Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Ilustrasi Buku-Buku Kiri (Instagram/@fatih_wibisana)

Menyebut istilah buku kiri di Indonesia sering kali memicu reaksi waspada. Entah itu buku-buku tentang Marxisme, sosialisme, atau yang membahas isu-isu keadilan kelas, buruh, dan struktural.

Sebagian orang atau individu tertentu mungkin akan langsung memberi cap “berbahaya”, “mengancam negara”, bahkan “haram dibaca”.

Tak sedikit pula orang yang belum pernah menyentuh buku-buku tersebut, tapi sudah menolaknya mentah-mentah. Ini adalah fenomena yang patut disoroti, saat ketakutan kolektif mengalahkan niat untuk memahami.

Padahal, tidak semua buku kiri bermaksud mencuci otak atau menghasut pemberontakan. Banyak dari buku-buku itu justru lahir dari semangat untuk memperjuangkan keadilan, mengkritisi ketimpangan, dan memberi suara bagi mereka yang terpinggirkan.

Apakah semua pemikiran di dalamnya harus disetujui? Tentu tidak. Tapi bukankah seharusnya kita bisa membaca tanpa merasa terancam? Bukankah literasi yang sehat justru mengajarkan kita untuk memilah, bukan memusuhi bacaan?

Hal yang perlu kita bedakan adalah membaca buku kiri tidak sama dengan menjadi ekstrem kiri. Sama halnya dengan membaca buku tentang radikalisme agama tidak serta merta membuat seseorang menjadi radikal.

Membaca adalah proses memahami wacana, bukan menyerap mentah-mentah semua isinya. Ketakutan akan buku sering kali justru datang dari kekhawatiran bahwa masyarakat tidak mampu berpikir kritis.

Padahal, tugas pendidikan adalah membentuk pembaca yang cerdas, bukan pembaca yang dibatasi. Ironisnya, larangan terhadap buku kiri justru sering memberi daya tarik tersendiri. Yang dilarang biasanya justru dicari.

Banyak mahasiswa yang tertarik membaca buku-buku kiri bukan karena ingin melawan negara, tapi karena ingin memahami sejarah dan mengisi kekosongan perspektif yang jarang disinggung dalam pendidikan formal.

Penulis sendiri pertama kali bersentuhan dengan narasi "kiri" bukan lewat buku kiri dengan teori yang berat, melainkan melalui sebuah novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.

Membacanya seperti membuka lembar-lembar sejarah yang jarang dibicarakan secara terbuka. Tokoh utamanya, Biru Laut, adalah mahasiswa aktivis yang tergabung dalam gerakan mahasiswa pada masa Orde Baru.

Ia dan kawan-kawannya memperjuangkan keadilan sosial, kebebasan berpendapat, serta hak-hak buruh dan petani, semua tema yang kerap dilekatkan pada gerakan kiri.

Namun, dalam novel ini, tidak ada ajakan memberontak secara membabi buta. Yang ada adalah sisi kemanusiaan yang kuat, rasa takut, harapan, kehilangan, dan solidaritas.

Novel ini justru memberi ruang untuk memahami mengapa ada orang-orang yang memilih jalan perlawanan, dan apa risiko mengerikannya ketika negara menanggapi perlawanan itu dengan kekerasan.

Di Indonesia, nama-nama seperti Tan Malaka sering kali dikaitkan dengan pemikiran kiri. Padahal jika dibaca lebih dalam, karya seperti "Madilog" (Materialisme, Dialektika, dan Logika) justru mengajak pembaca berpikir rasional dan ilmiah.

Buku ini banyak dikaji ulang oleh akademisi dan aktivis sebagai bagian penting dari sejarah pemikiran bangsa, bukan hanya karena warnanya yang kiri.

Selain itu, Pramoedya Ananta Toer dalam beberapa bukunya terutama Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, Pram mengangkat isu kolonialisme, ketidakadilan kelas, perjuangan rakyat kecil, serta pentingnya pendidikan dan kesadaran sejarah.

Dalam ruang literasi yang sehat, semua bacaan layak diberi tempat. Bukan untuk diagung-agungkan, tapi untuk dikaji dan dikritisi secara dewasa. Semua buku memiliki posisi yang sama dan layak untuk dibaca oleh siapa pun.

Melarang buku tanpa membuka diskusi justru melanggengkan ketakutan dan kebodohan. Kita harus mulai percaya pada kemampuan berpikir anak muda Indonesia, bahwa mereka bisa membaca tanpa harus ditakut-takuti.

Sudah saatnya kita memberi kepercayaan pada pembaca Indonesia, terutama generasi muda, bahwa mereka mampu membaca dengan kepala dingin dan hati terbuka.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ruslan Abdul Munir