Pernah nggak sih, kamu ngerasa capek banget pengen cerita tapi bingung mau ke siapa? Nah, ternyata bukan cuma kamu yang begitu. Di luar sana, makin banyak orang—terutama dari kalangan Gen Z—yang mulai curhat ke... AI. Iya, beneran. Bukan lagi sekadar pakai AI buat nanya soal tugas atau translate bahasa Korea, tapi bener-bener ngobrol panjang, bahkan kadang curhat personal banget.
Sebut aja aplikasi kayak Replika, Luda Lee, atau chatbot obrolan seperti ChatGPT yang nggak jarang ditanyain hal-hal super eksistensial: “Kenapa aku ngerasa sendiri terus, ya?” atau “aku gagal lagi, menurut kamu aku bodoh nggak sih?”
Salah satu survei di AS bahkan bilang, 80% Gen Z nggak masalah menikah dengan AI kalau itu legal. Kedengarannya agak gila, tapi ini menunjukkan seberapa dalam keterikatan emosional yang bisa muncul dari hubungan manusia dengan mesin.
Apalagi di TikTok dan Twitter, banyak banget video yang nyeritain betapa "nyamannya" ngobrol sama AI—karena nggak menghakimi, nggak motong omongan, dan available kapan aja kamu butuh.
Koneksi Cepat, tapi Emosi Tetap Sepi
Fenomena ini sebenarnya muncul dari kebutuhan manusia yang sangat dasar: ingin dimengerti. Ketika banyak orang merasa lingkungan sekitar terlalu sibuk, terlalu cuek, atau bahkan terlalu judgemental, maka ngobrol sama AI jadi solusi instan. Nggak perlu repot jaga perasaan orang lain, dan yang paling penting, kamu didengerin.
Tapi tentu aja ini bukan tanpa risiko. Di balik rasa nyaman yang diciptakan algoritma, ada potensi kesepian yang makin dalam. Karena apa? Karena yang kamu ajak bicara, sejatinya, bukan manusia.
Beberapa studi psikologi bilang bahwa relasi semu ini bisa memperkuat ilusi kedekatan, padahal nggak ada kedalaman emosional beneran. Kamu jadi terbiasa cerita ke layar, tapi makin canggung pas harus ngomong sama manusia. Bahkan ada kasus tragis di Belgia, seorang remaja bunuh diri setelah menjalin hubungan yang terlalu dalam dengan chatbot AI.
Teori yang Bikin Kita Ngeh: Kenapa Kita Bisa Sayang Sama Bot?
Kalau mau dibedah pakai teori, salah satunya yang relevan banget adalah Media Equation Theory dari Reeves & Nass. Intinya, manusia secara alami memperlakukan teknologi seolah-olah itu manusia juga. Makanya, kita bisa kesal kalau GPS ngomongnya terlalu cepat, atau senyum sendiri kalau AI bilang “you’re doing great.”
Fenomena kayak gini juga nyambung ke yang namanya Efek ELIZA, yaitu saat kita menganggap AI punya empati, padahal dia cuma responsif secara linguistik. Nama ini diambil dari chatbot jadul “ELIZA” yang udah bikin banyak orang ngerasa didengarkan padahal dia cuma ngulang-ngulang kalimat pengguna.
Lalu ada lagi istilah antropomorfisme, alias kebiasaan manusia untuk ngasih sifat-sifat manusia ke objek tak hidup. Ketika AI punya nama, suara ramah, bahkan avatar lucu, otak kita langsung bikin koneksi emosional. Kita jadi ngerasa, “Dia ngerti gue,” padahal... ya, dia cuma ngolah data.
Jadi, Harus Gimana?
Aku nggak bilang ngobrol sama AI itu salah. Buat beberapa orang, ini bisa jadi alat bantu yang bermanfaat—asal tahu batasnya. Justru yang perlu digarisbawahi adalah kita perlu mulai jujur soal rasa sepi yang kita punya.
Kadang, lebih mudah cerita ke mesin karena takut ditolak manusia. Tapi dalam jangka panjang, kita tetap butuh pelukan nyata, bukan hanya “I’m here for you” dari layar ponsel.
Penting juga buat lingkungan sekitar, mulai dari sekolah sampai komunitas, buat menyediakan ruang aman tempat orang bisa saling dengerin—tanpa harus jadi ‘sempurna’ dulu. Karena mungkin, kita bukan kekurangan solusi teknologi, tapi kekurangan waktu untuk benar-benar hadir buat satu sama lain.
Dan untuk para pengembang AI, yuk bikin teknologi yang membantu, bukan menggantikan. Karena sehebat apapun bot menjawab, dia tetap nggak bisa ngasih tatapan hangat atau pelukan diam-diam yang bisa bikin kita tenang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Pembangunan Hilir vs Pembangunan Hulu: Benarkah Desa Ikut Sejahtera?
-
Reading Tracker dan Obsesi Kuantitas: Apa Kabarnya Kenikmatan Membaca?
-
FOMO Literasi: Ketika Membaca Berubah Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial
-
Pangkas Lahan Basah: Ketika Rawa Dihancurkan Demi Pembangunan
-
Masalah Emisi Rendah dan Kenyamanan Penumpang: Apa Kabar Janji Pemerintah?
Artikel Terkait
-
Hunian Rasa Liburan: Tren Baru Gen Z dan Milenial yang Ingin Miliki Lebih dari Sekadar Rumah
-
Revolusi Sepak Bola: AI Tingkatkan Produktivitas Gol Klub Liga Inggris
-
15 Quotes Ajaran Buddha yang Bisa Jadi Pegangan Hidup Gen Z
-
Kementerian BUMN Minta Perusahaan Plat Merah Manfaatkan AI Untuk Komunikasi Publik
-
Kisah Para "Gladiator" Forex di Kalangan Anak Muda Indonesia
Kolom
-
Cobaan Rumah Tangga Bisa Datang dari Mana Saja, Termasuk Serangan Mistis
-
Film Bagus Memang Layak Diapresiasi Berjuta-Juta Penonton
-
Perayaan Lomba di SDTQ As-Surkati: Menyatukan Tawa, Semangat, dan Ukhuwah
-
Lewat Kebudayaan, Indonesia Perlu Menemukan Kembali Identitasnya
-
Kamu Tahu? Mendapatkan Slot Film Tayang di Bioskop, Nggak Semulus Jalan Tol
Terkini
-
Sandy Walsh Gabung Buriram, Liga Thailand Kian Disesaki para Defender Timnas Indonesia
-
Diperkirakan Bakal Rilis Oktober 2025, Berikut Bocoran Fitur Terbaik Realme GT 8
-
10 Karakter dalam Drama China The Princess's Gambit, Siapa Favoritmu?
-
Blue oleh Madein S: Rasa Kehilangan dan Emosional Hadapi Perubahan Hidup
-
Nasib Sandy Walsh dan Tak Ramahnya Tanah Matahari Terbit bagi Pesepak Bola Indonesia