Baru-baru ini, Wakil Ketua KPK, Fitroh Rohcahyanto, mengusulkan agar partai politik diberi dana besar dari APBN supaya nggak korupsi.
Iya, kamu nggak salah baca—partai politik, yang selama ini sering banget dikaitkan dengan skandal korupsi, sekarang malah minta ‘suntikan dana’ dari uang rakyat. Alasannya? Karena katanya politik itu mahal. Kalau nggak dikasih, mereka terpaksa “nyari sendiri” dan akhirnya jadi korup.
Sekilas kedengarannya masuk akal. Tapi coba kita pelan-pelan cerna logikanya, karena politik itu mahal, dan biaya kampanye bisa bikin boncos, solusinya... negara (alias kita semua) yang bayarin? Bukannya cari cara supaya sistem politiknya gak segitu mahalnya?
Bayangin kamu punya teman yang doyan jajan tapi gak pernah nabung. Uang habis terus, lalu dia bilang, “Gue terpaksa ngutang sana-sini karena gaya hidup gue emang mahal.” Terus dia minta kamu patungan biar dia gak ngutang lagi. Lah?
Masalahnya bukan di dananya, tapi di gaya hidup (baca: gaya politik) itu sendiri.
Memang benar, biaya politik di Indonesia tinggi banget. Menurut laporan Litbang KPK tahun 2018, untuk jadi bupati/walikota, seorang calon bisa menghabiskan Rp20 miliar. Untuk jadi anggota DPR RI? Siapin minimal Rp1–2 miliar. Padahal gaji resmi mereka, bahkan ditambah tunjangan, gak akan balik modal dalam lima tahun.
Jadi wajar kalau banyak calon akhirnya ‘dipinang’ pemodal, alias cukong. Masuk akal juga ketika Fitroh bilang, “Setelah duduk di jabatan, para pejabat ini merasa perlu balas budi dengan ngasih proyek.” Tapi solusi yang ditawarkan, yakni menyiram partai dengan dana APBN, rasanya seperti mencoba matikan api dengan bensin.
Karena kita semua tahu, lebih banyak uang dalam sistem yang korup bukan berarti sistemnya jadi bersih. Malah bisa jadi makin kotor, karena aroma uang yang lebih besar bisa menarik lebih banyak tikus.
Partai politik adalah tulang punggung demokrasi. Idealnya, mereka didanai oleh anggota dan simpatisannya. Jadi kalau ideologi partainya jelas, programnya baik, dan integritasnya terbukti, pasti ada rakyat yang bersedia menyumbang.
Tapi realitasnya, partai di Indonesia lebih mirip geng yang loyalitasnya ke elit, bukan ke rakyat. Rakyat gak kenal siapa pengurus parpol di tingkat bawah, gak pernah dikasih tahu kebijakan apa yang diperjuangkan partai itu di DPR, bahkan kaderisasi politik pun sering diselimuti kegelapan.
Nah, di tengah ketertutupan ini, kita diminta percaya bahwa kalau parpol dikasih duit triliunan, mereka akan jadi lebih baik? Sejak kapan masalah integritas selesai dengan uang?
Yang bikin usulan ini makin bikin garuk-garuk kepala adalah: dana untuk partai politik dari APBN itu sudah ada. Sejak 2018, pemerintah sudah menaikkan bantuan parpol dari Rp108 per suara menjadi Rp1.000 per suara. Tapi apakah sejak itu korupsi politik menurun? Sayangnya enggak.
Kita masih melihat caleg yang nyuap KPU demi menang, ketua umum partai yang terseret kasus korupsi, bahkan menteri dari partai politik yang tertangkap tangan oleh KPK. Jadi wajar kalau publik skeptis.
Bukan cuma skeptis, tapi juga muak. Apalagi kalau membayangkan bahwa uang itu berasal dari pajak kita, yang tiap hari kita bayar dari beli pulsa, bensin, sampai kopi sachet.
Kalau memang mau mencegah korupsi, mari fokus ke akarnya. Pertama, transparansi biaya politik harus diwajibkan. Calon legislatif dan kepala daerah harus jujur berapa dana kampanyenya, siapa penyumbangnya, dan ke mana larinya. Di negara-negara maju, laporan keuangan kampanye itu bisa diakses publik.
Kedua, partai politik harus membangun sistem kaderisasi yang sehat, bukan sekadar jualan tiket pencalonan. Yang berintegritas diberi panggung, bukan disingkirkan karena nggak punya “isi koper”.
Ketiga, penegakan hukum harus tegas dan konsisten. Korupsi politik itu bukan sekadar ‘dosa individu’, tapi masalah sistemik. Kalau hukum lembek, sebanyak apa pun dana yang digelontorkan ke partai, hasilnya sama aja, malah memperkaya elit yang udah kenyang duluan.
Pada akhirnya, logika bahwa uang bisa mencegah korupsi itu mirip kayak mikir sabun bisa mencegah orang malas mandi. Iya, sabun penting. Tapi kalau orangnya emang gak niat bersih, ya percuma.
Demokrasi yang sehat butuh lebih dari sekadar dana. Butuh niat, transparansi, dan keberanian buat membongkar kebiasaan lama yang nyaman tapi busuk.
Kalau tidak, usulan ini cuma jadi cara baru buat menyedot APBN lewat ‘jalur resmi’. Dan rakyat? Tetap bayar, tetap nonton, tetap digantung harapan.
Kalau sistem gak berubah, sebanyak apa pun dana digelontorkan, parpol tetap bisa korupsi. Jadi bukan tambah uangnya, tapi perbaiki dulu mental dan mekanismenya. Setuju?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Di Balik Kedermawanan Bill Gates: Risiko dan Tanggung Jawab Uji Vaksin TBC
-
Dari Jaga Perairan ke Tanam Kedelai: Apa Kabar Mandat TNI AL?
-
Ekonomi 'Sehat' Versi Pemerintah vs Dompet Tipis Rakyat: Siapa yang Bohong?
-
Stok Beras 3,5 Juta Ton, tapi Harga Tetap Mahal: Ilusi Ketahanan Pangan?
-
MBG dan Matematika Kekuasaan: Mengapa 0,01% Keracunan Masih Terlalu Banyak?
Artikel Terkait
-
KPK Tetap Bisa Jerat Pejabat BUMN Terlibat Korupsi, Begini Alasannya!
-
Panggil KPK Terkait Kasus Korupsi PGN, Ketua KPPU Fanshurullah Asa Mangkir, Kenapa?
-
Tak Disetor KPK, Cerita Setoran Puluhan Miliar ke Rudi Hakim Pembebas Ronald Tannur Terkuak!
-
Dedi Mulyadi Kunjungi Gedung KPK, Ini yang Dibahas
-
KPK Usulkan Dana Parpol dari APBN, Ganjar: Diskusinya Pernah Ada, Bukan Baru
Kolom
-
Gaji vs Sehat Mental: Apa Kabar Anak Muda yang Cuma Dapat UMR?
-
Grup 'Fantasi Sedarah', Alarm Bahaya Penyimpangan Seksual di Dunia Digital
-
Memperkuat Fondasi Bangsa: Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia
-
Menakar Ulang Peran Militer dalam Demokrasi Pascareformasi
-
Perjuangan Buruh Perempuan di Tengah Ruang Kerja Tak Setara
Terkini
-
Review Film Dasim: Teror Jin yang Hancurkan Keluarga, Bikin Bioskop Heboh!
-
5 Drama Thailand yang Dibintangi Member 4EVE, Ada I Love A Lot Of You
-
Malaysia Masters 2025 Day 1: Tiga Wakil Ganda Putri Indonesia Turun Tanding
-
3 Fakta Garuda Calling 2025: Rekor Jordi Amat Patah, Marselino Masih Tak Goyah
-
Ulasan Novel Some Shall Break: Melacak Jejak Pembunuh Berantai dan Luka Lama