Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fauzah Hs
ilustrasi sarjana (Pexels.com/Ekrulila)

Pernah nggak sih, kamu denger celetukan kayak, "Udah kuliah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya nganggur juga"? Atau, yang lebih pedih, "Sarjana kok ngelamar kerjaan gaji UMR?" Well, selamat datang di realita pasca-wisuda yang nggak seindah feed Instagram waktu pakai toga.

Gelar sarjana dulu kayak golden ticket. Kalau punya, seolah-olah pintu masa depan bakal terbuka lebar: kerja enak, gaji gede, hidup mapan. Tapi, ternyata hidup nggak sesimpel skrip film motivasi.

Data dari BPS bikin kita garuk-garuk kepala: tahun 2014 ada sekitar 495 ribu sarjana nganggur. Di 2020, jumlahnya naik dua kali lipat jadi 981 ribu lebih. Walaupun sempat turun jadi 842 ribu di 2024, angka itu tetap nyesek. Bayangin, hampir sejuta orang yang udah lulus kuliah malah jadi pengangguran.

Masalah pengangguran sarjana udah kayak benang kusut yang nggak cuma soal lowongan kerja. Ini soal ekspektasi, sistem pendidikan, dan dunia kerja yang nggak nyambung.

Coba deh tengok fenomena "aspirational mismatch." Banyak lulusan yang gengsi kalau harus kerja di luar bidang kuliahnya. Ada yang nggak mau mulai dari posisi rendah, ada yang nunggu kerjaan yang dianggap 'selevel'. Akhirnya, nunggu terus. Lama-lama, CV-nya jadi kayak playlist Spotify yang nggak pernah di-update—nggak relevan.

Masalah lain? "Reservation wage gap." Ini istilah kerennya buat menyebut jarak antara gaji yang diharapkan sama gaji yang ditawarin pasar. Banyak sarjana yang pasang harga tinggi, padahal pasar lagi promo cuci gudang. Alhasil? Mereka lebih milih nganggur daripada 'menurunkan standar'.

Uniknya, tren ini nggak terlalu kelihatan di lulusan diploma. Data BPS nunjukkin kalau jumlah penganggur diploma lebih stabil. Tahun 2024 cuma sekitar 170 ribu orang.

Kok bisa? Ya karena sistem pendidikan vokasi biasanya lebih deket sama kebutuhan industri. Mereka dilatih buat langsung kerja, bukan cuma jago teori. Sementara itu, banyak kampus masih sibuk ngajar materi jadul yang pas lulus udah nggak laku di dunia kerja.

Sebenarnya, masalahnya bukan di gelar sarjananya. Tapi di sistem pendidikan kita yang masih belum siap beradaptasi. Kampus dan industri masih sering LDR—nggak nyambung. Kurikulumnya kaku, koneksi ke dunia kerja lemah, dan budaya magang masih sebatas formalitas.

Dan jangan lupakan satu hal penting: semangat kewirausahaan. Di banyak negara, mahasiswa ditantang buat jadi inovator. Di sini? Masih banyak yang dituntut jadi pegawai. Padahal, nggak semua orang cocok jadi karyawan.

Bayangin kalau kampus bisa ngajarin cara bikin bisnis digital, ngasah soft skill kayak komunikasi dan teamwork, plus buka akses ke mentor dari industri—pasti ceritanya beda.

Sebenernya, ini bukan soal menyalahkan siapa. Tapi lebih ke ajakan buat mikir ulang.

Kalau kamu baru lulus dan belum dapet kerja, bukan berarti kamu gagal. Tapi kamu mungkin butuh strategi baru. Dan kalau kamu masih kuliah, sekarang waktu yang pas buat mulai mikir: kita belajar ini buat apa? Biar lulus cepat, atau biar siap hidup?

Gelar sarjana bukan jaminan sukses. Tapi juga bukan kutukan. Ini soal gimana kamu make gelar itu jadi alat, bukan beban. Kalau sistem pendidikannya bisa berubah, kalau kampus dan industri mau kerja bareng, kalau mahasiswa mulai mikir kayak entrepreneur, bukan sekadar pencari kerja, maka cerita pengangguran sarjana bisa punya ending yang beda.

Indonesia nggak kekurangan anak muda pintar. Tapi kita masih kekurangan sistem yang ngerti gimana caranya bikin kepintaran itu relevan. Jadi, mungkin ini saatnya kita berhenti ngejar gelar doang, dan mulai ngejar skill, koneksi, dan keberanian buat nyiptain jalan sendiri.

Karena hidup pasca-wisuda itu bukan soal seberapa keren kamu pas naik panggung, tapi seberapa siap kamu pas turun panggung.

Fauzah Hs