Sekarang coba Sobat Yoursay bayangkan, kalau tiba-tiba ada AI yang bisa menggambar dengan gaya Studio Ghibli dalam hitungan detik. Keren? Atau justru menyeramkan?"
Di satu sisi, teknologi AI seperti ini bisa dianggap sebagai inovasi yang mempermudah pekerjaan. Sayangnya di sisi lain, itu juga bisa jadi mimpi buruk bagi para seniman yang menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengasah keterampilan mereka. Ketika AI mulai meniru gaya Studio Ghibli, reaksinya pun langsung panas banget.
Gini Sobat Yoursay, tentu di antara kalian sudah mendengar terkait AI Ghibli yang lagi panas-panasnya dibahas. Polemik soal AI Ghibli sebenarnya bukan hal baru kalau kita lihat bagaimana AI makin masuk ke dunia seni. Dari musik, fotografi, ilustrasi, sampai film, teknologi ini sudah mulai banyak dipakai, dan tentu saja reaksinya beragam.
Ada yang melihatnya sebagai inovasi yang bisa bantu kerja kreatif jadi lebih cepat dan efisien, tapi ada juga yang menganggap ini sebagai ancaman besar buat para seniman. Nah, kasus AI yang bisa bikin gambar ala Studio Ghibli ini bikin situasi makin panas karena melibatkan salah satu studio animasi paling dihormati di dunia.
Ghibli itu punya ciri khas yang nggak cuma soal gaya visual. Warna pastel yang lembut, nuansa magis yang bikin nyaman, karakter yang terasa hidup, semuanya adalah hasil dari tangan-tangan animator berbakat yang sudah mendedikasikan hidup mereka buat seni ini.
Jadi, ketika ada AI yang tiba-tiba bisa meniru gaya mereka dalam hitungan detik, wajar kalau mereka marah. Ini bukan sekadar soal "gambar yang mirip," tapi lebih ke bagaimana AI bisa mengambil sesuatu yang berakar dari kerja keras bertahun-tahun dan menyulapnya jadi produk instan.
Henry Thurlow, yang sudah lama berkecimpung di dunia animasi, juga ikut bersuara. Dia bilang, “Kalau seseorang nggak mau mendedikasikan dirinya buat seni, lebih baik jangan ikut campur di industri ini!”
Pendapat itu keras, tapi ada benarnya. Seni itu bukan cuma soal hasil akhir, tapi juga proses. Animator kayak Thurlow, yang pernah kerja di proyek besar seperti ‘One Piece’, ‘Naruto’, sampai ‘JoJo’s Bizarre Adventure’, tahu betapa sulitnya menciptakan sesuatu dari nol.
Mereka (animator) harus belajar anatomi, perspektif, teknik pewarnaan, bahkan memahami ekspresi karakter supaya bisa bikin animasi yang benar-benar hidup. Semua itu butuh waktu bertahun-tahun buat dikuasai.
Lalu, sekarang AI hadir dan bisa meniru itu semua dalam sekejap? Nggak heran kalau para animator merasa kerja keras mereka jadi kayak nggak dihargai.
Namun, di sisi lain, kita juga nggak bisa menutup mata bahwa AI itu terus berkembang. Mau nggak mau, teknologi akan tetap maju. Pertanyaannya sekarang adalah: Bagaimana kita menghadapinya?
Kalau AI dipakai dengan cara yang salah, misalnya, melatih modelnya dari karya seniman tanpa izin—itu jelas nggak etis. Itu sama saja seperti mencuri. Akan tetapi, kalau AI bisa dikembangkan sebagai alat bantu, mungkin bisa ada jalan tengahnya. Misalnya, AI bisa dipakai buat mempercepat proses produksi tanpa menggantikan peran animator sepenuhnya.
Bayangkan kalau AI dipakai buat membantu rendering atau mempercepat pembuatan sketsa dasar, sementara sentuhan akhir tetap dilakukan sama para seniman. Dengan cara ini, AI bukan jadi ancaman, tapi justru bisa membantu industri kreatif berkembang lebih cepat.
Tentu saja, itu semua balik lagi ke regulasi dan bagaimana teknologi ini diatur. Kalau dibiarkan liar tanpa aturan, bakal makin banyak kasus karya seniman ditiru tanpa izin.
Jadi, intinya, aku paham banget kenapa Studio Ghibli dan para animator marah. Mereka melihat AI ini bukan sekadar teknologi baru, tapi ancaman buat eksistensi seni tradisional yang mereka cintai.
Di sisi lain, kita juga nggak bisa sepenuhnya menolak teknologi karena dunia akan terus berubah. Tantangannya jelas, gimana kita bisa menemukan keseimbangan antara inovasi dan etika, supaya AI bisa jadi alat yang mendukung seniman (animator), bukan menggantikan mereka.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Review Film Angkara Murka: Horor dan Kekuasaan di Balik Gelapnya Tambang
-
Mengenal Lebih Dalam Dunia Film Surealis yang Aneh tapi Memikat
-
Review Film Lilo & Stitch: Live-Action yang Cuma Dibikin Ulang?
-
Review Film Gundik: Teror Siluman Ular Saat Rumahnya Dirampok
-
Apa yang Membuat Film Final Destination - Bloodlines Sukses Besar?
Artikel Terkait
-
Duel Tablet Premium: Samsung Galaxy Tab S10 FE+ Tantang iPad dengan Fitur AI dan Layar 13 Inci
-
Samsung Pamer Deretan Fitur Pintar Galaxy AI di HP Seri A, Setangguh Apa?
-
AI Mengguncang Dunia Seni: Kreator Sejati atau Ilusi Kecerdasan?
-
Profil Brillian Fairiandi: Sutradara Al Video Gibran Naik Unta Bak Paul Atreides
-
WhatsApp Kembangkan Fitur Pengingat Pesan Menggunakan Meta AI
Kolom
-
Mengenal Lebih Dalam Dunia Film Surealis yang Aneh tapi Memikat
-
Seragam vs Streetwear! Pencarian Diri di Antara Aturan dan Kebebasan
-
Di Balik Dinding Akademik: Kampus dan Luka yang Tak Terlihat
-
Luka Psikologis yang Tak Terlihat di Balik Senyum Ibu Baru
-
Mindful Eating atau Makan Sambil Scroll? Dilema Makan Sehat dan Screen Time
Terkini
-
Netflix Buka Suara Soal Yeji ITZY Gabung Alice in Borderland Season 3
-
4 Klub Unggas Sudah Berjaya di Tahun 2025, tapi Masih Ada Satu Lagi yang Harus Dinantikan!
-
Haechan akan Merilis Lagu The Reason I Like You, OST Second Shot At Love
-
Film Animasi KPop Demon Hunters Umumkan Jajaran Pengisi Suara dan Musik
-
Wacana BRI Liga 1 Tambah Kuota 11 Pemain Asing, Ini 3 Dampak Negatifnya