Persoalan rokok, khususnya Sigaret Kretek Tangan (SKT), masih menjadi perdebatan panjang di tengah masyarakat Indonesia. Di satu sisi, rokok dianggap sebagai produk yang membahayakan kesehatan publik.
Di sisi lain, rokok terutama kretek menjadi bagian dari budaya dan tulang punggung perekonomian, terutama bagi buruh perempuan yang menggantungkan hidupnya pada industri ini.
Industri kretek bukan sekadar soal budaya, tapi juga tentang ekonomi. Indonesia merupakan negara konsumen rokok kretek terbesar ketiga di dunia. Tak mengherankan jika industri ini berkembang pesat dan menjadi penyerap tenaga kerja terbesar, terutama buruh perempuan.
Sejak tahun 1963, buruh perempuan telah menjadi tulang punggung produksi SKT. Ketelatenan, kesabaran, dan keterampilan manual menjadi faktor utama mengapa perempuan lebih diandalkan dalam proses pelintingan kretek.
Namun, di balik keterampilan tersebut, tersembunyi dilema ekonomi yang kompleks. Banyak perempuan bekerja di pabrik kretek bukan karena pilihan, melainkan kebutuhan.
Gaji sebagai buruh pelinting kretek menjadi sumber penghidupan utama, terutama di daerah-daerah peluang kerja terbatas. Perempuan tak hanya bekerja untuk dirinya, tetapi juga menopang ekonomi keluarga, mengurus rumah, dan mendidik anak.
Dilema Ekonomi dan Kesehatan
Meskipun industri kretek membantu menopang ekonomi ribuan keluarga, isu kesehatan tetap menjadi bayang-bayang. Tidak hanya bagi konsumen, tapi juga buruh yang terus-menerus terpapar zat kimia dari tembakau.
Namun, pilihan untuk meninggalkan pekerjaan ini bukanlah hal mudah. Terlalu banyak orang, terutama perempuan, yang bergantung pada industri ini, mulai dari petani tembakau dan cengkeh, buruh pelinting, hingga sopir dan pekerja distribusi.
Pada tahun 1980, tenaga kerja perempuan semakin dominan di lini produksi kretek. Keunggulan dalam ketelitian, kerapian, dan efisiensi menjadikan mereka pilihan utama perusahaan.
Sayangnya, dominasi ini juga dilatarbelakangi pertimbangan ekonomi, seperti upah yang lebih murah dibandingkan laki-laki. Selain itu, sistem kerja borongan dan ketatnya target produksi menciptakan tekanan tersendiri bagi buruh perempuan.
Meski demikian, banyak perempuan tetap bertahan. Bagi mereka, pabrik kretek adalah tempat berjuang dan bertahan hidup. Mereka memainkan peran ganda: sebagai pekerja produktif dan sebagai pengelola rumah tangga.
Perempuan dalam industri kretek bukan hanya simbol keterampilan, tapi juga simbol ketangguhan dalam menghadapi himpitan ekonomi.
Penutup: Antara Ketergantungan dan Kemandirian
Perempuan dan kretek adalah dua elemen yang tak terpisahkan dalam narasi industri tembakau Indonesia. Di satu sisi, industri ini membuka ruang bagi pemberdayaan perempuan secara ekonomi.
Di sisi lain, perempuan berada dalam pusaran ketergantungan terhadap sistem yang tidak selalu berpihak pada kesejahteraan jangka panjang.
Dilema ini menjadi tantangan tersendiri bagi pembuat kebijakan, pegiat kesehatan, dan pemerhati gender. Ketika kesehatan publik dan kesejahteraan ekonomi bersinggungan, solusi tidak bisa diambil dengan hitam-putih.
Perlu pendekatan inklusif yang mempertimbangkan keseimbangan antara perlindungan buruh perempuan, keberlanjutan ekonomi lokal, dan edukasi kesehatan yang menyeluruh.
Menghadapi kompleksitas dilema ekonomi ini, solusi yang ditawarkan tidak bisa sekadar menggugurkan kewajiban.
Pemerintah bersama pelaku industri perlu menyediakan alternatif konkret bagi buruh perempuan, seperti pelatihan keterampilan di luar sektor tembakau, perluasan akses modal usaha kecil, serta dukungan infrastruktur agar perempuan dapat mandiri secara ekonomi.
Dengan demikian, ketergantungan terhadap satu industri yang berisiko bagi kesehatan dapat dikurangi secara bertahap tanpa mengguncang stabilitas ekonomi keluarga mereka.
Di sisi lain, perusahaan perlu diberi insentif untuk meningkatkan perlindungan kesehatan dan kesejahteraan buruhnya, termasuk penyediaan alat pelindung, asuransi kesehatan, dan pengaturan kerja yang lebih manusiawi.
Perempuan bukan sekadar tenaga kerja murah, tetapi juga aset bangsa yang harus diberdayakan secara utuh dan adil dalam sistem ekonomi yang berkelanjutan.
Asap manis sigaret kretek memang bukan sekadar soal tembakau, tapi juga soal hidup, identitas, dan perjuangan perempuan Indonesia dalam realitas ekonomi yang keras.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Katy Perry Ikuti Misi Perempuan Pertama ke Luar Angkasa dalam 60 Tahun
-
Kala Masyarakat Beralih Investasi Emas di Tengah Ketidakpastian Ekonomi
-
Perempuan dalam Politik: Setengah Populasi, Setengah Potensi yang Terpendam
-
Layak Dicoba, 6 Program Bantuan Finansial Untuk Perempuan Pendiri Startup di Indonesia
-
Peran Ayah sebagai Kiblat Persepsi Anak Perempuan dalam Memilih Pasangan
Kolom
-
Kabur Aja Dulu, Mengapa Hidup di Luar Negeri Kini Menjadi Solusi?
-
Manuver Danantara, Jadi Penjaga Napas saat IHSG Bergejolak?
-
Evakuasi Gaza ke Indonesia: Solidaritas atau Legitimasi Penindasan?
-
Perempuan dalam Politik: Setengah Populasi, Setengah Potensi yang Terpendam
-
Kurikulum Ganti Lagi? Serius Nih, Pendidikan Kita Uji Coba Terus?
Terkini
-
7 Rekomendasi Film Hitam Putih Terbaik dari Abad 21, Drama hingga Horor
-
Ulasan Better Man, Film Biopik Visioner dengan Eksekusi yang Cerdas
-
Review Film Cinta Laki-Laki Biasa: Romansa yang Sederhana tapi Memikat
-
3 Karakter Iblis Dapat Kalahkan Dante dari Anime Devil May Cry dengan Mudah
-
A Minecraft Movie Pukul Mundur 'Captain America' Jadi Film Terlaris 2025