Yogyakarta kerap disebut sebagai kota pelajar, tempat yang katanya ramah untuk siapa saja yang ingin menimba ilmu. Banyak yang membayangkan hidup di Jogja seperti adegan dalam film indie, penuh warna, suasana tenang, angkringan murah, teman-teman idealis, dan proses belajar yang membebaskan.
Namun saat realita datang, tidak sedikit mahasiswa baru yang merasa kaget. Kuliah di Jogja bukan sekadar soal belajar di ruang kelas, tetapi juga tentang bertahan hidup, beradaptasi, dan mengenal diri sendiri dalam dinamika kota yang terus berubah.
1. Biaya Hidup: Murah, tapi...
Salah satu daya tarik utama kuliah di Yogyakarta adalah biaya hidup yang katanya “murah”. Makan nasi kucing Rp5.000, kos Rp400.000 per bulan, kopi di warkop Rp3.000, semua terdengar seperti mimpi.
Namun realitasnya, tidak semua semurah itu, terutama di area strategis kampus ternama. Kos dengan fasilitas standar sekarang bisa menembus angka Rp800.000–1.200.000 per bulan, apalagi jika ingin yang sudah termasuk AC, Wi-Fi, dan kamar mandi dalam.
Kebiasaan jajan, nongkrong di kafe estetik, hingga beli barang online juga menambah pengeluaran. Banyak mahasiswa baru yang tidak sadar kalau “biaya hidup murah” hanya berlaku jika bisa mengatur gaya hidup dengan bijak. Maka dari itu, manajemen keuangan menjadi kemampuan penting yang harus dimiliki mahasiswa rantau di Jogja.
2. Cuaca, Budaya, dan Adaptasi Sosial
Jogja bisa sangat panas dan lembap. Di musim kemarau, suhu bisa mencapai 35°C ke atas. Kamar kos terasa seperti oven jika tidak ada ventilasi baik. Saat musim hujan, banjir bisa melanda beberapa titik kota. Ini sering kali mengejutkan mahasiswa dari luar daerah, apalagi yang terbiasa dengan cuaca sejuk atau sedang.
Selain cuaca, adaptasi budaya juga tidak selalu mudah. Masyarakat Jogja terkenal sopan dan halus, tapi ini bisa menimbulkan kesalahpahaman. Bahasa Jawa tingkat halus pun masih dipakai dalam situasi tertentu. Bagi mahasiswa dari luar Jawa, hal ini menantang tetapi juga membuka wawasan baru tentang keberagaman budaya Indonesia.
3. Perkuliahan Tidak Seindah Ekspektasi
Banyak mahasiswa baru membayangkan kuliah akan penuh kebebasan dan pengalaman menyenangkan. Tapi kenyataannya, sistem perkuliahan bisa membingungkan, dosen tidak selalu responsif, dan beban tugas bisa sangat padat.
Tidak semua kampus memberi pengalaman belajar yang idealis. Terkadang, birokrasi yang rumit dan ketidaksesuaian antara teori dan praktik menjadi sumber frustrasi tersendiri.
Namun, justru dari sini mahasiswa belajar menjadi mandiri, mengatur waktu, mencari solusi, dan mengembangkan inisiatif. Kuliah di Jogja tidak selalu memanjakan, tetapi bisa sangat membentuk karakter.
4. Hidup Merantau, Sepi tetapi Membebaskan
Tinggal jauh dari keluarga membuat banyak mahasiswa harus belajar bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Dari hal kecil seperti bangun pagi, mengatur makan, hingga menyelesaikan urusan administrasi kampus tanpa bantuan orang tua.
Kesepian adalah hal yang umum, terutama di awal masa kuliah. Tapi perlahan, banyak mahasiswa menemukan "keluarga kedua" dari teman kos, organisasi, atau komunitas di luar kampus.
Yogyakarta juga memiliki atmosfer komunitas yang kuat, mulai dari seni, musik, literasi, hingga sosial. Siapa pun yang aktif mencari, pasti akan menemukan tempat untuk bertumbuh dan merasa diterima.
Kuliah di Yogyakarta bukan hanya soal gelar dan kampus ternama, tetapi tentang bagaimana seseorang ditempa dalam proses kehidupan.
Jogja bukan kota yang sempurna, harga-harga naik, infrastruktur macet di jam sibuk, dan tantangan mental tetap ada. Tapi kota ini memberi ruang bagi siapa pun untuk belajar bukan hanya dari buku, tetapi dari pengalaman sehari-hari.
Bagi banyak orang, Jogja bukan sekadar tempat tinggal sementara. Ia menjadi saksi masa muda yang penuh perjuangan, tawa, air mata, dan pertumbuhan. Ketika masa kuliah selesai, yang dibawa pulang bukan cuma ijazah, tapi kenangan yang membentuk siapa kita sekarang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Jerat Konsumtif di Balik Budaya Cashless, Solusi atau Masalah Baru?
-
Saat Podcast Jadi Pilihan Belajar, Apa yang Hilang dari Televisi?
-
Siapa Peduli pada Guru, Kalau Semua Sibuk Bicara Kurikulum?
-
Narasi Damai ala Influencer: Cara Komunikasi Pemerintah yang Hilang Arah
Artikel Terkait
-
Kuliah Kepemimpinan: Jalan Menuju Perdamaian yang Berkelanjutan
-
Kreatif! PPG Unila Latih Anak Panti Ar-Ra'uf Syahira Buat Lilin Aromaterapi
-
Sarjana Nganggur: Ketika Gelar Tak Lagi Jadi Golden Ticket di Dunia Kerja
-
Land of Beauty 2025 Yogyakarta: Surga Belanja Produk Kecantikan hingga Aksi Peduli Lingkungan
-
Konflik Ruang Yogyakarta antara Uang dan Warisan
Kolom
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Ungkap Masalah Gizi MBG dan Luka di Meja Makan Sekolah, Apa Ada yang Salah?
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Santri Pelopor dan Pelapor: Melawan Bullying di Pesantren
Terkini
-
Di Balik Senyum Buruh Gendong Beringharjo: Upah Tak Cukup, Solidaritas Jadi Kekuatan
-
Benturan di Jalan, Harmoni di Lapangan Futsal
-
Kreativitas Strategi dan Seni Bermain di Lapangan Futsal
-
Debut di Pentas Eropa, Calvin Verdonk Hapus Kenangan Pahit yang Digoreskan Klub Marselino Ferdinan
-
Nana Mirdad Soroti Program MBG, Sebut Gagal Total dan Buang Anggaran?