungan. Meski bantuan luar negeri terdengar menjanjikan, langkah ini juga berisiko. Ketergantungan pada bantuan asing dapat membuat negara kehilangan kemandirian dalam menentukan prioritas program sosialnya.
Apakah kita ingin terus menjadi negara yang mengulurkan tangan kepada pihak asing, alih-alih memberdayakan kekuatan internal? Bukankah Indonesia memiliki sumber daya yang cukup untuk memastikan program seperti MBG berjalan tanpa harus meminta "dukungan" dari negara lain?
Ironi di Balik Program Makan Gratis
Program makan bergizi gratis seharusnya menjadi manifestasi kehadiran negara dalam memastikan kebutuhan dasar rakyat terpenuhi. Namun, ketika pelaksanaannya bergantung pada dana zakat dan bantuan luar negeri, makna "gratis" itu sendiri patut dipertanyakan.
Lebih jauh, usulan ini menimbulkan ironi yang tajam: di satu sisi, pemerintah mendorong masyarakat untuk mendukung program ini melalui zakat, namun di sisi lain, kita melihat berbagai kasus pemborosan anggaran, korupsi, dan ketidakadilan distribusi sumber daya yang terus terjadi.
Jalan Tengah: Membangun Keuangan Negara yang Berkeadilan
- Ketimbang membebankan rakyat melalui zakat, pemerintah seharusnya fokus pada pembenahan sistem pengelolaan anggaran. Ada beberapa langkah yang bisa diambil.
Realokasi Anggaran: Pangkas belanja yang tidak produktif, seperti perjalanan dinas berlebihan atau proyek mercusuar yang minim manfaat langsung bagi rakyat. - Optimalisasi Penerimaan Pajak: Perluas basis pajak dengan memberantas penghindaran pajak dan meningkatkan efisiensi pengumpulan.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Pastikan setiap rupiah yang dibelanjakan negara benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan memperkaya segelintir pihak.
Gagasan melibatkan zakat untuk program makan bergizi gratis mungkin terdengar mulia, namun menyimpan tantangan besar. Apakah benar ini mencerminkan semangat gotong royong, atau justru sebuah pengakuan atas keterbatasan pemerintah dalam mengelola anggaran?
Sebagai bangsa yang besar, Indonesia seharusnya mampu memastikan kemandirian dalam membiayai kebutuhan dasar rakyatnya. Alih-alih terus mengandalkan zakat atau bantuan asing, mari kita dorong pemerintah untuk lebih serius dalam membangun sistem keuangan negara yang adil, transparan, dan berkelanjutan.
Indonesia adalah negara yang kaya akan potensi. Yang kita butuhkan adalah keberanian untuk membuat keputusan yang berpihak pada rakyat, bukan sekadar solusi instan yang mengalihkan tanggung jawab. Semoga.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Harga Gas LPG 3 Kg Naik Rp2.000, Rakyat Kecil Makin Menjerit!
-
Virtual Reality dan Game Online: Dunia Maya yang Menarik Hati Gen Z
-
Serius Tanpa Harus Formal: Menulis dengan Gaya Kasual di Zaman Digital
-
Silent Message: Pisau Bermata Dua dalam Komunikasi Online
-
Tak Perlu ke ATM, Begini Solusi Instan Tarik Tunai ala Gen Z
Artikel Terkait
-
Anggaran MBG Rp 71 T, Tapi Mau Pakai Dana Zakat, Legislator PKB Kritik Usulan Ketua DPD: Mimpi di Siang Bolong!
-
Zakat Jadi Solusi Buat Makan Bergizi Gratis? Ide Sultan, Protes Rakyat
-
Soal Makan Bergizi Gratis: Dari Usulan Pakai Dana Zakat hingga Soal Susu
-
Anggaran Terbatas, Ketua DPD Usul Rakyat 'Patungan' Biayai Program Makan Bergizi Gratis
-
Ketua DPD Usul Zakat untuk Makan Gratis, Padahal Hanya 8 Golongan Penerimanya
Kolom
-
Mendobrak Kurikulum Lama untuk Masa Depan Generasi Beta, Perlu atau Tidak?
-
Bangkitkan Kesadaran Politik di Kampus: Mengakhiri Budaya Apolitis
-
Dampak Teknologi terhadap Psikologi Anak Muda di Tempat Kerja
-
Penyimpangan di Masa Kampanye: Fakta yang Tidak Bisa Dibantah
-
Etika Media Sosial yang Harus Dimiliki Anak Muda di Lingkungan Kerja
Terkini
-
Ulasan Film Unbroken: Kisah Atlet Olimpiade yang Menjadi Tawanan Perang
-
3 Film Action Korea yang Wajib Ditunggu Tahun Ini, Siap Bikin Deg-Degan!
-
4 Mix and Match OOTD Harian ala Sunny SNSD untuk Tampil Stylish Setiap Hari
-
Dikabarkan Makin Dekat ke Timnas Indonesia, Apa Kelebihan Seorang Jairo Riedewald?
-
Patrick Kluivert Latih Timnas, Jurnalis Belanda Malah Berikan Sindiran!