Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sherly Azizah
ilustrasi mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra indonesia [pexels/Andrea Piacquadio]

Di tengah hiruk-pikuk kuliah yang bagaikan pasar malam—penuh warna, riuh, namun kadang membingungkan—menulis jurnal hadir sebagai oase kecil yang menenangkan. Bagi mahasiswa, jurnal bukan sekadar catatan harian yang dipenuhi keluh kesah tentang dosen killer atau tumpukan tugas yang tak kunjung usai.

Jurnal adalah cermin jiwa, tempat di mana pengalaman kuliah dirajut menjadi benang-benang refleksi yang bermakna. Dengan menulis, seorang mahasiswa belajar mendengar dirinya sendiri, menata kekacauan pikiran, dan menemukan hikmah di balik setiap ujian tengah semester yang terasa seperti medan perang. Jurnal, dengan segala kesederhanaannya, menawarkan ruang untuk berhenti sejenak, bernapas, dan merenung.

Pentingnya menulis jurnal tak hanya terletak pada kemampuannya untuk mencatat peristiwa, tetapi juga pada daya transformasinya dalam membentuk cara pandang. Dalam artikel berjudul Michel Foucault Goes Outside: Discipline and Control in the Practice of Outdoor Education oleh Bowdridge dan Blenkinsop (2011), ditekankan bahwa refleksi diri melalui dokumentasi pengalaman mampu membangun kesadaran kritis terhadap lingkungan dan diri sendiri.

Meski konteksnya adalah pendidikan luar ruang, gagasan ini relevan untuk mahasiswa. Ketika pengalaman kuliah didokumentasikan, seorang mahasiswa tak hanya mencatat fakta—seperti kuliah yang membingungkan atau diskusi kelompok yang berakhir ricuh—tetapi juga belajar mengurai makna di baliknya. Refleksi ini, sebagaimana dijelaskan oleh Bowdridge dan Blenkinsop, menjadi alat untuk mendisiplinkan pikiran, mengasah kepekaan, dan membentuk karakter yang lebih tangguh.

Bayangkan menulis jurnal sebagai sebuah perjalanan menyusuri lorong-lorong memori. Setiap kata yang dituliskan adalah langkah kecil menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri. Saat seorang mahasiswa menuliskan kegagalan presentasi di kelas, ia tak hanya mencurahkan kekecewaan, tetapi juga mulai melihat celah-celah perbaikan: mungkin ia kurang persiapan, atau mungkin grogi menguasai dirinya.

Jurnal menjadi ruang aman untuk berkata jujur tanpa takut dihakimi. Di sana, seorang mahasiswa bisa menertawakan kekonyolan dirinya sendiri, seperti saat ia salah menyebut teori Freud sebagai “teori Fraud” di depan dosen, atau merenungi momen ketika ia berhasil membantu teman kelompok yang sedang terpuruk. Semua itu, sekecil apa pun, adalah mozaik yang membentuk identitasnya.

Namun, jangan bayangkan menulis jurnal sebagai tugas akademik yang kaku dan penuh aturan. Jurnal adalah kanvas bebas, tempat seorang mahasiswa bisa melukis apa saja dengan warna-warni emosinya. Ia bisa menulis dengan penuh sindiran, seperti menggambarkan dosen yang selalu terlambat sebagai “sang maestro penutup kelas yang tak pernah tepat waktu,” atau dengan penuh puisi, mengibaratkan perjuangan menyelesaikan skripsi sebagai “mendaki gunung dalam kabut tebal.”

Kebebasan ini membuat jurnal tak hanya bermanfaat, tetapi juga menyenangkan. Ia mengajarkan mahasiswa untuk bermain dengan kata, menikmati proses kreatif, dan melihat bahwa menulis bukanlah beban, melainkan pelukan hangat dari diri sendiri untuk diri sendiri.

Lebih jauh, jurnal adalah alat untuk melacak perjalanan intelektual dan emosional. Seorang mahasiswa yang rajin menulis jurnal akan terkejut saat membaca kembali catatannya setelah beberapa semester. Ia akan melihat betapa polosnya pandangannya di awal kuliah, atau betapa ia telah berkembang dari seseorang yang panik menghadapi ujian menjadi sosok yang lebih tenang dan strategis.

Jurnal menjadi semacam peta waktu, yang menunjukkan jejak-jejak perubahan yang sering tak disadari. Ia juga menjadi pengingat bahwa setiap momen, baik yang pahit maupun manis, memiliki andil dalam membentuk dirinya. Dalam keriuhan kuliah yang sering membuat mahasiswa lupa diri, jurnal adalah jangkar yang menahannya agar tetap terhubung dengan esensi dirinya.

Tentu saja, menulis jurnal bukan tanpa tantangan. Di tengah tumpukan deadline dan distraksi media sosial yang bagaikan sirene yang terus bernyanyi, menyisihkan waktu untuk menulis terasa seperti kemewahan. Namun, justru di sinilah letak keajaibannya: menulis jurnal mengajarkan disiplin tanpa terasa seperti disiplin. Cukup dengan 10 menit sehari, secangkir kopi, dan selembar kertas—atau aplikasi catatan di ponsel—seorang mahasiswa bisa mulai. Tak perlu sempurna, tak perlu panjang. Yang penting adalah keberanian untuk memulai dan konsistensi untuk melanjutkan. Seperti kata pepatah, “Tetesan air kecil yang rutin bisa mengukir batu.” Jurnal, dengan caranya yang sederhana, mengukir jiwa mahasiswa menjadi lebih bijak dan peka.

Menulis jurnal merupakan investasi untuk masa depan. Ia bukan hanya tentang mencatat hari ini, tetapi juga tentang menyiapkan diri untuk hari esok yang lebih baik. Jurnal mengajarkan mahasiswa untuk hidup dengan penuh kesadaran, untuk melihat keindahan dalam hal-hal kecil, dan untuk menemukan makna dalam kekacauan. Ia adalah sahabat setia yang tak pernah menghakimi, yang selalu siap mendengar, dan yang akan terus mengingatkan bahwa setiap langkah dalam perjalanan kuliah adalah bagian dari kisah besar yang sedang ditulis. Jadi, ambillah pena, buka laptop, atau ketuk layar ponselmu. Tulis, renungi, dan biarkan jurnal menjadi cermin yang menunjukkan siapa dirimu—dan siapa yang sedang kamu tuju.

Sherly Azizah