"Kalau nggak modal follower banyak, mana laku tuh barang"
"Yah cuma gitu doang udah bangga, padahal masih amatiran"
"Nggak usah pamer lah, bisa sukses gitu karena pasti ngandelin orang dalem"
Pernah nggak sih Sobat Yoursay melihat komentar semacam di atas yang berkeliweran di dunia maya? Ketika seseorang berniat untuk berbagi kebahagiaan dengan menganggah pencapaian, berhasil merintis usaha dari nol, atau saat mencoba eksplor hobi baru, eh malah ditanggapi dengan kalimat sinis yang kesannya menjatuhkan.
Hal-hal seperti ini sebenarnya bukan fenomena yang baru lagi. Dalam psikologi sosial kerap dikenal dengan istilah crab mentality.
Mentalitas ini jika dianalogikan dengan sekumpulan kepiting dalam ember, kepiting-kepiting tersebut akan saling mencegah satu sama lain untuk keluar dan bebas dari ember tersebut.
Ini tuh pas banget menggambarkan kondisi orang-orang yang nggak senang melihat pencapaian orang lain. Alih-alih memberi dukungan, mereka cenderung ingin menjatuhkan dengan kalimat yang sinis. Orang dengan crab mentality sebenarnya punya perasaan iri yang terselubung.
Dengan melontarkan kata-kata yang sifatnya menjatuhkan, mereka kepengin agar orang lain tetap sama-sama di bawah dan nggak berkembang.
Hal yang lebih memiriskan ketika kita menyaksikan fenomena crab mentality yang semakin menjamur di era digital. Yakni ketika sindiran dan nyinyiran nggak lagi sekedar bisik-bisik tetangga atau obrolan receh di warung kopi, tapi udah memenuhi kolom komentar media sosial. Apalagi jika kamu adalah public figur atau influencer yang segalanya serba disorot.
Ketika menerima komentar seperti itu, kadang bikin kita ragu buat nge-post kebahagiaan di medsos. Bahkan, bagi sebagian orang, scroll komentar bisa menjadi lebih menakutkan daripada gagal itu sendiri.
Entah khawatir dengan omongan orang, minder karena ngerasa pencapaiannya nggak seberapa, atau mungkin perasaan takut diremehkan. Niatnya kepengin membagikan hal-hal yang positif, eh malah nggak jadi nge-post karena takut dinyinyirin teman. Lantas, sebenarnya apa sih yang melatarbelakangi fenomena crab mentality ini?
Jika kita memikirkan lingkup media sosial, adanya jarak dan pilihan untuk tetap anonim saat berkomentar membuat orang lain dengan mudahnya nggak bertanggungjawab dengan ketikannya.
Selain itu, saat ini kita hidup dalam era media sosial yang cenderung menampilkan hal yang baik-baik saja dari kehidupan seseorang. Ini bikin sebagian orang lain merasa mudah iri dengan apa yang ada di lini masa media sosialnya. Padahal mereka nggak tahu perjuangan dan hal-hal yang kurang mengenakkan dibalik konten tersebut.
Belum lagi masalah minimnya empati digital karena nggak ada tatap muka langsung. Kemudahan untuk mengetik apapun membuat siapa saja bisa seenaknya berkomentar tanpa memedulikan perasaan orang.
Mengingat dampak dari crab mentality ini bisa merugikan dan menjatuhkan mental orang lain, maka untuk melawannya kita perlu untuk meningkatkan kesadaran pada diri sendiri terlebih dahulu.
Kita bisa melawannya dengan support culture, atau budaya untuk saling mendukung. Jika ada teman yang baru mulai merintis usaha, nggak ada salahnya kita ikutan apresiasi dengan komentar positif.
Nah kalau ternyata merasa nggak suka dengan postingan orang lain, alih-alih ikutan julid, mending di-skip aja. Toh mereka juga nggak merugikan orang lain dengan postingannya kok. Memilih untuk diam dan mengabaikan postingan yang nggak kita sukai barangkali adalah pilihan yang lebih bijak daripada ikut nyinyir.
Sudah seyogyanya media sosial saat ini bisa menjadi sarana untuk berkembang, bukan jadi ajang saling menjatuhkan. Dalam kehidupan yang sudah penuh dengan berbagai masalah, yuk, jangan lagi menjadi seperti kepiting yang senang melihat sesamanya terjatuh.
Baca Juga
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
-
Tidak Ada Buku di Rumah Anggota DPR: Sebuah Ironi Kosongnya Intelektualitas
-
Intelijen Dunia Maya: Upaya Netizen Indonesia dalam Menjaga Demokrasi
-
Ulasan Buku Wise Words for Smart Women, 100 Motivasi untuk Perempuan Cerdas
-
Solusi Dilema Karier vs Keluarga dari Buku Jadi Kaya dengan Bisnis di Rumah
Artikel Terkait
-
Sosok di Balik Akun Medsos Ahmad Dhani, Adminnya Dekat dengan Ari Lasso
-
FoMO dan Kecanduan Media Sosial, Menyelami Perangkap Digital Remaja
-
Ketika Pusat Data Jadi Tulang Punggung Aktivitas Manusia di Era Digital
-
Miris! PT Maruwa Batam Tutup Sepihak, Karyawan Gigit Jari Tunggu Kejelasan Gaji dan Pesangon
-
Jennifer Coppen Move On ke Justin Hubner, Hadiah dari Pacar Jadi Sorotan: Kenapa?
Kolom
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
-
Lebih dari Sekadar Demo: Aksi Ibu-Ibu Ini Buktikan Aspirasi Bisa Disampaikan Tanpa Anarki!
-
Ironi Demokrasi: Kala Rakyat Harus 'Sumbang' Nyawa untuk Didengar Wakilnya
-
Influencer vs DPR: Aksi Nyata 17+8 Tuntutan Rakyat di Era Digital
-
Nasdem Minta Gaji-Tunjangan Sahroni dan Nafa Dibekukan, Warganet Anggap Belum Cukup
Terkini
-
Mengenang Arif Budimanta: Ekonom dan Stafsus Jokowi yang Telah Tiada
-
Kode Keras di Medsos! 5 Tanda Kuat Pratama Arhan dan Azizah Salsha akan Rujuk
-
Kunker Dihapus, Pensiun Jalan Terus: Cek Skema Lengkap Pendapatan Anggota DPR Terbaru!
-
Review Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: Drama Keluarga yang Bikin Hati Mewek
-
Gratis dan Gampang! Cara Ubah Foto Jadi Action Figure Super Realistis dengan AI