Di pesisir, hari selalu dimulai dengan ketidakpastian. Laut tidak pernah benar-benar sama dari satu pagi ke pagi berikutnya. Kadang tenang, kadang berisik, kadang tampak menjanjikan, kadang justru menghadirkan kekecewaan. Namun bagi masyarakat pesisir, ketidakpastian itu bukan sekadar kondisi alam, melainkan bagian dari kehidupan yang membentuk cara mereka memahami dan mengelola perasaan.
Laut bukan hanya ruang mencari nafkah. Ia adalah ruang belajar konsisten mengajarkan manusia untuk berdamai dengan apa yang tidak bisa dikendalikan. Ketika nelayan melaut, tidak ada jaminan hasil. Ada hari ketika jaring penuh, ada hari ketika perahu kembali dengan tangan kosong. Situasi semacam ini tidak selalu disikapi dengan kemarahan atau keputusasaan. Sebaliknya, masyarakat pesisir tumbuh dengan pemahaman bahwa kegagalan bukan sesuatu yang harus dipersonalisasi, melainkan bagian dari ritme hidup.
Dalam keseharian di pesisir, perasaan tidak diperlakukan sebagai musuh yang harus segera ditaklukkan. Cemas, takut, dan kecewa hadir bersamaan dengan bunyi ombak yang datang dan pergi. Emosi tersebut tidak ditekan, tetapi juga tidak dibiarkan menguasai. Masyarakat pesisir belajar mengenali batas antara usaha dan penerimaan. Mereka tahu kapan harus berharap, dan kapan harus melepaskan.
Proses ini tumbuh dari kebiasaan hidup yang dekat dengan alam. Menunggu angin yang tepat, membaca tanda cuaca, dan menyesuaikan langkah dengan kondisi laut adalah praktik sehari-hari. Dalam proses menunggu itu, emosi ikut dilatih. Harapan tidak diletakkan terlalu tinggi, tetapi juga tidak dimatikan. Ketika hasil tidak sesuai harapan, kekecewaan diterima sebagai bagian dari perjalanan, bukan sebagai kegagalan diri.
Kehidupan pesisir juga menunjukkan bahwa mengelola perasaan bukan pekerjaan individual semata. Dermaga, perahu, dan ruang-ruang berkumpul menjadi tempat berbagi cerita. Ketika hasil tangkapan sedikit atau cuaca tak bersahabat, percakapan ringan dan tawa bersama menjadi penyangga emosional. Solidaritas membuat perasaan berat tidak harus ditanggung sendirian. Di sini, emosi diolah secara kolektif tanpa istilah rumit, tanpa stigma.
Dalam perspektif psikologi, kemampuan ini dikenal sebagai regulasi emosi. Regulasi emosi merupakan kemampuan memahami, menerima, dan menata perasaan dalam situasi penuh tekanan. Namun masyarakat pesisir mempraktikkannya tanpa harus mengenal istilah tersebut. Regulasi emosi tumbuh bukan dari pelatihan formal, melainkan dari pengalaman berulang menghadapi ketidakpastian. Laut mengajarkan bahwa tidak semua hal bisa dikontrol, dan ketenangan justru lahir dari penerimaan akan batas tersebut.
Pelajaran ini sangat relate dengan masyarakat modern yang terbiasa mengejar kepastian dan kendali. Di tengah kehidupan yang serba cepat, emosi sering dianggap sebagai hambatan yang harus segera dibereskan. Pesisir menawarkan cara pandang berbeda bahwa perasaan tidak selalu harus diselesaikan, sebagian cukup ditemani. Tidak semua kecemasan perlu dijawab, dan tidak semua kekecewaan harus dihilangkan.
Dari pesisir, terlihat bahwa ketenangan bukan kondisi tanpa masalah, melainkan kemampuan untuk tetap hadir di tengah masalah. Laut tidak menjanjikan kemudahan, tetapi menyediakan ruang bagi manusia untuk belajar mengenali dirinya sendiri. Dalam gelombang yang tak menentu, masyarakat pesisir menemukan cara mengelola perasaan, bukan dengan melawan, melainkan dengan memahami ritmenya.
Pesisir, dengan segala keterbatasan dan tantangannya, menyimpan pelajaran penting tentang kesehatan mental dan keberlanjutan hidup. Ia mengingatkan bahwa manusia tidak selalu harus menguasai alam untuk bertahan. Kadang, yang dibutuhkan hanyalah kesediaan untuk belajar dari alam, termasuk belajar mengelola perasaan, setenang laut yang terus bergerak, namun tetap setia pada ritmenya sendiri.
Dengan menaruh perhatian pada cara hidup masyarakat pesisir, kita diajak melihat bahwa kesehatan mental tidak selalu lahir dari ruang terapi atau konsep yang rumit. Ia juga tumbuh dari cara manusia menempatkan diri dalam relasi yang lebih seimbang dengan lingkungan dan sesama.
Masyarakat pesisir menunjukkan bahwa ketenangan dapat dibangun dari kebiasaan sederhana. Di tengah dunia yang kerap memuja kecepatan dan kendali, pesisir menghadirkan pelajaran sunyi tentang keberlanjutan hidup, bahwa merawat alam dan merawat batin sejatinya adalah proses yang saling terkait.
Baca Juga
Artikel Terkait
Kolom
-
Masyarakat Adat Serawai dan Perlawanan Sunyi di Pesisir Seluma
-
Pesisir dan Keberlanjutan yang Tumbuh dari Relasi
-
Belajar dari Pesisir Sidoarjo: Nyadran, Kupang, dan Kesadaran Merawat Laut
-
Iklan Premium, Isi Refill: Mengapa Pemimpin Kompeten Sulit Menang?
-
Laut yang Menyadarkan Batas Keserakahan Manusia
Terkini
-
Mashle, DaDaDan, dan Haikyuu!! Umumkan Proyek Baru di 2027, Apa Saja?
-
Penjaga Rimba Bawah Air: Iwan Winarto Pahlawan Sunyi Penyelamat Laut Bintan
-
Ahmad Dhani dan Irwan Mussry Kembali Bertemu, Netizen Singgung Polemik Lama
-
Akui Kesalahan, Ridwan Kamil Minta Maaf dan Doakan Atalia Praratya
-
Sakit Hati Suami Dituduh Nganggur dan Numpang Hidup, Ailee Beri Klarifikasi