Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Prof. Abdul Mu'ti menyebutkan bahwa guru terkadang baik hati memberikan sedekah nilai kepada para siswa sehingga dipertanyakan terkait objektivitas guru dalam menilai.
Bagi masyarakat yang sudah mengetahui, sedekah nilai yang dimaksud yaitu adalah nilai hasil mark up atau dikatakan nilai kasih sayang.
Tetapi, pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah apakah memang guru itu memberi nilai kepada siswa karena berbaik hati? Atau jangan-jangan karena adanya tekanan lain yang sehingga membuat guru terpaksa untuk melakukan kenaikan nilai yang tak wajar?
Inilah yang seharusnya kita ulik lebih dalam dan mencari celah apa yang sebenarnya terjadi di balik semua ini.
Berdasarkan laporan atau temuan yang terjadi di Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2022 lalu menyatakan bahwa adanya praktik mendongkrak nilai siswa dalam jalur prestasi akademik yakni rapor. Bahkan, sebenarnya praktik ini mungkin sudah jarang diberitakan walau justru inilah yang harus dicari tahu lebih mendalam.
Ternyata salah satu alasan sedekah nilai tersebut sempat diungkapkan oleh Kepala SMP Negeri 1 Padang, hal itu terjadi karena inisiatif wali kelas, khususnya kelas 9 untuk dapat diterima di SMA negeri.
Sebab tahun lalu banyak siswa yang tidak diterima akibat berada di blank zone atau zona yang tidak tercakup dalam sistem zonasi pada PPDB.
Itu merupakan salah satu alasan yang dikemukakan oleh kepala sekolah setempat terkait kasus yang telah terjadi. Namun, ada beberapa hal lainnya yang memengaruhi secara tidak langsung mengapa nilai rapor digelembungkan:
Akreditasi Sekolah
Hubungan nilai rapor dengan akreditasi sekolah memang tidak terlalu menonjol terlihat ada kaitannya dengan penggelembungan nilai, sayangnya akreditasi sekolah dipengaruhi oleh empat komponen yang di antaranya kinerja pendidik dalam proses pembelajaran, kepemimpinan kepala satuan pendidikan, iklim lingkungan belajar, dan yang terakhir adalah kompetensi hasil pembelajaran lulusan atau peserta didik.
Kompetensi hasil pembelajaran tersebut yang di mana terdapat memperlihatkan prestasi siswa di dalam sekolah, hal itu berkaitan dengan salah satu bentuk prestasi belajar yaitu nilai rapor.
Selain itu, jika melihat penerimaan siswa SMP dan SMA pada jalur prestasi rapor pun terlihat adanya mark up atau penggelembungan nilai yang dilakukan oleh sekolah asal.
Kasus sedekah nilai terjadi agar banyak peluang siswa diterima di jenjang pendidikan selanjutnya melalui seleksi tersebut, sehingga membuat sekolah berlomba-lomba untuk meningkatkan nilai peserta didik secara tidak wajar.
Begitu juga dengan penerimaan mahasiswa baru pada SNBP di jenjang pendidikan SMA, pada seleksi tersebut akan memberikan dampak positif bagi sekolah yang berakreditasi A. Sebab kuota siswa eligible untuk sekolah adalah 40%, berbeda dengan sekolah yang berakreditasi B dan C.
Dengan adanya hal ini membuat siswa SMP ingin berbondong-bondong diterima di SMA negeri yang berakreditasi A agar mendapatkan peluang yang lebih besar untuk masuk ke perguruan tinggi negeri.
Walau akreditasi sekolah tidak memberi dampak secara langsung terhadap nilai rapor, tentu saja masih ada kemungkinan yang terjadi untuk meningkatkan atau mempertahankan akreditasi sekolah.
Sogokan Orang Tua Siswa
Mungkin sudah tidak aneh lagi dengan peristiwa ini, apalagi ketika saat pembagian rapor. Orang tua sering kali melakukan pendekatan secara personal dengan menyelipkan suatu hadiah atau barang sebagai simbol tanda terima kasih kepada wali kelas.
Padahal ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antara satu sama lain, dan kejadian ini secara tidak langsung sebenarnya merupakan dorongan kepada guru untuk dapat mendongkrak nilai rapor yang merupakan hasil belajar siswa.
Saya sebagai penulis juga pernah mengalami hal yang sama ketika duduk di bangku sekolah dasar, sempat membuat saya bertanya-tanya dengan guru tersebut.
Mungkin kita pernah merasakan berbeda hal nya dengan guru di SMP dan SMA, kalau di SD guru mata pelajaran apa saja itu hanya satu guru yaitu wali kelas kita sendiri, dan berganti guru ketika mata pelajaran agama dan olahraga.
Guru ini terlihat selalu memberikan nilai yang besar kepada siswa yang sebenarnya tak pintar-pintar amat, teman saya yang selalu mendapatkan juara pun tiba-tiba tergeser dengan siswa tersebut.
Ternyata, siswa itu mengikuti les dengan guru itu dan orang tuanya sering datang ke rumahnya sembari membawa buah tangan bagaikan untuk orang yang sedang menderita penyakit. Maksudnya adalah makanan-makanan itu dibawa banyak sekali mungkin bisa sampai berceceran.
Seketika itu, teman saya mengikuti langkah dari siswa tersebut dan akhirnya pada semester akhir kembali mendapatkan juara kelas. Sungguh, saya merasa berpikir keras dan bertanya-tanya, mengapa guru seperti itu bisa mengajar di sekolah ini.
Persaingan Antar Sekolah
Mari kita beranalogi, misalnya ada sekolah yang mendapatkan akreditasi A dan sekolah ini menggelembungkan nilai rapor. Maka secara tidak langsung sebagian sekolah lainnya akan ikut mendongkrak nilai siswa agar tidak terkalahkan.
Tujuannya pasti masih sama yaitu untuk siswanya diterima di jenjang berikutnya, apalagi jika siswa tersebut ingin diterima di sekolah unggulan di suatu daerah yang diminatinya sejak lama.
Melalui penggelembungan nilai disertai dengan hasil jangkauan banyaknya siswa yang diterima di jenjang berikutnya, maka mampu memberikan peningkatan siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut dibanding tahun sebelumnya.
Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan solusi agar persaingan ini tidak berlanjut dan kembali normal sehingga nilai yang diberikan sesuai dengan kemampuan siswa.
Guru Baik Hati
Dari banyaknya alasan penggelembungan nilai, kasus guru yang baik hati pun untuk sedekah nilai terjadi karena beberapa guru merasa kasihan kepada siswa yang sudah berusaha dan bekerja keras dalam belajar tetapi mendapatkan nilai rendah.
Melalui peningkatan nilai, guru mengharapkan siswa dapat melanjutkan ke jenjang berikutnya tanpa mengulang kembali di jenjang sebelumnya agar tidak merasa putus asa.
Oleh sebab itu, fenomena guru sedekah nilai rapor kepada siswa terjadi akibat berbagai hal. Pemerintah perlu melihat lebih jauh terkait kasus ini agar tidak terjadi kembali dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Pendidikan yang berkeadilan penting bagi siswa dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah, nilai yang diberikan sebisa mungkin untuk tetap mempertahankan keasliannya dan tidak direkayasa.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Kecurangan Pelaksanaan TKA 2025: Cermin Buram Rapuhnya Nilai Integritas?
-
Menimbang Kesiapan TKA 2025: Dari Gangguan Server hingga Suara Siswa
-
Dana Masyarakat: Antara Transparansi Pemerintah dan Tanggung Jawab Warga
-
Evaluasi Program MBG: Transparansi, Kualitas, dan Keselamatan Anak
-
Ketika Whoosh Bikin Anggaran Bengkak, Kereta Konvensional Jadi Anak Tiri?
Artikel Terkait
-
Kurikulum yang Berpihak pada Anak: Apakah Sudah Terwujud?
-
Beratnya Jadi Guru: Harus Bisa Digugu Lan Ditiru, Juga Yoga Anyangga Yogi
-
Isu Plagiarisme dalam Disertasi Menteri Bahlil, Ini Penjelasan Menohok dari 2 Guru Besar
-
Karakteristik Ray Dalio yang Dikenalkan Prabowo ke Konglomerat RI, Lebih Senang Investasi Emas
-
Harganya Gila! Emil Audero Bikin Pemain ASEAN Cuma Jadi 'Remahan Rengginang' Usai Perkuat Timnas Indonesia
Kolom
-
Perjalanan 15 Tahun Mengabdi di SD Negeri Dayuharjo
-
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
-
Darurat Bullying Nasional: Mengapa Ekosistem Kekerasan Anak Terus Tumbuh?
-
Bullying dan Kelas Sosial: Anak Miskin Lebih Rentan Jadi Target
-
Kasus SMPN 19 Tangsel Jadi Pengingat Keras: Bullying Nggak Pernah Sepele
Terkini
-
Mercusuar Cafe & Resto: Spot Foto Magical ala Negeri Dongeng di Bandung!
-
Jadi Groomsmen Boiyen, Andre Taulany Titip Doa Manis untuk Kedua Pengantin!
-
Bukan Cuma Bungkuk, Ini 5 Cara Sederhana Mencegah Skoliosis Biar Gak Makin Parah
-
Bukan Sekadar Hiburan, Ernest Prakasa Sebut Komedi Jalan Halus Kritik Tajam
-
4 Rekomendasi HP 1 Jutaan dengan Kamera Terbaik di 2025, Resolusi hingga 50MP!