Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Bill Gates dan Presiden Prabowo (Instagram/@sekretariat.kabinet)

Waktu Bill Gates datang ke Indonesia pada 7 Mei 2025 kemarin, headline-nya langsung rame. “Bill Gates hibahkan 159 juta dolar ke Indonesia.” “Gates pantau makan bergizi gratis.” “Indonesia jadi lokasi uji coba vaksin TBC.”

Kelihatannya mulia. Ada vibe world peace dan aksi sosial yang menyentuh. Tapi makin lama diperhatikan, narasinya mulai bikin kening berkerut. Kenapa ya negara kita yang selalu dijadikan tempat uji coba segala hal “baru”? Apa karena kita ramah? Atau karena kita murah?

Kita nggak bisa munafik. Indonesia memang punya masalah besar sama TBC. Data dari WHO bilang, Indonesia adalah negara dengan jumlah kasus TBC tertinggi kedua di dunia, sekitar 1 juta kasus aktif setiap tahunnya. Jadi, dari segi kebutuhan, vaksin itu penting banget. Kita perlu solusi.

Tapi, penting juga buat ngerti gimana caranya solusi itu dikasih. Karena vaksin yang diuji coba di Indonesia ini bukan bikinan kita. Vaksin M72/AS01E ini dikembangkan oleh GSK (GlaxoSmithKline) dan dikawal oleh Bill & Melinda Gates Foundation. Uji klinis fase 3-nya mau dilakukan di Indonesia, salah satu dari 7 negara yang dipilih. Dan—yup—kita jadi tempat pertama.

Pertanyaan besarnya: kenapa harus Indonesia duluan? Kenapa bukan Amerika Serikat yang punya teknologi canggih dan rumah sakit besar? Kenapa bukan negara-negara Eropa yang bahkan punya dana riset jauh lebih gede? Kenapa negara-negara berkembang yang selalu dipilih untuk “menguji” hal-hal eksperimental?

Karena murah? Karena regulasinya longgar? Karena penduduknya banyak dan “mudah diatur”? Atau karena kita terlalu terbuka pada semua hal yang berbau “donasi internasional” tanpa banyak tanya?

Bill Gates memang dikenal aktif di bidang kesehatan global. Gates Foundation udah lama berkecimpung dalam pendanaan vaksin polio, malaria, dan TBC. Tapi, walaupun niatnya baik, kita tetap perlu mengkaji relasi kuasa yang terjadi.

Karena hibah sebesar Rp2,5 triliun bukan cuma soal uang. Itu juga soal agenda, arah kebijakan, dan narasi siapa yang mendominasi.

Pertanyaannya, siapa yang akan bertanggung jawab kalau nanti ada efek samping dari vaksin itu? Apakah sudah ada mekanisme audit independen? Apakah uji coba ini benar-benar transparan? Dan apakah masyarakat yang ikut dalam uji coba itu paham sepenuhnya hak-haknya?

Nggak salah kok kalau Indonesia butuh bantuan internasional. Nggak ada negara yang benar-benar mandiri di era global ini. Tapi yang salah itu kalau kita menerimanya dengan sikap pasif, tanpa kritik, tanpa kontrol. Terutama ketika bantuan itu menyangkut tubuh dan kesehatan jutaan orang.

Kita butuh vaksin, tapi kita juga butuh transparansi. Kita butuh kerja sama, tapi kita juga butuh perlindungan bagi warga negara. Karena yang diuji coba bukan aplikasi baru, tapi sesuatu yang bisa berdampak langsung ke tubuh manusia. Dan tubuh manusia—khususnya tubuh warga negara Indonesia—bukan objek penelitian murah.

Bill Gates mungkin datang dengan senyum, membawa uang, dan janji “penyembuhan.” Tapi sebagai warga muda yang makin melek informasi, kita punya hak untuk tanya: apakah semua ini sudah benar-benar jelas? Siapa yang sebenarnya mengambil keputusan? Dan siapa yang paling diuntungkan?

Karena di era sekarang, jadi kritis bukan berarti anti-bantuan. Justru, itu tanda bahwa kita peduli. Peduli sama hak-hak kita. Peduli sama kedaulatan. Dan peduli sama siapa yang pegang kendali dalam cerita kesehatan kita sendiri.

Jadi, sebelum kita tepuk tangan karena ada “orang kaya dari luar negeri yang baik hati,” mari duduk dulu, baca baik-baik, dan tanya pelan-pelan: ini buat kita... atau buat mereka?

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs