Kalo kamu punya teman yang suka nulis, yang rajin bikin puisi di Notes, bikin thread panjang di X, atau curhat pakai caption Instagram. Coba deh tanya, "Kamu penulis, ya?” Kemungkinan besar mereka bakal langsung gelagapan dan jawab, “Eh, enggak, cuma iseng aja kok…”
Lucu, ya. Padahal kalau dipikir-pikir, mereka nulis. Tiap hari. Bahkan kadang lebih rajin nulis daripada orang yang sudah menerbitkan buku. Tapi entah kenapa tetap saja ada ketakutan untuk mengklaim identitas sebagai penulis.
Kenapa, sih?
Alasan pertama yang manusiawi dan sering muncul adalah takut dihakimi. Label penulis seolah datang dengan ekspektasi besar. Harus jago, harus puitis, harus banyak baca buku, harus punya gaya nulis yang keren, punya karya yang diakui, dan banyak ekspektasi lainnya. Begitu kita menyebut diri kita penulis, orang-orang akan mulai menilai tulisan kita dengan pandangan yang lebih kritis.
Dan kita semua tahu, kadang penilaian itu enggak enak.
Kita takut dikatain sok-sokan. Takut tulisan kita dibilang receh, typo lah, klise lah, “gak kayak penulis beneran” lah. Padahal kalau kita ngaku-ngaku hobi main basket atau masak, orang-orang bisa saja dukung tanpa banyak tuntutan. Tapi begitu kita bilang, “Aku nulis,” standarnya langsung berubah.
Ada istilah yang namanya Impostor Syndrome. Istilah ini mengarah pada suatu perasaan seperti “penipu” yang diam-diam tertanam di banyak orang kreatif. Seolah-olah kita merasa belum cukup layak menyebut diri sebagai bagian dari komunitas tertentu, meski kita sudah melakukannya berulang kali. Perasaan ini juga ternyata sangat umum, karena sekitar 70% orang pernah mengalaminya
Banyak yang nulis tiap minggu, punya pembaca, bahkan pernah dibayar buat menulis, tapi masih bilang, “Aku bukan penulis kok.” Ini bukannya kita merendah untuk meroket, tapi karena dalam hati kita merasa enggak pantas menyandang identitas itu.
Terlebih di negara +62, kita dibesarkan dalam budaya yang menjunjung tinggi kerendahan hati. Jika mengaku sebagai penulis, maka bisa dianggap sombong, apalagi kalau belum punya buku cetak yang nangkring di Gramedia.
Masalah lainnya adalah karena banyak orang masih menganggap penulis itu sebagai profesi, bukan sekedar identitas. Banyak orang menganggap penulis itu harus punya penghasilan tetap dari tulisan. Harus masuk redaksi, menang lomba, atau minimal punya 10 ribu followers di Wattpad.
Menurut Elizabeth Gilbert, penulis Eat, Pray, Love, seseorang tetap bisa menyebut dirinya penulis meskipun belum bisa hidup dari tulisannya. Karena menulis itu adalah tentang panggilan dan latihan terus-menerus. Kalau kamu menulis karena kamu tak bisa tidak menulis, maka kamu penulis.
Kalau kamu sering buka media sosial, maka kamu akan lihat betapa banyak standar bagus yang bikin kamu insecure. Algoritma hanya menunjukkan tulisan-tulisan yang indah, viral, atau bikin baper. Padahal, proses menulis itu berantakan, enggak sempurna.
Sayangnya, kita lebih sering dapat komentar yang menjatuhkan daripada yang membangun. Apalagi kalau kamu baru mulai, atau menulis sesuatu yang dianggap gak penting oleh orang lain. Ini bikin banyak calon penulis akhirnya mundur perlahan dan memilih diam-diam menulis di Notes tanpa pernah mengunggah apapun.
Padahal dunia digital sekarang justru memberi ruang luas buat penulis muda. Kamu bisa nulis di blog, X, Medium, Yoursay, bahkan TikTok. Banyak juga komunitas nulis yang bisa bantu kamu berkembang, sambil tetap jadi diri sendiri.
Mungkin ini saatnya kita mulai menyederhanakan definisi penulis. Kalau kamu menulis secara rutin, suka membaca, dan merasa lega setelah merangkai kata, maka kamu adalah penulis. Valid, no debat. Kamu nggak harus viral, nggak harus dibayar, dan nggak harus punya buku sendiri.
Karena penulis itu adalah pilihan untuk terus menulis, terus belajar, dan terus menyampaikan sesuatu dari dalam diri ke dunia luar. Dan ingat, penulis itu bukan gelar yang diberikan orang lain.
Jadi, mulai sekarang, coba katakan dengan lantang. Aku penulis.
Baca Juga
-
Ironi Hari Guru: Ketika Cokelat Murid Dianggap Ancaman Gratifikasi
-
Kegagalan Sistem: Mengkritisi Pernyataan Mendikdasmen soal Nilai TKA
-
Judicial Review: Strategi Politik Menghindari Tanggung Jawab Legislasi
-
Banjir Bukan Takdir: Mengapa Kita Terjebak dalam Tradisi Musiman Bencana?
-
Pasal 16 RKUHAP: Bahaya Operasi Undercover Buy Merambah Semua Tindak Pidana
Artikel Terkait
-
Drama FOMO Buku: Ketika Literasi Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial
-
Swipe, Checkout, Nyesel: Budaya Konsumtif dan Minimnya Literasi Keuangan
-
Membaca Buku Jadi Syarat Lulus: Langkah Maju, Asal Tak Hanya Formalitas
-
Digitalisasi dan AgenBRILink Jadi Strategi BRI untuk Inklusi Keuangan
-
Sekolah Jadi Formalitas, Anak Makin Bingung, Sistem Pendidikan Kita Mabuk!
Lifestyle
-
7 Tempat Wisata Alam Indah yang Tersembunyi di Pulau Jawa
-
Tinggal di Apartemen? Ini 7 Hewan Peliharaan yang Cocok untuk Anda
-
Dari Joko Anwar hingga Mouly Surya: 7 Sutradara yang Mendefinisikan Ulang Sinema Indonesia
-
Deretan HP Layar Curve 2025: Mana yang Paling Worth It Buat Dibeli?
-
5 Laptop Rp 10 Jutaan Terbaik Akhir 2025: Mana yang Paling Worth It?
Terkini
-
Anak Meniru yang Dilihat: Bagaimana Keluarga Menghasilkan Pelaku Bullying?
-
Ketika Laut Tak Lagi Murah Hati: Pesisir Hidup, tapi Ekonomi Pasang Surut
-
Ulasan Novel Dirty Little Secret, Perjuangan Penebusan Cinta dari Masa Lalu
-
Workplace Bullying: Silent Treatment dan Pekerjaan Tidak Adil Dinormalisasi
-
Review Film Air Mata Mualaf: Perjalanan Iman yang Mengiris Hati