Wakil Presiden Indonesia, Gibran Rakabuming Raka, baru-baru ini mengusulkan agar kecerdasan buatan (AI) dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah Indonesia. Langkah ini diklaim sebagai upaya untuk memastikan bahwa generasi muda tidak tertinggal dalam perkembangan teknologi global yang semakin pesat.
Gibran menekankan bahwa guru dan siswa harus segera beradaptasi dengan AI agar tidak ketinggalan zaman. Namun, di balik ambisi besar ini, muncul berbagai kritik dan kekhawatiran, terutama terkait dampak negatif dari ketergantungan siswa pada AI dalam proses belajar.
Tidak dapat disangkal bahwa AI memiliki potensi besar dalam dunia pendidikan. AI dapat membantu siswa mengakses informasi dengan cepat, mempermudah tugas-tugas akademik, dan meningkatkan efisiensi belajar. Namun, terlalu bergantung pada AI dapat membawa konsekuensi yang serius.
- Menurunnya Kemampuan Berpikir Kritis
Salah satu kekhawatiran terbesar adalah risiko menurunnya kemampuan berpikir kritis siswa. Jika AI terus digunakan untuk menyelesaikan tugas sekolah, siswa akan terbiasa mencari jawaban instan tanpa benar-benar memahami proses berpikir di baliknya. Ini dapat membuat mereka kehilangan kemampuan untuk menganalisis masalah secara mendalam dan menemukan solusi secara mandiri.
- Kreativitas yang Semakin Tumpul
Pendidikan bukan hanya tentang menghafal informasi, tetapi juga mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir out-of-the-box. Ketika AI digunakan untuk menghasilkan ide-ide kreatif atau bahkan menyusun esai, siswa kehilangan kesempatan untuk mengembangkan imajinasi dan pemikiran inovatif mereka sendiri.
- Kemalasan Akademik
Dengan AI yang siap membantu dalam hitungan detik, godaan untuk tidak berusaha memahami materi secara mendalam semakin besar. Siswa mungkin akan lebih memilih untuk menyalin jawaban yang diberikan oleh AI daripada berusaha menyelesaikan tugas secara mandiri.
- Ketergantungan Teknologi yang Berlebihan
Ketika teknologi menjadi satu-satunya alat belajar, risiko ketergantungan meningkat. Hal ini akan menjadi masalah besar jika suatu saat AI mengalami gangguan atau tidak tersedia, karena siswa akan kesulitan untuk beradaptasi kembali dengan metode pembelajaran manual.
Sebagai perbandingan, Swedia—salah satu negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia—baru-baru ini mengambil langkah berlawanan dengan Indonesia. Setelah lebih dari satu dekade menerapkan digitalisasi dalam pendidikan, Swedia memutuskan untuk kembali ke metode pembelajaran manual, seperti menulis tangan dan menggunakan buku cetak.
Langkah ini diambil setelah beberapa penelitian menunjukkan bahwa penggunaan perangkat digital secara berlebihan justru menurunkan kemampuan membaca, menulis, dan berpikir kritis siswa.
Para ahli pendidikan di Swedia menemukan bahwa siswa yang terlalu banyak mengandalkan teknologi memiliki kesulitan dalam memahami teks secara mendalam dan cenderung mengalami penurunan konsentrasi.
Pemerintah Swedia bahkan mengalokasikan anggaran sebesar 104 juta euro untuk menyediakan buku cetak bagi setiap siswa di sekolah, dengan tujuan mengembalikan fokus pada pembelajaran berbasis teks daripada layar digital.
Meskipun AI menawarkan banyak manfaat dalam dunia pendidikan, Indonesia perlu mempertimbangkan langkah-langkah yang seimbang dalam mengintegrasikan teknologi ini ke dalam sistem pembelajaran.
Jika Swedia, dengan sistem pendidikan yang jauh lebih maju, justru kembali ke metode manual, maka Indonesia perlu lebih berhati-hati agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Gibran mungkin memiliki visi yang baik dalam membawa Indonesia menuju era digital yang lebih maju, tetapi tanpa strategi yang tepat, integrasi AI dalam pendidikan bisa lebih banyak merugikan daripada menguntungkan.
Swedia telah menunjukkan bahwa digitalisasi yang berlebihan dapat menurunkan kualitas pembelajaran, dan Indonesia sebaiknya belajar dari pengalaman tersebut.
Inovasi memang penting, tetapi apakah Indonesia siap menghadapi konsekuensi dari digitalisasi pendidikan yang berlebihan? Jangan sampai ambisi untuk maju justru membuat generasi muda kehilangan kemampuan berpikir yang sesungguhnya.
Baca Juga
-
Kopi Bikin Awet Muda? Studi Harvard Buktikan Manfaat Tak Terduga
-
Tempe Dibagi Lima, Sambal Direbutin: Cerita di Balik Nasi Hangat Pesantren
-
Program 3 Juta Rumah: Solusi atau Beban Baru Rp14,4 Triliun per Tahun?
-
Janji Mundur atau Strategi Pencitraan? Membaca Ulang Pernyataan Prabowo
-
Prabowo Tunjuk Jenderal BIN Jadi Dirjen Bea Cukai: Loyalitas di Atas Kompetensi?
Artikel Terkait
-
Dari Volkschool ke Sekolah Prabowo: Sejarah Panjang Sekolah Rakyat di Indonesia
-
5 Rencana Sekolah Rakyat Prabowo: Punya Misi Putus Rantai Kemiskinan
-
Taliban Abaikan Separuh Populasi: UNICEF Desak Anak Perempuan Afghanistan Boleh Sekolah Lagi
-
Sekolah Rakyat untuk Memutus Mata Rantai Kemiskinan, Prabowo: Anak Tidak Boleh Jadi Pemulung
-
Telkomsel Hadirkan Lebih dari 200 BTS 5G di Surabaya, Kecepatan Maksimum Tembus 480 Mbps
Kolom
-
Masalah Emisi Rendah dan Kenyamanan Penumpang: Apa Kabar Janji Pemerintah?
-
Jalan Raya ke Dunia Maya: Ketika Media Sosial Masih Tak Ramah pada Perempuan
-
Bukannya Berharap, tapi Ketegangan di Timur Tengah Berikan Keuntungan bagi Timnas Indonesia
-
Kenapa Kerja dari Rumah Bikin Kita Nggak Ngerasa Hidup?
-
Antara Manipulasi dan Legitimasi: Saat Pemerintah Bicara Tanpa Mendengar
Terkini
-
Bantah Terlibat Prostitusi, Ju Haknyeon dan Agensi Saling Tuntut di Pengadilan
-
Rumitnya Kisah Love-Hate Relationship di Webtoon "Cry, or Better Yet, Beg"
-
Tak Ingin Gagal Lagi, Ferarri, Kapten Timnas U-23 Targetkan Juara AFF U-23 2025
-
Cedera Pergelangan Kaki, Natty Kiss of Life akan Batasi Gerakan saat Tampil
-
Kaos hingga Blazer, Ini 4 Ide OOTD ala Mark Tuan GOT7 yang Bikin Keren di Semua Momen