Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi jasa layanan antar (Pexels/Jean-Baptiste Terrazzoni)

Fenomena dominasi laki-laki dalam profesi sopir, ojol, dan kurir di Indonesia mencerminkan kompleksitas interaksi antara konstruksi sosial gender, pertimbangan keamanan, dinamika ekonomi, dan akses terhadap kesempatan.

Asumsi yang sering muncul bahwa kemampuan navigasi spasial laki-laki secara inheren lebih unggul, meskipun memiliki dasar ilmiah, tidak dapat sepenuhnya menjelaskan fenomena ini.

Lebih dari sekadar kemampuan spasial, dominasi ini berakar pada struktur sosial yang telah lama mengakar dalam masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut fenomena ini, penting untuk meninjau perbedaan kemampuan navigasi antara laki-laki dan perempuan.

Perbedaan kemampuan navigasi antara laki-laki dan perempuan telah menjadi topik penelitian ilmiah yang menarik. Secara umum, studi menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan perbedaan dalam kemampuan spasial, yang menjadi dasar navigasi.

Laki-laki sering kali menunjukkan kinerja yang lebih baik dalam tugas-tugas yang melibatkan rotasi mental dan orientasi spasial, sementara perempuan cenderung lebih mengandalkan strategi navigasi berbasis landmark.

Navigasi landmark adalah strategi navigasi yang mengandalkan penggunaan objek-objek atau fitur-fitur yang mudah dikenali sebagai penanda arah.

Objek-objek ini, yang disebut "landmark," dapat berupa bangunan, taman, toko, atau fitur alam seperti gunung atau sungai. Navigasi landmark berbeda dengan navigasi orientasi, yang mengandalkan penggunaan arah mata angin dan jarak. Navigasi orientasi lebih abstrak, sedangkan navigasi landmark lebih konkret dan visual.

Perbedaan ini diyakini dipengaruhi oleh kombinasi faktor biologis dan lingkungan. Faktor biologis, seperti perbedaan hormonal dan struktur otak, diduga berperan dalam membentuk kemampuan spasial.

Namun, pengaruh ini tidak bersifat mutlak dan masih menjadi area penelitian aktif. Selain itu, pengalaman dan pelatihan juga memainkan peran penting. Laki-laki mungkin lebih sering terlibat dalam aktivitas yang melatih kemampuan spasial, seperti bermain video game atau olahraga yang melibatkan navigasi.

Strategi navigasi yang digunakan oleh laki-laki dan perempuan juga berbeda. Laki-laki cenderung mengandalkan orientasi spasial, menggunakan arah mata angin dan jarak sebagai panduan.

Perempuan, di sisi lain, lebih sering menggunakan landmark atau patokan visual untuk menavigasi. Perbedaan ini mungkin mencerminkan perbedaan dalam cara otak memproses informasi spasial.

Stereotipe gender juga dapat mempengaruhi kepercayaan diri dan motivasi dalam mengembangkan keterampilan navigasi. Stereotipe negatif tentang kemampuan navigasi perempuan dapat menciptakan hambatan psikologis dan menghambat perkembangan keterampilan.

Oleh karena itu, penting untuk mengatasi stereotip ini dan mendorong perempuan untuk mengembangkan kemampuan spasial mereka.

Selain perbedaan kemampuan navigasi, konstruksi sosial gender juga memainkan peran penting dalam dominasi laki-laki dalam profesi-profesi tersebut.

Sejak usia dini, anak-anak terpapar pada narasi dan representasi yang mengasosiasikan pekerjaan tertentu dengan jenis kelamin tertentu.

Laki-laki didorong untuk mengejar karier yang dianggap "maskulin," seperti teknik, militer, atau pekerjaan yang membutuhkan mobilitas tinggi, sementara perempuan sering kali diarahkan ke pekerjaan yang dianggap "feminin," seperti pengasuhan, administrasi, atau pendidikan. Hal ini membentuk pola pikir dan ekspektasi yang membatasi pilihan karier perempuan.

Dalam konteks profesi sopir, ojol, dan kurir, narasi yang dominan adalah bahwa ini adalah pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik dan keberanian, yang secara stereotipe diasosiasikan dengan laki-laki. Akibatnya, perempuan mungkin merasa kurang percaya diri atau kurang didukung untuk mengejar karier di bidang ini.

Selain itu, pertimbangan keamanan menjadi penghalang yang signifikan bagi perempuan untuk memasuki profesi-profesi ini. Ruang publik, terutama di malam hari, sering kali dianggap sebagai lingkungan yang kurang aman bagi perempuan.

Risiko pelecehan, kekerasan seksual, dan kejahatan lainnya menjadi kekhawatiran yang nyata. Pengalaman buruk yang dialami oleh beberapa perempuan, serta pemberitaan media yang sering kali menyoroti kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, menciptakan rasa takut dan ketidakamanan.

Hal ini diperparah oleh kurangnya perlindungan dan penegakan hukum yang efektif dalam menangani kasus-kasus tersebut. Akibatnya, banyak perempuan memilih untuk menghindari pekerjaan yang mengharuskan mereka berada di ruang publik sendirian, terutama di malam hari.

Akses dan kesempatan yang tidak setara juga menjadi faktor yang perlu diperhatikan. Perempuan mungkin menghadapi hambatan dalam memperoleh informasi tentang peluang kerja, pelatihan keterampilan, dan akses ke modal atau sumber daya lainnya.

Selain itu, diskriminasi yang terjadi secara tidak langsung, baik dalam proses rekrutmen maupun dalam interaksi sehari-hari dengan pelanggan, dapat menjadi hambatan yang signifikan.

Misalnya, beberapa pelanggan mungkin merasa kurang nyaman jika dilayani oleh pengemudi perempuan, atau perusahaan mungkin memiliki kebijakan yang tidak ramah terhadap perempuan. 

Meskipun memang tidak menutup kemungkinan masih dapat kita jumpai penyedia jasa layanan yang dilakukan oleh perempuan, tetapi beberapa alasan di atas cukup memberikan kita gambaran terkait plus dan minus keterampilan laki-laki dan perempuan.

Hal ini tidak berarti bahwa masing-masing menyerah karena ketidakmampuannya, tetapi justru semakin memotivasi diri untuk terus membiasakan diri dan berlatih untuk menguasai keterampilan tersebut.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati