Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Budi Prathama
Pramoedya Ananta Toer di ruang kerja dalam rumahnya, Bogor, tahun 2001. [Reuters]

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah.”

Penggalan kata di atas mengingatkan kita sosok sastrawan dengan karya-karyanya yang kritis untuk menentang segala bentuk ketidakadilan.

Namanya akan abadi sebagai pejuang bangsa Indonesia, dan hingga kini karya-karya beliau selalu dicintai anak-anak Indonesia. Ia adalah Pramoedya Ananta Toer.

Pramoedya Ananta Toer adalah sosok yang tidak dapat diabaikan. Ia bukan hanya sekedar penulis, tetapi ia juga seorang pejuang yang menggunakan kata-kata sebagai alat perjuangan.

Mengenang seabad kelahiran Pramoedya Ananta Toer yang jatuh pada 6 Fabruari 2025 akan menjadi momen yang sangat penting. Bagi saya, Pram sapaan akrabnya bukan hanya sekedar sosok penulis besar, tetapi juga mengingatkan kembali betapa pentingnya kebebasan berpikir, sesuatu yang beliau perjuangkan sepanjang hidupnya.

Karya-karya Pram mengandung nilai historis, sosial, dan humanisme telah menjadi warisan intelektual yang masih relevan hingga saat ini.

Mengenang Pramoedya Ananta Toer berarti mengenang perjuangan seorang sastrawan yang berani menentang penindasan, walaupun harus membayar mahal dengan kebebasannya sendiri.

Sastra sebagai bentuk perlawanan

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925. Beliau tumbuh di dalam lingkungan yang kental dengan semangat perjuangan.

Dari kecil, Pram sudah akrab dengan dunia literasi sehingga menjadikannya sebagai alat perjuangan untuk mengungkapkan pemikiran kritis terhadap kondisi sosial dan politik.

Di dalam karya-karyanya, Pram banyak menggambarkan bagaimana rakyat kecil harus berjuang di tengah kekuasaan kolonial, feodalisme, serta segala bentuk penindasan lainnya.

Termasuk karyanya yang sangat terkenal, yakni Tetralogi Buru, yang terdiri dari Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.

Di dalam novel ini, Pram menceritakan perjuangan seseorang yang bernama Minke dalam menghadapi koloanislime dan ketidakadilan di Indonesia.

Lewat kisah ini pula, Pram tidak hanya mengisahkan sejarah, tetapi juga menggugah kesadaran pentingnya pendidikan, kebebasan berpikir, dan keberanian melawan ketidakadilan.

Karya ini ditulis oleh Pram saat mendekam di Pulau Buru sebagai tahanan politik Orde Baru tanpa ada proses peradilan yang jelas.

Pena yang membawanya ke Penjara

Keberanian Pramoedya Ananta Toer menyuarakan kritik terhadap penguasa justru membawanya pada penderitaan yang amat panjang.

Pada tahun 1965, ketika terjadi perubah rezim politik di Indonesia, Pram ditangkap tanpa pengadilan dan terpaksa ditahan selama 14 tahun di Pulau Buru.

Di tempat pembuangan itulah, Pram kehilangan kebebasannya, namun tidak dengan suaranya. Justru dengan keterbatasan itu, Pram makin tajam menunjukkan kritikannya lewat sebuah tulisan yang kemudian menjadi bagian dari karya Tetralogi Buru.

Ditahannya Pram mengisyaratkan bagaimana kekuasaan terancam dengan pemikiran-pemikiran kritis. Kata-kata yang ditulis dianggap lebih berbahaya dengan senjata, karena mampu membuka kesadaran masyarakat terhadap kondisi sosial dan politik yang terjadi.

Saat itu, walaupun Pram menghadapi depresi, namun dirinya tak pernah berhenti untuk berkarya.

Warisan pemikiran dan inspirasi bagi generasi muda

Setelah Pram dibebaskan, ia tetap menjadi sosok yang pandai berbicara. Walaupun beberapa karyanya sempat dilarang di Indonesia, namun ia mendapatkan pengakuan internasional dan penghargaan sastra, seperti The Ramon Magsaysay Award dan The PEN Freedom to Write Award.

Lewat karya-karyanya, hari ini bisa kita saksikan warisan Pram tetap hidup melalui buku-bukunya yang terus dibaca dan dikaji. Karyanya mengajarkan pentingnya berpikir kritis, melawan ketidakadilan, dan tidak tunduk pada penindasan.

Generasi muda bisa belajar bahwa perubahan tidak hanya bisa dilakukan dengan kekerasan, tetapi bisa melalui pena dengan pemikiran yang kritis.

Mengenang Pramoedya Ananta Toer berarti mengenang sastrawan yang berjuang dengan pena, sosok yang tidak pernah takut melawan ketidakadilan lewat kata-kata.

Karyanya akan terus relevan dan menjadi inspirasi agar terus berpikir kritis dan memiliki kebebasan berpikir.

Seperti yang ia pernah tulis dalam buku Bumi Manusia, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.

Budi Prathama