Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Budianto Sutrisno
Ilustrasi kekerasan seksual (Suara.com/Ema Rohimah)

Bayangkan! Anda sebagai seorang perempuan tengah pulang kerja di malam hari. Tiba-tiba saja, dalam hitungan detik, rasa aman terenggut karena tindakan kekerasan seksual. Langit terasa runtuh.

Perasaan perempuan korban kekerasan seksual itu seperti sebuah mosaik yang dihancurkan. Mosaik itu menantikan bantuan agar dapat disusun kembali dalam bentuk yang indah.

Masalah kekerasan seksual merupakan masalah yang membuat hati miris. Komnas Perempuan memiliki data yang mencatat adanya 8.234 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di Indonesia sepanjang 2023. Setiap dua jam, satu perempuan Indonesia menjadi korban perkosaan.

Mengatasi trauma                        

Kekerasan seksual sering kali mengakibatkan luka pada organ reproduksi, risiko terjangkit penyakit menular seksual, dan kehamilan yang tak diinginkan. Karenanya, kepingan pertama yang sangat mendesak untuk disusun kembali adalah pemulihan fisik.

Layanan medis dalam 72 jam pertama sangatlah krusial. Hasil riset dari Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia menunjukkan, bahwa korban yang memperoleh layanan komprehensif dalam rentang waktu tersebut, memiliki tingkat pemulihan yang lebih baik, yakni sebesar 62%.

Mosaik kesehatan reproduksi perempuan memiliki komposisi yang terdiri dari kepingan warna-warni yang membutuhkan ketelitian untuk menyusunnya. Karenanya, diperlukan layanan komprehensif yang meliputi pemeriksaan fisik, dukungan psikologis, dan pendampingan hukum bagi korban.

Sayangnya, terdapat kendala dalam menyusun kembali kepingan mosaik. Dari hasil survei Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) terungkap, bahwa hanya 37% dari fasilitas kesehatan primer di Indonesia yang memiliki protokol khusus untuk menangani korban kekerasan seksual.

Seorang pendamping di Yayasan Pulih membagikan pengalamannya. Yang bersangkutan mengatakan bahwa seorang korban harus berkeliling di lima tempat—rumah sakit, kantor polisi, psikolog, rumah aman, dan pengadilan—untuk menceritakan peristiwa negatif yang dialaminya secara berulang-ulang.

Untuk menghindari hal seperti itu, pemerintah telah berusaha membentuk Pusat Pelayanan Terpadu (PPT). Melalui institusi ini, semua layanan untuk korban kekerasan seksual dapat dipadukan dalam satu lokasi, sehingga beban korban untuk menceritakan kisah traumatis secara berulang-ulang dapat dihindari.

Di Jakarta, misalnya, sekarang telah tersedia 10 PPT. Akan tetapi di pedesaan, konsep ini masih sebatas angan-angan.

Memupus stigma

Sejumlah pertanyaan oleh petugas kesehatan acap kali melahirkan stigma negatif terhadap korban kekerasan seksual. Pertanyaan seperti ”Kamu yakin bahwa kamu tidak menggoda dia lebih dulu?”, merupakan pertanyaan yang menyakitkan.

Survei dari Lentera Sintas Indonesia menunjukkan hasil yang memprihatinkan. Dari 1.636 responden, diperoleh angka 63% korban kekerasan seksual yang tidak melaporkan kasusnya, karena takut disalahkan. Mereka merasa enggan menghadapi penghakiman moral dari petugas.

Seorang dari LBH APIK mengungkapkan pengalamannya ketika mendampingi korban yang hamil akibat perkosaan. Tiga rumah sakit menolak perawatan korban dengan alasan yang berbeda, kendati  sudah menyertakan bukti hukum yang diperlukan. Kepingan mosaik makin sulit untuk dipulihkan, karena adanya stigma negatif.                                   

Pemerintah berusaha untuk merekatkan kembali kepingan mosaik keadilan reproduksi. Upaya ini dinyatakan lewat pengesahan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada tahun 2022. Undang-undang ini menjadi landasan kuat untuk memberikan perlindungan terhadap korban, termasuk akses untuk mendapatkan layanan kesehatan reproduksi.

Namun demikian, kebijakan ini belum sepenuhnya mampu menyusun kembali mosaik keadilan reproduksi bagi korban kekerasan seksual dan memupus stigma negatif. Mengapa? Karena, menurut penelitian Institut Perempuan di lima kota besar di Indonesia, hanya 27% petugas kesehatan yang memahami sepenuhnya kebijakan dan protokol tindakan yang diperlukan.

Upaya dan usulan

Pemerintah telah melakukan sejumlah upaya penanggulangan yang menunjukkan dampak positif. Antara lain berupa pembentukan ”Rumah Sakit Sahabat Perempuan”, yang telah berhasil melatih lebih dari 500 tenaga medis untuk memberikan layanan kepada korban kekerasan seksual.

Ada juga layanan Hotline 24 jam, yang telah melayani 12.000 panggilan sepanjang tahun 2023. Dilakukan juga kampanye #MulaiBicara, yang menjangkau lebih dari 2 juta warga melalui media sosial.

Kolaborasi antara anggota masyarakat sipil dan penyelenggara fasilitas kesehatan juga sudah dilakukan.

Secara pribadi, izinkanlah penulis mengemukakan beberapa usulan sebagai program pelengkap. Pertama, perlu dilakukan pengembangan modul pembelajaran interaktif berbasis digital tentang kesehatan reproduksi di sekolah-sekolah. Di samping itu, para pelajar perlu dibekali ilmu bela diri sebagai bentuk pertahanan terhadap tindakan kekerasan.

Usulan kedua berupa program pelatihan bagi guru dan staf, agar mereka mampu menjadi ”guardian” yang terampil mendeteksi tanda-tanda kekerasan seksual.

Usulan ketiga berupa pendidikan moral pada pelaku. Namun bila tindak kekerasan sudah berlebihan, dapat dipertimbangkan tindakan pengebirian atau hukuman seumur hidup.

Saat ini, kita masih berada dalam proses penyusunan mosaik yang tercecer. Mungkin saja mosaik itu tidak bisa disusun persis sama dengan keadaan sebelumnya. Boleh jadi bakal terdapat bekas retakan. Akan tetapi, bukankah keindahan mosaik itu justru tercipta dari ketidaksempurnaan yang membentuk satu hakikat keseluruhan yang bermakna?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Budianto Sutrisno