Demonstrasi menolak pengesahan UU TNI yang berlangsung di berbagai kota di Indonesia baru-baru ini diwarnai oleh tindakan represif aparat kepolisian. Alih-alih menjalankan tugas sebagai pengayom masyarakat, aparat justru bertindak sewenang-wenang dengan membubarkan aksi secara paksa menggunakan kekerasan.
Insiden ini memicu kecaman luas dari berbagai pihak, termasuk aktivis hak asasi manusia, akademisi, hingga masyarakat sipil yang menilai bahwa tindakan aparat telah mencederai prinsip demokrasi dan kebebasan berpendapat.
Di Jakarta, aksi yang digelar di depan Gedung DPR/MPR RI berlangsung damai sebelum akhirnya berubah menjadi chaos setelah polisi menggunakan gas air mata dan water cannon untuk membubarkan massa.
Parahnya, relawan medis yang berusaha memberikan pertolongan pertama malah mengalami intimidasi dan kekerasan fisik dari polisi.
Demonstrasi yang berlangsung di Yogyakarta juga tak lepas dari tindakan brutal aparat. Awalnya, massa yang terdiri dari mahasiswa dan aktivis berkumpul untuk menyuarakan penolakan terhadap UU TNI.
Namun, situasi berubah tegang saat polisi mulai merangsek ke arah demonstran dan membubarkan mereka dengan gas air mata serta pukulan.
Sejumlah mahasiswa mengalami luka-luka akibat tindakan represif ini, dan beberapa di antaranya harus mendapatkan perawatan medis. Tak hanya itu, belasan mahasiswa dilaporkan ditangkap tanpa alasan jelas.
Tindakan brutal aparat kepolisian ini mendapat kritik keras dari berbagai lembaga dan aktivis hak asasi manusia.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menegaskan bahwa tindakan polisi yang melakukan kekerasan terhadap demonstran dan tenaga medis adalah pelanggaran hukum yang harus diusut tuntas. LBH juga menyatakan bahwa para mahasiswa korban kekerasan akan menuntut pertanggungjawaban polisi secara hukum.
Sementara itu, Indonesian Corruption Watch (ICW) juga mengecam tindakan represif tersebut. Menurut mereka, tindakan ini merupakan bentuk pembungkaman terhadap suara rakyat yang menentang kebijakan yang dianggap bermasalah.
Apa yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani demonstrasi ini tidak hanya bertentangan dengan prinsip demokrasi, tetapi juga melanggar hak asasi manusia yang dijamin dalam konstitusi.
Menurut Pasal 28E UUD 1945, setiap warga negara berhak atas kebebasan berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Selain itu, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga menjamin hak masyarakat untuk berekspresi tanpa takut mengalami intimidasi atau kekerasan.
Namun, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya—aparat kepolisian bertindak layaknya alat represif negara yang menghalangi kebebasan rakyat.
Selain itu, penggunaan gas air mata dalam aksi damai juga melanggar Pedoman PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum. Pedoman ini menegaskan bahwa penggunaan gas air mata, pemukulan, hingga penangkapan sewenang-wenang tidak bisa dibenarkan, terlebih dalam aksi damai.
Kekerasan yang dilakukan aparat dalam menangani demonstrasi tidak hanya merugikan korban secara fisik, tetapi juga menimbulkan dampak psikologis dan sosial yang lebih luas. Masyarakat akan semakin takut untuk menyampaikan pendapat, yang pada akhirnya dapat mengikis budaya demokrasi.
Situasi ini berbahaya karena berpotensi membawa Indonesia menuju negara dengan sistem yang semakin otoriter, suara rakyat diabaikan dan kebebasan berekspresi semakin terancam.
Oleh karena itu, perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap prosedur penanganan demonstrasi oleh aparat kepolisian. Pemerintah juga harus memastikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam aksi-aksi unjuk rasa ini diusut secara transparan, dan pelaku kekerasan dari pihak kepolisian harus diberikan sanksi tegas.
Hanya dengan langkah-langkah ini, kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum dapat dipulihkan, dan demokrasi di Indonesia bisa tetap berdiri kokoh. Jika tidak, maka bukan tidak mungkin kita akan melihat lebih banyak kasus kekerasan polisi di masa depan, yang semakin menjauhkan Indonesia dari prinsip negara demokrasi yang beradab.
Jika kebebasan berpendapat terus direpresi dengan kekerasan, ke mana arah demokrasi kita? Apakah kita akan diam saja melihat hak-hak kita semakin terkikis, atau justru semakin berani bersuara demi perubahan?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Prabowo Tunjuk Jenderal BIN Jadi Dirjen Bea Cukai: Loyalitas di Atas Kompetensi?
-
Prioritas yang Salah: Ketika Baznas Pilih Beli Mobil Ketimbang Bantu Rakyat
-
Efisiensi atau Ilusi? Mengulik RAPBN 2026 di Tengah Ambisi dan Realita
-
Surplus tapi Masih Impor: Paradoks Kebijakan Pangan Indonesia
-
Usul KPK Danai Partai Politik: Benarkah Bisa Kurangi Korupsi?
Artikel Terkait
-
Formappi Harap DPR Tak Ulang Kesalahan RUU TNI Saat Bahas RUU Polri
-
Formappi Kritisi Dasco, Revisi UU Polri Dikhawatirkan Bernasib Sama Seperti RUU TNI hingga RUU BUMN
-
Warganet Geram Lihat Warga di Jakbar Rela Antre untuk Tandatangani Petisi Dukung UU TNI Demi Sembako
-
Teror terhadap Media: Alarm Keras bagi Kebebasan Pers di Indonesia
-
Represi Aparat dan Hilangnya Ruang Demokrasi: Akankah Sejarah Berulang?
Kolom
-
Mengenal Lebih Dalam Dunia Film Surealis yang Aneh tapi Memikat
-
Seragam vs Streetwear! Pencarian Diri di Antara Aturan dan Kebebasan
-
Di Balik Dinding Akademik: Kampus dan Luka yang Tak Terlihat
-
Luka Psikologis yang Tak Terlihat di Balik Senyum Ibu Baru
-
Mindful Eating atau Makan Sambil Scroll? Dilema Makan Sehat dan Screen Time
Terkini
-
Netflix Buka Suara Soal Yeji ITZY Gabung Alice in Borderland Season 3
-
4 Klub Unggas Sudah Berjaya di Tahun 2025, tapi Masih Ada Satu Lagi yang Harus Dinantikan!
-
Haechan akan Merilis Lagu The Reason I Like You, OST Second Shot At Love
-
Film Animasi KPop Demon Hunters Umumkan Jajaran Pengisi Suara dan Musik
-
Wacana BRI Liga 1 Tambah Kuota 11 Pemain Asing, Ini 3 Dampak Negatifnya