Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi kekerasan terhadap perempuan (Freepik)

Kasus pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh seorang dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Padjadjaran (Unpad), terhadap keluarga pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, telah mengejutkan banyak pihak.

Peristiwa ini menyoroti betapa rentannya perempuan terhadap kekerasan seksual, bahkan di lingkungan yang seharusnya aman seperti fasilitas kesehatan.

Pada pertengahan Maret 2025, FH (21), yang sedang mendampingi keluarganya di RSHS, diminta oleh pelaku untuk menjalani pengambilan darah.

Ia dibawa ke Gedung MCHC lantai 7 dan diminta mengenakan pakaian operasi. Setelah disuntik beberapa kali, FH merasa pusing dan tidak sadarkan diri. Ketika sadar, ia merasakan ketidaknyamanan dan melaporkan kejadian tersebut kepada ibunya.

RSHS segera melaporkan kejadian ini ke polisi dan mengembalikan pelaku ke Unpad. Dekan Fakultas Kedokteran Unpad, Yudi Hidayat, mengecam keras tindakan tersebut dan berkomitmen mengawal proses hukum secara tegas.

Kasus pemerkosaan oleh dokter residen di RSHS ini adalah salah satu dari maraknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia. Data dari Komnas Perempuan mencatat bahwa setiap tahunnya, jumlah laporan kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat.

Dalam Catahu Komnas Perempuan 2024, tercatat sebanyak 330.097 kasus kekerasan terhadap perempuan, dengan kekerasan seksual sebagai salah satu bentuk kekerasan paling dominan.

Angka ini meningkat 14,17% dibandingkan tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa isu kekerasan seksual bukanlah masalah sepele atau kasus satu-dua saja, melainkan darurat nasional yang memerlukan respons menyeluruh dan serius.

Bentuk kekerasan seksual pun semakin beragam, mulai dari pelecehan di ruang publik, kekerasan dalam relasi pribadi, hingga kasus-kasus yang terjadi di tempat kerja atau bahkan di institusi pendidikan dan fasilitas kesehatan yang seharusnya menjadi tempat paling aman.

Ironisnya, pelaku sering kali adalah orang yang memiliki kuasa atau dihormati, seperti guru, dosen, atasan, bahkan tenaga medis seperti dalam kasus ini. Ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban sering membuat korban merasa takut untuk berbicara, apalagi melapor.

Selain itu, korban masih dihadapkan pada stigma sosial dan ketidakpercayaan dari lingkungan sekitar. Banyak dari mereka yang justru disalahkan, dianggap mencari perhatian, atau dinilai “berlebihan” ketika menyuarakan pengalaman traumatis mereka.

Akibatnya, tidak sedikit perempuan yang memilih diam, menanggung luka dalam kesendirian, dan kasus-kasus kekerasan seksual pun hanya sedikit yang terlihat di permukaan.

Fenomena ini seharusnya menjadi alarm keras bagi negara, lembaga, dan masyarakat. Perlindungan terhadap perempuan tidak cukup hanya dengan slogan atau kampanye tahunan.

Diperlukan sistem yang benar-benar berpihak pada korban—mulai dari mekanisme pelaporan yang aman dan terpercaya, pendampingan psikologis, hingga proses hukum yang adil dan tidak berbelit.

Edukasi menjadi kunci penting. Sejak dini, anak-anak perlu dibekali pemahaman tentang batasan tubuh, consent (persetujuan), dan bagaimana mengenali serta melaporkan tindakan yang mencurigakan.

Sayangnya, pendidikan seksual di Indonesia masih dianggap tabu oleh sebagian besar orang tua dan lembaga pendidikan. Akibatnya, banyak anak dan remaja tumbuh tanpa memahami hak-hak atas tubuh mereka sendiri.

Di sisi lain, media dan platform digital juga bisa menjadi ruang edukasi. Mengangkat cerita para penyintas secara sensitif, menyebarluaskan informasi hukum, serta mendorong budaya peduli dan berani bersuara bisa membantu mengubah cara pandang masyarakat terhadap isu kekerasan seksual.

Pada akhirnya, perlindungan terhadap perempuan bukanlah sekadar bentuk belas kasihan, melainkan bagian dari hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara dan didukung oleh masyarakat. Karena setiap korban yang bersuara bukan hanya meminta keadilan untuk dirinya sendiri, tapi juga sedang berjuang agar tidak ada lagi korban berikutnya.

Kasus pemerkosaan oleh dokter residen di RSHS Bandung hanyalah satu dari banyaknya potret buram kekerasan seksual yang masih terjadi di Indonesia. Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa perlindungan terhadap perempuan harus menjadi prioritas bersama.

Tanpa sistem yang benar-benar berpihak pada korban dan upaya edukasi yang masif, kasus serupa akan terus berulang seperti lingkaran setan. Lalu, bagaimana kita bisa berkontribusi untuk menciptakan ruang yang lebih aman bagi perempuan? Sudahkah lingkungan sekitar kita benar-benar menjadi tempat yang mendukung para korban untuk bersuara?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs