Di negara yang mengaku demokratis, kritik seharusnya menjadi napas, bukan musuh. Tapi entah mengapa, semakin ke sini, suara kritis justru sering dianggap ancaman. Bahkan yang terbaru, peringatan datang dari Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Luhut Binsar Pandjaitan.
Luhut menyampaikan imbauan tentang pentingnya menjaga sopan santun dalam demokrasi kepada wartawan setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Solo, pada hari terakhir Ramadan 1446 H, Senin (31/3/2025).
“Demokrasi itu betul, tapi jangan demokrasi itu jadi merusak budaya sopan santun kita,” ujar Luhut.
Sekilas, pesannya terdengar baik, tapi maknanya menggigit—seolah-olah rakyat yang bersuara dianggap tidak tahu etika.
Lucu, bukan?
Rakyat yang mempertanyakan kebijakan disuruh diam dengan alasan "tidak sopan". Padahal pemerintah sendiri tidak segan-segan melontarkan ucapan tajam, kasar, dan melecehkan nalar publik.
Kita masih ingat ucapan “ndasmu” dan "anjing menggonggong" yang dilontarkan kepada akademisi, atau komentar merendahkan dari pejabat terhadap warganet yang menyampaikan kegelisahan mereka. Tapi saat rakyat marah karena subsidi dipangkas, harga naik, atau janji tinggal janji—mereka yang protes dianggap memperkeruh suasana.
Bukankah hal ini justru bertolak belakang dengan pesan untuk menjaga etika dan tata krama? Jika pejabat tidak mampu menjadi contoh, bagaimana mungkin masyarakat bisa diminta untuk menahan diri?
Mari kita bicara jujur—apa sebenarnya yang ditakutkan dari kritik?
Kritik bukan serangan. Ia adalah bentuk perlawanan terhadap ketimpangan. Ia adalah upaya rakyat untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak berjalan seenaknya.
Tapi dalam sistem yang mulai alergi terhadap suara berbeda, kritik justru dianggap duri. Tidak peduli seberapa logis atau datanya sekuat apa, jika tidak sejalan dengan narasi penguasa, maka langsung dicap destruktif.
Ketika kritik tidak bisa diserang lewat logika, maka yang digunakan adalah moralitas. "Jangan kasar", "jaga etika", "sopan dong"—semuanya terdengar bijak, tapi sebenarnya alat untuk membuat orang ragu bersuara.
Rakyat kecil yang setiap hari dihantam naiknya harga, sulitnya akses layanan publik, hingga kebijakan yang membingungkan, justru disuruh bicara dengan kalimat manis.
Pemerintah boleh membuat keputusan tanpa transparansi, tapi rakyat dilarang bertanya terlalu keras. Pemerintah boleh janji A, realisasi Z, tapi rakyat diminta tetap sabar dan “berprasangka baik”.
Bukan hanya tidak adil, tapi juga merendahkan kecerdasan publik.
Ketika rakyat mempertanyakan program seperti makan bergizi gratis, misalnya, bukan karena mereka tidak suka anak-anak sehat.
Tapi karena mereka punya hak bertanya: anggarannya dari mana? Pelaksanaannya bagaimana? Apakah ini benar-benar prioritas atau sekadar pencitraan? Tapi lagi-lagi, pertanyaan seperti ini dijawab dengan tuduhan “tidak sabar”, “tidak konstruktif”, atau “tidak punya sopan santun”.
Inilah bahayanya. Ketika etika dijadikan alat untuk menekan kebebasan berpikir, maka demokrasi yang dibangun menjadi semu.
Lebih berbahaya lagi, ketika pejabat yang menuntut rakyat bersikap sopan, justru tidak bisa menahan ego mereka sendiri. Kritik dibalas dengan amarah, pertanyaan dijawab dengan sinisme.
Ini bukan lagi soal etika, ini soal kekuasaan yang terlalu nyaman duduk di singgasananya—sampai lupa bahwa jabatan adalah amanah, bukan tameng.
Jika sopan santun terus dijadikan senjata untuk membungkam kritik, maka jangan heran kalau suatu hari rakyat memilih untuk diam. Tapi diam bukan berarti menerima. Diam bisa berarti muak. Dan saat kemuakan itu meluap, jangan salahkan siapa pun kalau suara yang keluar bukan lagi sekadar kritik, tapi kemarahan.
Demokrasi bukan taman bermain satu arah. Ia harus memberi ruang bagi yang setuju dan yang tidak. Karena dari suara yang berbeda, lahir solusi yang lebih kuat. Pemerintah harus siap dikritik. Dan rakyat berhak marah. Bukan karena benci, tapi karena mereka peduli.
Jadi, berhentilah memakai “sopan santun” sebagai tameng kekuasaan. Kalau pemerintah ingin dihormati, maka belajarlah untuk menghormati rakyat terlebih dahulu.
Jika sopan santun hanya berlaku untuk rakyat, bukan penguasa, masih pantaskah kita menyebut ini demokrasi—atau hanya ilusi kekuasaan yang takut dikritik?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Prabowo Tunjuk Jenderal BIN Jadi Dirjen Bea Cukai: Loyalitas di Atas Kompetensi?
-
Prioritas yang Salah: Ketika Baznas Pilih Beli Mobil Ketimbang Bantu Rakyat
-
Efisiensi atau Ilusi? Mengulik RAPBN 2026 di Tengah Ambisi dan Realita
-
Surplus tapi Masih Impor: Paradoks Kebijakan Pangan Indonesia
-
Usul KPK Danai Partai Politik: Benarkah Bisa Kurangi Korupsi?
Artikel Terkait
-
Demokrasi atau Diktator? Brutalisme Aparat di Balik Demonstrasi UU TNI
-
Formappi Harap DPR Tak Ulang Kesalahan RUU TNI Saat Bahas RUU Polri
-
Review Novel 'Makhluk Bumi': Jadi Alien demi Bertahan di Dunia yang Gila
-
Luhut Minta Masyarakat Kritik Pemerintah dengan Santun, Fedi Nuril: Ndasmu
-
Teror terhadap Media: Alarm Keras bagi Kebebasan Pers di Indonesia
Kolom
-
Mengenal Lebih Dalam Dunia Film Surealis yang Aneh tapi Memikat
-
Seragam vs Streetwear! Pencarian Diri di Antara Aturan dan Kebebasan
-
Di Balik Dinding Akademik: Kampus dan Luka yang Tak Terlihat
-
Luka Psikologis yang Tak Terlihat di Balik Senyum Ibu Baru
-
Mindful Eating atau Makan Sambil Scroll? Dilema Makan Sehat dan Screen Time
Terkini
-
Netflix Buka Suara Soal Yeji ITZY Gabung Alice in Borderland Season 3
-
4 Klub Unggas Sudah Berjaya di Tahun 2025, tapi Masih Ada Satu Lagi yang Harus Dinantikan!
-
Haechan akan Merilis Lagu The Reason I Like You, OST Second Shot At Love
-
Film Animasi KPop Demon Hunters Umumkan Jajaran Pengisi Suara dan Musik
-
Wacana BRI Liga 1 Tambah Kuota 11 Pemain Asing, Ini 3 Dampak Negatifnya