Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sabit Dyuta
Ilustrasi cahaya kebaikan di bulan Ramadan (Pexels/Ahmed Aqtai)

Bulan Ramadan selalu identik dengan kebaikan. Di bulan ini, masjid lebih ramai dari biasanya, sedekah mengalir lebih deras, dan berbagai aksi sosial dilakukan di berbagai tempat.

Akan tetapi, ada satu hal yang sering luput dari perhatian: kebaikan-kebaikan kecil yang sebenarnya memiliki dampak besar dalam kehidupan sehari-hari.

Senyum, menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan, serta menyapa orang lain—hal-hal sederhana ini kerap dianggap remeh, padahal bisa menjadi bentuk ibadah yang tidak kalah bernilai.

Senyum, misalnya. Berapa banyak orang yang masih berpikir bahwa ibadah hanya soal salat, puasa, dan membaca Al-Qur'an? Padahal, tersenyum juga termasuk sedekah.

Sayangnya, dalam keseharian, banyak yang melupakan untuk sekadar membagikan senyum kepada sesama. Ketika membeli takjil di pasar Ramadan, sering terlihat interaksi yang terasa kaku antara penjual memasang wajah lelah dan pembeli hanya sekadar bertransaksi tanpa ada kehangatan.

Satu senyuman bisa mencairkan suasana dan menciptakan energi positif. Sebuah penelitian bahkan menunjukkan bahwa tersenyum bisa meningkatkan suasana hati dan memperbaiki hubungan sosial.

Ketika seseorang tersenyum, otak melepaskan hormon endorfin, serotonin, dan dopamin. Hormon-hormon ini berperan dalam menciptakan perasaan bahagia, rileks, dan nyaman.

Senyum memiliki efek menular. Ketika seseorang tersenyum, orang di sekitarnya cenderung merespons dengan senyuman pula. Hal ini menciptakan suasana positif dan meningkatkan suasana hati secara kolektif.

Jika senyum saja bisa memberikan efek baik seperti itu, mengapa masih banyak yang enggan melakukannya?

Kemudian, ada masalah sampah. Ramadan justru sering menjadi bulan dengan peningkatan volume sampah yang signifikan. Di banyak tempat, plastik bekas bungkus takjil berserakan, kotak nasi habis berbuka dibiarkan begitu saja di tempat umum, bahkan di masjid sekali pun.

Seolah-olah kebersihan hanya menjadi tanggung jawab petugas kebersihan, bukan bagian dari kepedulian bersama.

Padahal, menjaga kebersihan bukan hanya sekadar etika sosial, tapi juga bagian dari iman. Jika seseorang bisa menahan lapar dan haus seharian demi ibadah puasa, mengapa sulit untuk menahan diri agar tidak membuang sampah sembarangan?

Lalu, ada hal sesederhana menyapa. Ramadan seharusnya menjadi momen yang mempererat kebersamaan, tapi kenyataannya banyak orang justru semakin sibuk dengan urusannya sendiri.

Tidak jarang, seseorang datang ke masjid, menunaikan ibadah, lalu pergi begitu saja tanpa berinteraksi dengan orang di sekitarnya.

Saling menyapa mungkin terlihat sepele, tapi bagi sebagian orang, sapaan hangat bisa berarti lebih dari sekadar kata-kata. Itu bisa menjadi bentuk kepedulian, tanda bahwa seseorang tidak sedang beribadah sendirian, melainkan menjadi bagian dari komunitas yang saling mendukung dalam kebaikan.

Ramadan bukan hanya tentang ibadah besar yang terlihat, tapi juga tentang kebiasaan kecil yang bisa membawa perubahan besar.

Senyum dapat membuat seseorang merasa dihargai, menjaga kebersihan bisa menciptakan lingkungan yang lebih nyaman, dan menyapa bisa membuat orang lain merasa diperhatikan. Senyum dapat memperkuat komunikasi nonverbal dan membantu menyampaikan emosi positif.

Kebaikan tidak harus selalu dalam bentuk donasi besar atau aksi sosial yang melibatkan banyak orang. Terkadang, sesuatu yang terlihat sederhana justru bisa memiliki dampak yang lebih mendalam.

Ketika Ramadan berakhir, kebiasaan ini seharusnya tidak ikut berlalu. Kebaikan kecil yang dilakukan dengan tulus bisa menjadi bagian dari gaya hidup sehari-hari.

Karena sejuta pahala tidak selalu datang dari perbuatan besar, tetapi juga dari hal-hal kecil yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan ketulusan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sabit Dyuta