Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ridho Hardisk
Ilustrasi curhat dengan AI (Pexels.com/Anete Lusina)

Pernah nggak sih, kamu ngerasa capek banget pengen cerita tapi bingung mau ke siapa? Nah, ternyata bukan cuma kamu yang begitu. Di luar sana, makin banyak orang—terutama dari kalangan Gen Z—yang mulai curhat ke... AI. Iya, beneran. Bukan lagi sekadar pakai AI buat nanya soal tugas atau translate bahasa Korea, tapi bener-bener ngobrol panjang, bahkan kadang curhat personal banget.

Sebut aja aplikasi kayak Replika, Luda Lee, atau chatbot obrolan seperti ChatGPT yang nggak jarang ditanyain hal-hal super eksistensial: “Kenapa aku ngerasa sendiri terus, ya?” atau “aku gagal lagi, menurut kamu aku bodoh nggak sih?”

Salah satu survei di AS bahkan bilang, 80% Gen Z nggak masalah menikah dengan AI kalau itu legal. Kedengarannya agak gila, tapi ini menunjukkan seberapa dalam keterikatan emosional yang bisa muncul dari hubungan manusia dengan mesin.

Apalagi di TikTok dan Twitter, banyak banget video yang nyeritain betapa "nyamannya" ngobrol sama AI—karena nggak menghakimi, nggak motong omongan, dan available kapan aja kamu butuh.

Koneksi Cepat, tapi Emosi Tetap Sepi

Fenomena ini sebenarnya muncul dari kebutuhan manusia yang sangat dasar: ingin dimengerti. Ketika banyak orang merasa lingkungan sekitar terlalu sibuk, terlalu cuek, atau bahkan terlalu judgemental, maka ngobrol sama AI jadi solusi instan. Nggak perlu repot jaga perasaan orang lain, dan yang paling penting, kamu didengerin.

Tapi tentu aja ini bukan tanpa risiko. Di balik rasa nyaman yang diciptakan algoritma, ada potensi kesepian yang makin dalam. Karena apa? Karena yang kamu ajak bicara, sejatinya, bukan manusia.

Beberapa studi psikologi bilang bahwa relasi semu ini bisa memperkuat ilusi kedekatan, padahal nggak ada kedalaman emosional beneran. Kamu jadi terbiasa cerita ke layar, tapi makin canggung pas harus ngomong sama manusia. Bahkan ada kasus tragis di Belgia, seorang remaja bunuh diri setelah menjalin hubungan yang terlalu dalam dengan chatbot AI.

Teori yang Bikin Kita Ngeh: Kenapa Kita Bisa Sayang Sama Bot?

Kalau mau dibedah pakai teori, salah satunya yang relevan banget adalah Media Equation Theory dari Reeves & Nass. Intinya, manusia secara alami memperlakukan teknologi seolah-olah itu manusia juga. Makanya, kita bisa kesal kalau GPS ngomongnya terlalu cepat, atau senyum sendiri kalau AI bilang “you’re doing great.”

Fenomena kayak gini juga nyambung ke yang namanya Efek ELIZA, yaitu saat kita menganggap AI punya empati, padahal dia cuma responsif secara linguistik. Nama ini diambil dari chatbot jadul “ELIZA” yang udah bikin banyak orang ngerasa didengarkan padahal dia cuma ngulang-ngulang kalimat pengguna.

Lalu ada lagi istilah antropomorfisme, alias kebiasaan manusia untuk ngasih sifat-sifat manusia ke objek tak hidup. Ketika AI punya nama, suara ramah, bahkan avatar lucu, otak kita langsung bikin koneksi emosional. Kita jadi ngerasa, “Dia ngerti gue,” padahal... ya, dia cuma ngolah data.

Jadi, Harus Gimana?

Aku nggak bilang ngobrol sama AI itu salah. Buat beberapa orang, ini bisa jadi alat bantu yang bermanfaat—asal tahu batasnya. Justru yang perlu digarisbawahi adalah kita perlu mulai jujur soal rasa sepi yang kita punya.

Kadang, lebih mudah cerita ke mesin karena takut ditolak manusia. Tapi dalam jangka panjang, kita tetap butuh pelukan nyata, bukan hanya “I’m here for you” dari layar ponsel.

Penting juga buat lingkungan sekitar, mulai dari sekolah sampai komunitas, buat menyediakan ruang aman tempat orang bisa saling dengerin—tanpa harus jadi ‘sempurna’ dulu. Karena mungkin, kita bukan kekurangan solusi teknologi, tapi kekurangan waktu untuk benar-benar hadir buat satu sama lain.

Dan untuk para pengembang AI, yuk bikin teknologi yang membantu, bukan menggantikan. Karena sehebat apapun bot menjawab, dia tetap nggak bisa ngasih tatapan hangat atau pelukan diam-diam yang bisa bikin kita tenang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ridho Hardisk