Senja di pesisir selalu membawa ritme yang sama. Suara ombak yang tak pernah lelah, perahu-perahu kecil yang mulai merapat, dan langkah-langkah ringan para nelayan yang pulang dari laut.
Bukan pemandangan spektakuler, namun dalam kesederhanaannya tersimpan pelajaran tentang keberlanjutan yang lahir bukan dari teknologi, melainkan dari hubungan antara manusia, lingkungan, dan sesama.
Jika selama ini narasi tentang pesisir sering dibingkai sebagai ruang krisis, realitas keseharian menunjukkan bahwa masyarakat pesisir mengembangkan cara hidup yang jauh lebih kompleks, bahwa keberlanjutan sebagai praktik relasional, bukan sekadar respons teknis terhadap risiko.
Relasi dengan Alam: Bukan Penguasaan, tetapi Kehidupan Bersama
Di komunitas pesisir, hubungan dengan laut bukan sekadar soal mata pencaharian. Laut adalah guru tanpa kata yang membentuk cara masyarakat memahami dunia dan dirinya sendiri.
Tidak ada janji kepastian di laut. Hari yang cerah belum tentu menjamin hasil tangkapan. Kadang badai muncul tanpa peringatan, ombak besar menghajar perahu mungil, dan angin berubah arah tanpa alasan jelas.
Namun, masyarakat pesisir tidak menjalani hubungan ini sebagai bentuk dominasi terhadap alam. Mereka tahu bahwa alam tidak bisa dikuasai. Yang dapat dilakukan hanyalah hidup bersama alam dengan membaca tanda-tanda cuaca, menunggu waktu yang tepat, dan menerima bahwa usaha belum tentu berbuah sesuai harapan.
Dalam proses ini, hubungan dengan alam bukan relasi yang sarat konflik, tetapi relasi yang penuh penghormatan dan penerimaan.
Relasi dengan Sesama: Solidaritas yang Menjadi Penyangga Emosional
Keberlanjutan di pesisir tidak hanya soal hubungan manusia dengan alam, tetapi juga hubungan antar manusia. Dermaga, pasar ikan, dan pertemuan pagi hari menjadi ruang sosial yang penting. Di sana, emosi dibagi, cerita diceritakan, dan kebersamaan dirajut dengan cara yang sederhana namun kuat.
Ketika hasil tangkapan sedikit, bukan malu atau penyesalan yang dominan, melainkan pembicaraan ringan, tawaan, dan saran dari sesama nelayan yang memahami situasi itu.
Solidaritas komunitas bukan slogan, tetapi praktik aktif yang mendukung keseimbangan emosional dan sosial. Di tengah tantangan, perasaan berat tidak harus ditanggung sendirian. Kebersamaan menjadi penyangga yang membuat setiap individu tetap tegak, meski beban hidup kadang tak mudah.
Di sinilah terbentuk bentuk keberlanjutan yang sering terlewat dalam diskursus besar bahwa keberlanjutan bukan sekadar soal sumber daya, tetapi juga soal hubungan sosial yang menopang mental dan kolektif masyarakat.
Relasi dengan Diri Sendiri: Membaca Perasaan sebagai Bagian dari Hidup
Mengelola perasaan bukan hanya tema dalam buku psikologi atau pembicaraan klinis. Bagi masyarakat pesisir, ini adalah bagian nyata dari kehidupan.
Ketika laut tak memberi hasil, ketika cuaca buruk memaksa perahu tetap di dermaga, atau ketika angin tidak bersahabat semua itu menghadirkan pengalaman emosional yang harus dihadapi.
Dalam ritme yang demikian, masyarakat pesisir belajar bahwa perasaan seperti kecewa, cemas, atau bahkan putus asa bukanlah sesuatu yang harus dikubur atau dihindari. Perasaan-perasaan itu diakui, dibagikan, lalu dilewati bersama.
Ada kemampuan untuk menenangkan diri bukan dengan menghindari realitas, tetapi dengan menerima ritme hidup. Cara hidup ini menunjukkan bahwa keberlanjutan emosional berasal dari kemampuan menghadapi perasaan secara sadar, bukan dari penekanan atau pengabaian terhadapnya.
Pelajaran bagi Publik Lebih Luas
Dalam kehidupan modern yang sering menekankan kontrol, efisiensi, dan teknologi sebagai solusi utama, komunitas pesisir mengingatkan bahwa keberlanjutan sejati lahir dari relasi, baik itu relasi dengan alam, sesama, dan diri sendiri.
Mereka tidak hidup dalam idealisasi, tetapi dalam realitas yang terus berubah, dan dari situ mereka belajar bertahan serta merawat kehidupan.
Keberlanjutan di pesisir bukan sekadar respon terhadap ancaman lingkungan, tetapi praktik hidup yang lahir dari relasi berulang yang menghormati batas, kebersamaan, dan proses internal setiap individu.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Belajar dari Pesisir Sidoarjo: Nyadran, Kupang, dan Kesadaran Merawat Laut
-
BMKG Ingatkan Potensi Tinggi Gelombang di Pesisir Selatan Indonesia, Apa Penyebabnya?
-
Monumen Tsunami Pancer, Pengingat Asa Dikala Bencana Melanda
-
Laut yang Menyadarkan Batas Keserakahan Manusia
-
Kehidupan Pesisir dan Belajar Mengalah dari Laut: Tak Semuanya Harus Menang
Kolom
-
Belajar dari Pesisir Sidoarjo: Nyadran, Kupang, dan Kesadaran Merawat Laut
-
Iklan Premium, Isi Refill: Mengapa Pemimpin Kompeten Sulit Menang?
-
Laut yang Menyadarkan Batas Keserakahan Manusia
-
Kehidupan Pesisir dan Belajar Mengalah dari Laut: Tak Semuanya Harus Menang
-
Kehidupan Masyarakat Pesisir: Ruang Pertama yang Selalu Dikorbankan
Terkini
-
Akui Kesalahan, Ridwan Kamil Minta Maaf dan Doakan Atalia Praratya
-
Sakit Hati Suami Dituduh Nganggur dan Numpang Hidup, Ailee Beri Klarifikasi
-
Street Vibes On! 4 Ide Edgy Style ala James CORTIS Bikin OOTD Modis Abis
-
Lebih dari Sekadar Drama: Bahaya Toxic Relationship bagi Remaja
-
4 Micellar Water Madecassoside Berikan Efek Calming pada Kulit Kemerahan