Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Arif Yudistira
Ki Hajar dan Keluarga (Buku Ki Hajar Dewantara Ayahku)

Raden Soewardi Soeryaningrat dilahirkan di lingkungan Keraton Yogyakarta. Ia adalah putera kelima dari K.P.A. Suryaningrat (Putra sulung permaisuri Sri Paku Alam III).

Ki Hajar Dewantara meski hidup di lingkungan keraton, ia dekat dengan rakyat. Ia suka mencari mangga yang masih masam bersama teman-temannya.

Di sore hari, ia mendapatkan pendidikan ala keraton. Ki Hajar dididik gendhing dan kebudayaan Jawa yang membuat dirinya kelak mengerti tentang musik Jawa dan ajaran-ajaran kebudayaan Jawa. 

Walau dididik dan dibesarkan di lingkungan keraton dan budaya feodal yang lekat, ia justru menolak gaya hidup ningrat dan feodal di keraton. Perlawanan dan sikapnya ia tunjukkan dengan melawan tradisi dodok sembah yang ada di keraton.

Di sisi lain, ia juga kerap meruntuhkan dinding antara ningrat dan rakyat dengan bermain dengan anak-anak di kalangan bawah.

Kenangan yang cukup membekas di masa kecilnya adalah saat ia berkelahi dengan orang Belanda. Keberanian dan mentalnya yang kuat ini kelak menjadi kejutan yang menghebohkan dunia Hindia-Belanda. 

Sebagai kalangan ningrat, K.H.D memperoleh akses pendidikan. Mula-mula ia ikut ELS atau setingkat SD, kemudian melanjutkan Kweekschool (Sekolah guru). Tahun 1905 ia melanjutkan ke STOVIA karena mendapat beasiswa.

Di tahun 1908, K.H.D.ditugasi memimpin bagian propaganda Budi Utomo oleh dr. Soetomo. Kekaguman K.H.D dengan Budi Utomo pada sikap nasionalisme ini dicatat dalam bukunya bertajuk Dari Kebangunan Nasional Sampai Proklamasi Kemerdekaan (1952).

KHD menulis, dinjatakan dengan tegas bahwa maksud mereka memulai gerakan nasional umum menudju ke arah berubahnja djaman kolonial mendjadi djaman nasional dengan tjara jang oleh mereka sebut radikal. 

Orang Pergerakan 

K.H.D. adalah orang pergerakan. Ia bukan hanya seorang pelajar tulen. Semenjak kecil, kepekaanya diasah dengan jiwa kepedulian terhadap nasib rakyat.

Hidupnya bukan hidup yang enak dan penuh kenyamanan seperti para darah ningrat pada umumnya. Kita tidak boleh lupa, di STOVIA itulah lahir para tokoh-tokoh pergerakan seperti dr. Soetomo, dr. Cipto Mangunkusuma, dan lain sebagainya. 

Di usia enam belas tahun, K.H.D. sudah masuk STOVIA dan mengenali dunia pergerakan di Hindia Belanda. Sementara itu, di usia 23 tahun, K.H.D. mendirikan partai politik pertama di Indonesia yaitu I.P (Indistje Partij) (Pranata, 1959).

Selang satu tahun berikutnya, K.H.D telah membuat geger dunia Hindia Belanda dengan tulisannya yang termahsyur Als Ik eens een Nederlands was (Andai Aku seorang Belanda). 

Menjadi orang pergerakan di masa itu sungguh berat. Teror, intimidasi, dan juga ancaman setiap waktu menghadang. Bila tidak ditopang dengan keberanian, religiusitas yang kuat dan mental yang tangguh mustahil dapat terus berjuang. K.H.D. memiliki mentalitas yang tangguh, religiusitas yang kuat dan keberanian yang kokoh. 

Mental yang tangguh inilah yang menguatkan K.H.D saat dirinya dibuang di Belanda pada tahun 1913 setelah tulisannya menampar muka kolonialisme.

Di Belanda K.H.D hidup penuh kekurangan, di sana ia belajar hingga lulus di sekolah perguruan. Ia mempelajari Metode Montessori dan Frobel yang kelak berguna bagi rumusan sistem pendidikan Taman Siswa. 

Guru Kebangsaan

K.H.D. adalah guru bangsa. Lingkup atau spektrum keahliannya cukup luas. Sebagai seorang intelektual bumi putera yang dididik oleh lingkungan kebudayaan Jawa yang kental, jiwa nasionalisme yang kokoh, dan sekolah barat, K.H.D tumbuh menjadi seorang pejuang yang gigih.

Dengan kematangan pengetahuan dan luasnya pergaulan, di kalangan dalam maupun luar negeri membuat dirinya tumbuh menjadi insan yang cerdas dan diakui baik kalangan kolonial maupun bumi putera.

Keahliannya di bidang pendidikan ia dermakan dengan berjuang bersama Taman Siswa. Melalui Taman Siswa, K.H.D telah berjuang dalam tiga nafas panjang sekaligus yakni; lapangan pendidikan, lapangan kebudayaan, dan lapangan kebangsaan. K.H.D adalah guru politik dan pergerakan bagi Soekarno dan Semaun misalnya, dan juga orang-orang pergerakan lain. 

Ketokohannya dalam bidang politik pendidikan nasional yang berhadapan langsung dengan kolonialisme pada waktu itu mencatatkan sejarah gemilang tersendiri.

Taman Siswa dan K.H.D dalam catatan Kenji Tsujiya dinilai mampu menjadi pergerakan bumi putera yang melawan ordonansi sekolah liar.

Kita ingat, perlawanan terhadap kebijakan kolonialisme tersebut hanya Taman Siswa yang berani untuk melawan dengan taktik prihatin dan perlawanan tanpa kekerasan.

Kita tahu, Muhammadiyah memilih mengambil politik cerdasnya bekerja sama dengan kolonialisme sehingga tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial. Sementara K.H.D dan Taman Siswa memberi inspirasi cemerlang tentang perlunya sikap merdeka dari kolonialisme. 

Meski disempitkan hanya menjadi bapak pendidikan nasional oleh negara yang terbawa sampai saat ini, tetapi K.H.D di mata murid dan juga penerusnya, ia adalah guru bangsa yang ahli dalam bidang politik, dalam bidang pendidikan, sosial dan pergerakan. 

Jalan politiknya adalah jalan politik melalui sistem pendidikan yang non kompromi, jiwa yang merdeka dan berkebudayaan. Tujuan pendidikan kata Ki Hajar, untuk mencapai budi rasa yang halus, tajamnya pikiran, dan sehatnya badan. (Soebekti, 1952).

Di usianya yang ke 40, K.H.D mengganti namanya dari Raden Mas Soewardi Soeryaningrat menjadi Ki Hajar Dewantara, pergantian ini menjadi simbolisme menanggalkan keningratannya untuk membaur bersama rakyat. 

Warisan K.H.D yang sampai sekarang masih bertahan adalah sistem pendidikan nasional yang berkebudayaan hingga universitas sarjana wiyata taman siswa yang masih mewariskan dan mengajarkan pemikiran-pemikiran K.H.D. 

Bentang dan kisah hidup Ki Hajar Dewantara adalah harta karun yang amat berharga bagi generasi muda kita. Dengan mental yang kuat, pemikiran dan kecerdasan yang luas, serta jiwa yang gigih berjuang, kita bisa membangun dan meneruskan cita-cita luhur Ki Hajar Dewantara.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Arif Yudistira