Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Ilustrasi individu aktif menggunakan mengakses media sosial (Pexels/mikoto.raw Photographer )

Fenomena Fear of Missing Out (FoMO) kian menjelma sebagai realitas sehari-hari bagi Generasi Z di Indonesia. Di tengah derasnya arus informasi dan tampilan kehidupan sempurna di media sosial, generasi ini menghadapi tekanan psikologis yang tidak ringan. Bukan lagi sekadar istilah psikologis, FoMO telah menjadi semacam epidemi digital yang menyasar generasi muda yang lahir dan tumbuh di era konektivitas tanpa batas. Sebuah penelitian terbaru oleh Damri, Oksanda, dan Rusdi (2024) yang diterbitkan dalam jurnal PSIKODIMENSIA menyajikan sebuah pemetaan menarik bahwa rasa syukur (gratitude) dan pengaturan diri (self-regulation) memiliki kontribusi terhadap intensitas FoMO. Namun, pertanyaannya: apakah dua faktor ini cukup untuk meredam derasnya gelombang eksistensial di dunia maya?

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa individu dengan tingkat rasa syukur yang tinggi cenderung memiliki intensitas FoMO yang lebih rendah. Di atas kertas, temuan ini tampak menjanjikan. Teori-teori psikologi positif memang telah lama mengagungkan kekuatan rasa syukur sebagai fondasi kesejahteraan mental. Individu yang mampu menghargai apa yang dimiliki cenderung lebih bahagia dan lebih tahan terhadap tekanan sosial eksternal. Namun dalam praktiknya, rasa syukur tidak berdiri di ruang hampa. Di era algoritma yang mengatur apa yang kita lihat dan konsumsi, rasa syukur bisa berubah menjadi tameng rapuh yang mudah runtuh ketika individu terus-menerus dibombardir oleh narasi keberhasilan orang lain di layar ponsel.

Media sosial telah mengubah cara kita memaknai kebahagiaan dan keberhasilan. Feed Instagram dan story TikTok bukan lagi sekadar sarana berbagi, melainkan arena kompetisi simbolik. Dalam konteks ini, rasa syukur kadang justru membawa paradoks: ketika seseorang merasa bersyukur atas apa yang dimiliki, namun tetap diliputi rasa iri atau kurang karena membandingkan diri dengan orang lain yang tampak lebih "bahagia" dan sukses. Penelitian Damri dan kolega memang menemukan hubungan negatif antara rasa syukur dan FoMO, tetapi tidak menggali kemungkinan bahwa rasa syukur juga bisa menjadi sumber disonansi kognitif ketika ideal-ideal yang dibangun di media sosial tidak selaras dengan kenyataan hidup.

Kemudian, pengaturan diri sebagai variabel kedua dalam studi ini menawarkan dimensi yang lebih behavioristik. Kemampuan untuk mengontrol dorongan untuk mengecek media sosial, mengatur waktu layar, dan memilih konten yang dikonsumsi tentu saja penting. Namun, pengaturan diri bukanlah variabel yang sepenuhnya netral. Ia dipengaruhi oleh banyak faktor lain seperti motivasi intrinsik, dukungan sosial, hingga kapasitas kognitif individu. Dalam banyak kasus, mereka yang memiliki kecemasan sosial atau ketergantungan terhadap validasi eksternal akan kesulitan menerapkan pengaturan diri yang efektif. Artinya, efek pengaturan diri terhadap FoMO bisa sangat variatif dan tidak selalu signifikan bagi semua individu.

Yang absen dari pembacaan dalam penelitian ini adalah konteks kultural dan struktural dari kehidupan digital generasi Z. FoMO bukan sekadar persoalan individual, melainkan produk dari budaya konsumerisme digital yang terus-menerus menanamkan rasa kurang dan kebutuhan untuk menjadi relevan. Budaya ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang secara sistematis mempromosikan konten viral, membentuk norma popularitas, dan mempersempit ruang bagi otentisitas. Dalam ekosistem seperti ini, upaya-upaya personal seperti mengembangkan rasa syukur dan mengatur diri menjadi seperti melawan arus besar tanpa pelampung.

FoMO, dalam kerangka yang lebih luas, adalah refleksi dari ketakutan eksistensial: takut tidak menjadi bagian dari sesuatu yang dianggap penting, takut kehilangan momentum, takut tidak diingat. Di sinilah letak tantangan bagi generasi Z. Mereka dibesarkan dalam sistem yang menjadikan koneksi sosial sebagai mata uang utama. Likes, views, dan followers menjadi parameter nilai diri. Maka, jika tidak mendapatkan validasi dari dunia maya, mereka merasa tertinggal meski dalam kenyataannya tidak ada yang benar-benar hilang. Ini adalah ironi besar dari era digital: kita terhubung lebih banyak, tapi merasa lebih kesepian.

Dalam konteks ini, kita perlu mempertanyakan pendekatan psikologi yang terlalu berorientasi pada individu. Upaya meredam FoMO tidak cukup dengan memperkuat rasa syukur atau melatih self-regulation. Kita butuh pendekatan ekosistemik yang lebih luas. Pemerintah, pendidik, dan pembuat kebijakan digital harus mulai memikirkan regulasi yang lebih sehat terhadap penggunaan media sosial. Pendidikan literasi digital tidak boleh lagi hanya fokus pada kemampuan teknis, tetapi juga pada pembangunan kesadaran kritis tentang bagaimana media sosial memengaruhi persepsi diri dan hubungan sosial.

Selain itu, penting untuk mengeksplorasi peran komunitas offline dalam meredam FoMO. Dalam dunia yang serba daring, perjumpaan nyata menjadi semakin langka. Padahal, koneksi sosial yang otentik secara langsung dapat menjadi penawar dari perasaan terpinggirkan yang dihasilkan oleh konsumsi konten daring. Maka, memperkuat jejaring sosial yang berbasis komunitas, baik di sekolah, kampus, maupun lingkungan kerja, menjadi strategi kultural yang signifikan.

Damri dan kolega memang telah membuka diskusi penting tentang dua variabel psikologis ini. Namun untuk benar-benar menangani FoMO, kita tidak bisa berhenti di sana. Kita butuh penelitian lanjutan yang melibatkan variabel-variabel seperti intensitas penggunaan media sosial, tipe kepribadian, persepsi diri, hingga konteks budaya. Bahkan, kajian lintas negara mungkin diperlukan untuk memahami bagaimana dinamika FoMO muncul dalam kerangka nilai-nilai budaya yang berbeda. FoMO di Indonesia bisa jadi memiliki karakteristik yang unik dibandingkan dengan di negara-negara Barat, karena nilai kolektivisme, budaya malu, dan tekanan sosial yang lebih kuat.

Sebagai kolumnis yang mengamati tren psikologi digital, saya melihat bahwa tantangan terbesar ke depan adalah membangun keseimbangan antara kehidupan daring dan luring. Kita harus menciptakan ruang digital yang lebih manusiawi yang tidak melulu berorientasi pada performa, tetapi juga pada kebermaknaan. Hal ini tentu saja bukan tugas psikolog semata, melainkan proyek sosial yang membutuhkan partisipasi semua pihak.

Generasi Z adalah generasi yang adaptif, kreatif, dan cerdas. Namun mereka juga generasi yang paling terekspos oleh standar-standar yang tidak manusiawi dari budaya digital. Dalam kondisi seperti ini, kita perlu menawarkan lebih dari sekadar teknik pengaturan diri atau afirmasi rasa syukur. Kita perlu membangun kesadaran kolektif tentang apa itu cukup, apa itu bahagia, dan apa itu hadir secara otentik baik di dunia nyata maupun maya.

Sebagai penutup, penelitian Damri et al. adalah batu loncatan penting. Tapi kita harus melanjutkannya dengan pandangan yang lebih kritis dan menyeluruh. Karena FoMO bukan sekadar rasa takut tertinggal, tetapi gejala dari sistem sosial yang terus memaksa kita untuk hadir di mana-mana, menjadi siapa saja, dan menampilkan segalanya tanpa pernah benar-benar merasa cukup.

Rion Nofrianda