M. Reza Sulaiman | Fauzah Hs
ilustrasi internet dan literasi kritis. [Suara.com/Adi]
Fauzah Hs

Sobat Yoursay, kita hidup di zaman ketika membuka internet hanya butuh hitungan detik. Video berdurasi satu jam bisa diputar tanpa buffering, berita datang bertubi-tubi lewat notifikasi, dan opini bertebaran di FYP tiada henti.

Internet kita melesat kencang dan jaringan makin luas. Namun, di tengah kecepatan itu, kemampuan kita untuk berpikir kritis rasanya tertinggal jauh di belakang.

Ironisnya, semakin cepat internet, semakin sering pula kita tersandung informasi. Hoaks menyebar lebih cepat daripada klarifikasi, potongan video lebih dipercaya daripada konteks, dan judul sensasional lebih laku daripada isi yang berimbang.

Kita seolah berlari di jalan tol informasi, tetapi tanpa sabuk pengaman bernama literasi kritis.

Sobat Yoursay pasti akrab dengan pemandangan ini. Satu unggahan viral langsung dibagikan ribuan kali. Kolom komentar penuh amarah, ejekan, atau dukungan membabi buta.

Sedikit yang mempertanyakan: ini sumbernya dari mana? Apa ada kepentingan di balik narasi ini? Apakah informasi ini utuh atau cuma potongan yang dipoles agar memancing emosi? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu sering kalah cepat dari tombol share.

Padahal, akses internet yang cepat seharusnya membuka peluang besar untuk belajar, membandingkan sumber, dan memperkaya sudut pandang. Namun, yang sering terjadi justru sebaliknya.

Algoritma media sosial mendorong kita masuk ke ruang gema, tempat kita hanya disuguhi pendapat yang sejalan dengan keyakinan sendiri. Lama-lama, kebenaran terasa seperti soal selera. Yang ramai dianggap benar, dan yang berbeda dianggap ancaman.

Data dari berbagai survei literasi digital menunjukkan bahwa tingkat akses internet di Indonesia naik pesat, tetapi kemampuan evaluasi informasi tidak selalu ikut meningkat. Banyak pengguna mampu mengoperasikan ponsel dengan lincah, tetapi gagap saat diminta membedakan fakta, opini, dan manipulasi.

Sobat Yoursay, masalah ini tidak muncul tiba-tiba. Literasi kritis dibentuk oleh kebiasaan bertanya, ruang diskusi yang sehat, dan pendidikan yang mendorong berpikir, bukan menghafal.

Sayangnya, sejak lama sistem pendidikan kita lebih sibuk mengejar nilai dan peringkat. Murid dilatih menjawab benar, bukan bertanya mengapa. Akibatnya, kita menjadi rentan dan kurang persiapan saat menghadapi arus informasi yang menyesatkan di dunia digital.

Konten yang memancing marah, takut, atau benci cenderung lebih cepat menyebar. Dan tanpa literasi kritis, kita mudah terseret arus. Kita berkomentar sebelum memahami. Bahkan, tanpa sadar, kita ikut menjadi bagian dari mesin penyebar disinformasi.

Fenomena ini terasa jelas saat isu sensitif muncul, seperti politik, agama, kesehatan, atau bencana. Dalam hitungan jam, narasi liar bermunculan. Ada yang sengaja menyesatkan, ada juga yang sekadar salah paham, tetapi semuanya bercampur di linimasa yang sama.

Sobat Yoursay, banyak yang beranggapan bahwa literasi kritis itu ribet. Mengecek sumber butuh waktu. Membaca utuh butuh kesabaran. Sementara budaya digital kita mendorong serba cepat dan ringkas. Akibatnya, potongan video 30 detik terasa cukup untuk menyimpulkan persoalan kompleks. Padahal, dunia nyata tak sesederhana itu.

Bayangkan jika kecepatan internet di Indonesia diimbangi dengan budaya bertanya. Bayangkan jika sebelum membagikan informasi, kita terbiasa berpikir: siapa yang diuntungkan dari narasi ini? Apa yang tidak diceritakan? Apakah saya membagikan fakta atau sekadar emosi? Pertanyaan-pertanyaan itu bisa menjadi rem kecil di tengah laju informasi yang semakin liar.

Sobat Yoursay, literasi kritis tidak menentukan siapa yang paling pintar atau paling benar. Literasi kritis adalah bentuk keberanian untuk mengakui bahwa kita bisa salah. Bahwa informasi yang kita terima bisa bias. Bahwa kebenaran sering kali lebih kompleks daripada satu unggahan viral.

Mungkin, Sobat Yoursay, seberapa cepat internet kita tidak lebih penting dari seberapa siap kita menggunakannya dengan bijak.