Belakangan ini ramai perdebatan terkait wisuda sekolah, mulai dari tingkat pendidikan dini di TK maupun SD hingga pendidikan menengah di jenjang SMA. Esensinya, wisuda sendiri meupakan rangkaian upacara kelulusan yang umum terjadi di jenjang pendidikan tinggi setelah dinyatakan lulus dari bangku kuliah.
Masyarakat sendiri sudah cukup familier dengan prosesi wisuda pasca perkuliahan di mana mahasiswa akan mengenakan toga dan beberapa pesiapan kebutuhan lainnya yang menunjang acara tersebut. Biasanya, mahasiswi akan mengenakan kebaya dan berdandan paripurna di hari spesialnya.
Bahkan persiapan menuju wisuda sendiri sudah diurus jauh-jauh hari mengingat acara ini melibatkan civitas akademika di kampus serta orang tua yang nantinya mendapat undangan untuk hadir menyaksikan putra-putri mereka. Wisuda juga menjadi bukti keabsahan atas kelulusan menempuh pendidikan tinggi dan memiliki gelar sarjana, baik strata satu maupun pascasarjana.
Lalu bagaimana dengan wisuda di tingkat sekolah? Tampaknya euforia di kampus semacam ini menjadi pencetus lahirnya wisuda selepas kelulusan sekolah. Tidak hanya di tingkat sekolah menengah atas, bahkan pendidikan anak usia dini pun 'latah' menginginkan sensasi tersebut.
Entah itu awalnya pihak sekolah yang membuat kebijakan atau justru dari siswanya sendiri yang mencetuskan ide, wisuda di sekolah kini mulai menjamur bak tren yang harus dibudayakan. Padahal esensinya sendiri masih cukup gamang, antara upaya untuk menciptakan kenangan terakhir atau sekadar kebutuhan gengsi.
Seolah sudah menjadi budaya, wisuda di sekolah pun terus berjalan menjadi rangkaian acara yang diselenggarakan di sekolah masing-masing. Tidak gratis, biaya untuk acara wisuda ini bahkan dibebankan kepada pihak wali murid agar pelaksanaannya bisa meriah dan tampak 'wah'.
Tidak jarang demi menggelar acara wisuda di sekolah pada akhir tahun, orang tua murid sudah diancangi untuk menabung biaya wisuda agar tidak terlalu terbebani nantinya. Pasalnya, semakin luar biasa konsepnya, bisa dipastikan kebutuhan biaya wisuda juga akan semakin tinggi.
Jika kondisi finansial keluarga mapan, tentu pengeluaran wisuda sekolah bukan menjadi masalah. Namun, lain cerita jika sebaliknya, tentu mengeluarkan biaya wisuda akan menjadi beban berat bagi orang tua. Padahal setelah ini, orang tua masih harus memikirkan biaya sekolah lanjutan atau bahkan biaya masuk kuliah.
Beban yang berat sudah pasti berada di pundak orang tua, bukan anak-anak. Jika melihat dari sisi anak, tentu acara wisuda menjadi momen yang membahagiakan mengingat seluruh rangkaian acara memang secara khusus diperuntukkan bagi mereka yang lulus sekolah.
Kenangan manis inilah yang seolah menjadi tujuan utama perayaan wisuda, wasana warsa, promnight atau apa pun itu istilahnya. Padahal, di balik layar, dukungan dana yang dikeluarkan orang tua justru sangat membebani. Semakin mewah acara itu digelar, semakin berat pula beban orang tua yang menanggung biayanya.
Tidak heran jika belakangan muncul protes dari beberapa wali murid yang keberatan dengan pemungutan biaya untuk acara wisuda. Beban yang ditanggung semakin tinggi jika ada dua atau lebih anak yang diwisuda secara bersamaan di jenjang sekolah berbeda.
Jadi, bisa dibilang esensi dari wisuda sekolah ini mengarah pada budaya yang diada-adakan sendiri dan menjadi kebiasaan. Demi sebuah kenangan akhir atau bahkan kebutuhan gengsi semata untuk membandingkan konsep acara dengan sekolah lain.
Apa yang didapat setelahnya? Tidak ada, kecuali foto yang beberapa waktu ke depan akan terlupakan serta beban utang jika dalam proses pembiayaannya membuat orang tua mengajukan pinjaman demi menutup tagihan biaya wisuda sekolah.
Ada baiknya kita kembali pada esensi awal di mana wisuda menjadi bukti kelulusan pasca menjalani masa perkuliahan dan merampungkan ujian dengan hasil terbaik. Kembalikan lagi juga pada kondisi di lapangan dengan mempertimbangkan kemampuan membiayai wisuda sekolah sudah rata bagi semua wali murid atau belum.
Yuk, mulai berpikir lebih kritis dan logis sebab masa mendatang masih banyak kebutuhan jenjang pendidikan yang harus diprioritaskan alih-alih memberi makan pada gengsi semata.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Prinsip Monogami Sultan HB X: Soal Kesetiaan dan Romansa Pandangan Pertama
-
Thread Waluh Kukus Jadi Film: Cerita Sederhana yang Sarat Pelajaran Hidup
-
Ni Kadek Dhinda Jadi Harapan Regenerasi Tunggal Putri Pelatnas PBSI
-
Budaya Patriarki Dalam Keluarga: 'Warisan' Tak Terlihat yang Masih Bertahan
-
Performa Menurun, Perjuangan Jorji untuk Bangkit Lawan Diri Sendiri
Artikel Terkait
-
Ingin Studi ke Luar Negeri? Ini 4 Buku Inspiratif yang Wajib Kamu Baca
-
Pikir-Pikir sebelum Beli, Pengeluaran Rutin yang Harus Disiapkan Pemilik Mobil
-
Aura Cinta Sekolah di Mana? Viral usai Berani Kritik Dedi Mulyadi soal Larangan Wisuda
-
TNI AL Akui Nunggak Biaya BBM ke Pertamina Triliunan Rupiah, Minta Diputihkan
-
Menakar Untung-Rugi Penjurusan di Jenjang SMA
Kolom
-
Prinsip Monogami Sultan HB X: Soal Kesetiaan dan Romansa Pandangan Pertama
-
Pahlawan Tanpa Perlindungan Hukum: Kisah Rasnal dan Abdul Muis
-
Betapa Nagihnya Nonton Drama Perselingkuhan
-
Tugas di Hari Ayah: Ajari Anak Lelaki bahwa Maskulinitas Tak Harus Keras
-
Whoosh: Simbol Kemajuan yang Disusupi Kegagalan Moral
Terkini
-
Jangan Cuma Ikut Tren, Ini 7 Hal Wajib Kamu Cek Sebelum Beli Smartphone Baru
-
ANTARA Ajak Mahasiswa Belajar Memotret dengan Hati Lewat Workshop Fotografi Jurnalistik di UGM
-
Rahasia Otak Bahagia: Ternyata Salmon Hingga Cokelat Hitam Bisa Jadi Antidepresan Alami!
-
Otak Lelah Gara-gara 'Scroll'? 7 Cara Simpel Biar Suka Baca Buku Lagi
-
Street Look sampai Office Style, 4 Ide OOTD Kim You Jung untuk Disontek!