Fenomena perceraian selebriti selalu menjadi sorotan publik, terutama di era media sosial yang serba cepat. Baru-baru ini, perceraian Tasya Farasya menjadi trending topic di berbagai platform digital, memunculkan komentar, opini, hingga spekulasi yang masif. Di balik euforia publik ini, terlihat praktik schadenfreude, yaitu rasa senang melihat kesulitan orang lain yang dipicu oleh media dan dinamika sosial. Kasus ini juga memperlihatkan bagaimana standar ganda gender tetap membayangi penilaian masyarakat terhadap perempuan selebriti.
Situasi ini membuka ruang diskusi menarik tentang bagaimana publik menilai perceraian. Mengapa perempuan yang bercerai lebih cepat menjadi target kritik dan ejekan dibanding laki-laki? Bagaimana media membingkai narasi perceraian untuk menarik perhatian, sementara konteks personal individu sering diabaikan? Fenomena ini menjadi cermin bagi masyarakat untuk memahami bias, ekspektasi sosial, dan dampak psikologis dari konsumsi berita selebriti.
Schadenfreude dan Konsumsi Kehidupan Pribadi
Schadenfreude muncul ketika publik merasa puas atau senang melihat masalah pribadi figur publik. Salah satu contohnya adalah mengenai perceraian Tasya Farasya. Rasa ini diperkuat oleh persepsi bahwa selebriti hidup sempurna, sehingga kesulitan mereka menjadi semacam “hukuman” yang wajar di mata masyarakat. Komentar yang sinis, meme, dan spekulasi pribadi sering muncul sebagai bentuk ekspresi schadenfreude, yang semakin viral karena media sosial memfasilitasi penyebaran cepat.
Fenomena ini membuat perceraian yang seharusnya menjadi urusan pribadi berubah menjadi hiburan publik. Tekanan sosial ini lebih terasa pada perempuan, yang cenderung mendapat kritik lebih keras dibanding laki-laki dalam situasi serupa. Oleh sebab itu, schadenfreude memperkuat standar ganda yang membatasi kebebasan perempuan untuk membuat keputusan pribadi tanpa dihakimi.
Media dan Narasi Sensasional
Media memainkan peran besar dalam membentuk persepsi publik. Berita perceraian kerap dibingkai secara sensasional, menyoroti drama, konflik, dan sisi negatif tokoh, alih-alih konteks personal yang sebenarnya. Judul klik-bait dan framing tertentu dapat memancing rasa ingin tahu atau bahkan schadenfreude penonton, sehingga berita tersebar cepat dan komentar negatif meluas.
Dalam kasus Tasya Farasya, media sering menekankan “kesalahan” atau “drama rumah tangga”, sementara faktor-faktor rasional atau emosional yang mendasari keputusan perceraian jarang disorot. Pola pemberitaan ini memperkuat persepsi publik bahwa perempuan harus mempertahankan pernikahan, sementara laki-laki sering dianggap wajar mengambil keputusan pribadi tanpa kritik serupa.
Standar Ganda dan Perbedaan Reaksi Publik
Reaksi publik terhadap perceraian tidak selalu konsisten dan sering dipengaruhi gender, citra, dan status sosial figur publik. Perempuan selebriti, seperti Tasya Farasya, lebih cepat menjadi sasaran kritik dan ejekan, sementara laki-laki dalam situasi serupa biasanya mendapatkan simpati atau pembenaran. Standar ganda ini jelas terlihat dalam komentar netizen yang menilai perempuan “gagal mempertahankan rumah tangga”, padahal keputusan perceraian mungkin rasional dan tepat.
Perbedaan reaksi ini juga dipengaruhi oleh citra publik selebriti. Figur yang dianggap “heroik” atau populer bisa mendapat dukungan lebih dibanding yang kontroversial. Dampaknya, perempuan selebriti tidak hanya menghadapi perceraian, tetapi juga tekanan sosial dan psikologis tambahan, sementara laki-laki jarang mengalami beban serupa. Fenomena ini menunjukkan perlunya kesadaran kritis terhadap bias sosial dan ekspektasi gender yang berlaku.
Kasus perceraian Tasya Farasya bukan sekadar hiburan atau trending topic, melainkan cermin nyata dari schadenfreude, standar ganda gender, dan peran media dalam membentuk opini publik. Publik perlu belajar menilai berita dengan lebih kritis, menghargai keputusan pribadi individu, dan memahami dampak psikologis dari konsumsi berita sensasional. Mengurangi bias, empati terhadap figur publik, dan kesadaran akan standar ganda menjadi langkah penting untuk menciptakan budaya sosial yang lebih adil dan kritis.
Baca Juga
-
Beban Kelompok: Dari Drama Numpang Nama sampai Fenomena Social Loafing
-
Jerat Konsumtif di Balik Budaya Cashless, Solusi atau Masalah Baru?
-
Saat Podcast Jadi Pilihan Belajar, Apa yang Hilang dari Televisi?
-
Siapa Peduli pada Guru, Kalau Semua Sibuk Bicara Kurikulum?
-
Narasi Damai ala Influencer: Cara Komunikasi Pemerintah yang Hilang Arah
Artikel Terkait
-
Suami Tajir Melintir, Tasya Farasya Tuntut Nafkah Anak Rp 100, Sindiran Pedas?
-
Nafkah Simbolis Rp100 Jadi Tren Artis Gugat Cerai: Sindiran Pedas atau Sekadar Formalitas?
-
Tasya Farasya Sentil Penyebar Info A1 Perceraiannya: Sumber Terpercaya Hanya Diri Sendiri
-
Tasya Farasya Dinyanyikan Raisa Lewat Voice Note Saat Galau: Merdu Banget Padahal Bukan Konser
-
Proses Cerai, Tasya Farasya Bangga Pamer Ketampanan Suami: Mantan Gue NIh Bos!
Kolom
-
Komunitas Seni sebagai Terapi Kota: Ketika Musik Menjadi Ruang Kelegaan
-
Sekolah Membunuh Rasa, Lalu Apa Kabar Kreativitas Kita?
-
Menggugat Obsesi Industri Film Perihal Debut Sutradara
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Ungkap Masalah Gizi MBG dan Luka di Meja Makan Sekolah, Apa Ada yang Salah?
Terkini
-
Resmi Menikah! Selena Gomez dan Benny Blanco Gelar Pesta Bertabur Bintang
-
Real atau AI? Foto Pratama Arhan dan Putri Azzralea Ramai Dibahas Warganet
-
Ayah Nissa Sabyan Buka Suara Soal Isu Kehamilan, Ini Faktanya!
-
Anti Kusam! 4 Brightening Sunscreen Niacinamide Harga Rp50 Ribuan
-
Sanksi FIFA dan Impian Malaysia Menuju Piala Asia 2027 yang Kini di Ujung Tanduk