Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Naufal Mamduh
Ilustrasi desa sepi setelah lebaran (Freepik.com)

Libur Lebaran 2025 resmi usai. Jalanan tol kembali padat oleh arus balik, stasiun dan bandara dipenuhi wajah-wajah lelah namun siap kembali menjalani rutinitas. Para pemudik satu per satu meninggalkan kampung halaman, kembali ke kota-kota besar tempat mereka bekerja, belajar, dan menggantungkan masa depan.

Namun, yang patut direnungkan bukan hanya siapa yang kembali, melainkan apa yang mereka tinggalkan untuk kampung halamannya.

Perputaran Uang Besar, Tapi Tak Tertinggal Apa-Apa

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mencatat perputaran uang selama Lebaran 2025 mencapai Rp137,9 triliun. Meski angkanya masih besar, jumlah ini menurun signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp157,3 triliun. Penurunan ini bisa menjadi sinyal bahwa daya beli masyarakat menurun atau distribusi ekonomi tidak lagi semerata dulu.

Sebagian besar uang itu memang sempat mengalir ke daerah, terutama di kampung-kampung tujuan mudik. Pedagang musiman, tukang cukur, hingga penjual makanan mendapat limpahan rezeki dadakan. Namun setelah para pemudik kembali ke kota, ekonomi desa kembali senyap. Tak ada jejak nyata dari perputaran ratusan triliun itu. Seolah hanya lewat tanpa menumbuhkan apa-apa.

Desa Kembali Sunyi, Ekonomi Lokal Tak Berkembang

Kita menyaksikan pola berulang setiap tahun. Euforia dua pekan, lalu kembali ke stagnasi. Pemudik datang sebagai “pahlawan keluarga,” membawa oleh-oleh dan cerita dari kota. Namun mereka pulang tanpa meninggalkan sistem atau kontribusi yang bisa bertahan lebih lama dari masa libur itu sendiri.

Apa jadinya jika semua pemudik hanya membawa nostalgia dan konsumsi sesaat? Kampung halaman tidak pernah naik kelas menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Padahal, dengan strategi yang tepat, mudik bisa menjadi momentum tahunan untuk membangun ulang koneksi, menanam investasi sosial, dan menggerakkan ekonomi lokal dari bawah.

Ketimpangan yang Makin Nyata

Mudik juga menjadi momen reflektif untuk menilai sejauh mana pemerataan pembangunan berjalan. Sayangnya, dari tahun ke tahun, kota tetap menjadi pusat segalanya: ekonomi, pendidikan, lapangan kerja, hingga layanan kesehatan. Sementara itu, desa masih bergantung pada momen musiman seperti Lebaran untuk 'hidup' sejenak.

Program Dana Desa memang terus dikucurkan. Namun sebagian besar masih terserap untuk pembangunan fisik, bukan untuk meningkatkan kapasitas ekonomi masyarakat. Tanpa visi jangka panjang, desa hanya menjadi tempat yang ditinggalkan usai Lebaran. Bukan tempat yang dituju untuk masa depan.

Yang Bisa Ditinggalkan Pemudik

Jika ingin benar-benar memberi dampak, para pemudik perlu melihat diri mereka bukan sekadar tamu tahunan, melainkan sebagai jembatan antara kota dan desa. Mereka memiliki akses terhadap jaringan, pengetahuan, dan peluang. Modal penting ini bisa ditransformasikan menjadi kekuatan lokal.

Bayangkan jika satu dari sepuluh pemudik membangun kios digital di desanya. Atau membantu satu UMKM lokal menjual produknya lewat e-commerce. Atau melatih anak-anak muda desa dalam keterampilan praktis seperti coding, desain, atau pengelolaan keuangan.

Pemerintah juga perlu berperan lebih aktif dengan menciptakan skema insentif bagi perantau yang ingin berinvestasi di desa. Insentif bisa berupa keringanan pajak, subsidi, atau program kolaboratif antar daerah dan diaspora.

Dari Nostalgia ke Investasi Sosial

Momentum arus balik Lebaran adalah saat yang tepat untuk merenung. Ketika pemudik kembali ke kota, desa kembali sunyi. Tapi bukan berarti harus kembali stagnan.

Lebaran seharusnya bukan hanya tentang berkumpul dan belanja sesaat. Ia bisa menjadi awal perubahan. Yang ditinggalkan pemudik seharusnya bukan cuma sisa kado dan kenangan, tapi warisan sosial. Sebuah inisiatif, pengetahuan, atau bahkan tekad kolektif untuk membangkitkan desa secara berkelanjutan. Karena kampung halaman bukan sekadar tempat kita pulang. Ia bisa menjadi tempat kita bermula kembali.

Naufal Mamduh