Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Ilustrasi karyawan di tempat kerja (pexels/Andrea Piacquadio)

Fenomena The Great Resignation dan Quiet Quitting menjadi sorotan utama dalam dinamika dunia kerja pasca-pandemi COVID-19. Dua istilah ini seolah mencerminkan perubahan besar dalam paradigma kerja yang seharusnya menjadi perhatian serius bagi para pemimpin organisasi, terutama dalam mengelola sumber daya manusia. Penelitian yang dilakukan oleh Sandro Formica dan Fabiola Sfodera (2022) dalam artikel mereka, "The Great Resignation and Quiet Quitting Paradigm Shifts," membuka cakrawala baru bagi kita untuk melihat lebih dalam apa yang terjadi di balik angka pengunduran diri yang melonjak dan menurunnya tingkat keterlibatan karyawan di berbagai sektor, termasuk industri perhotelan yang sangat terdampak.

Salah satu topik yang paling banyak dibicarakan adalah The Great Resignation atau Pengunduran Diri Besar-besaran yang dimulai pada pertengahan 2021. Fenomena ini menggambarkan lonjakan jumlah pekerja yang memilih untuk keluar dari pekerjaan mereka secara sukarela, meskipun secara historis, tingkat pengunduran diri ini jarang terjadi pada skala yang begitu besar. Menurut Formica dan Sfodera (2022), lebih dari 47 juta pekerja di Amerika Serikat memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan mereka pada tahun 2021, yang sebagian besar berasal dari sektor perhotelan dan layanan. Jika kita menganalisis lebih dalam, fenomena ini mencerminkan ketidakpuasan mendalam terhadap kondisi kerja yang ada, termasuk gaji yang tidak memadai, jam kerja yang panjang, dan ketidakseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.

Namun, penting untuk dicatat bahwa fenomena ini bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Sejak jauh sebelum pandemi, pekerja sudah mulai merasa teralienasi dari tempat kerja mereka karena kurangnya penghargaan, peluang untuk berkembang, serta budaya kerja yang toksik. Pandemi hanya memperburuk ketidakpuasan yang sudah ada, sekaligus mempercepat kesadaran banyak pekerja untuk mencari pekerjaan yang lebih memenuhi kebutuhan mereka, baik dari segi finansial maupun emosional. The Great Resignation seharusnya tidak dilihat sebagai akibat langsung dari pandemi, tetapi sebagai refleksi dari ketidakadilan sistemik yang ada dalam dunia kerja.

Pergeseran ini juga didorong oleh perubahan sikap generasi muda terhadap pekerjaan. Para pekerja muda, terutama Gen Z dan Millennial, lebih menekankan pada keseimbangan kehidupan pribadi dan pekerjaan serta pencarian makna dalam pekerjaan. Bagi mereka, bekerja bukan sekadar untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tetapi juga untuk mencapai tujuan pribadi yang lebih mendalam. Oleh karena itu, perusahaan yang tidak mampu memenuhi harapan ini akan semakin sulit untuk mempertahankan talenta terbaik mereka.

Di sisi lain, Quiet Quitting atau berhenti tanpa benar-benar berhenti, menjadi fenomena yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Berbeda dengan The Great Resignation yang melibatkan pengunduran diri secara terbuka, Quiet Quitting menggambarkan sikap disengagement para pekerja yang tidak lagi memberikan komitmen penuh terhadap pekerjaan mereka. Fenomena ini sering kali dimulai dengan pekerja yang hanya melaksanakan tugas yang tercantum dalam deskripsi pekerjaan mereka, tanpa berusaha lebih jauh untuk berkontribusi di luar itu. Tidak ada semangat untuk meningkatkan kinerja, berpartisipasi dalam proyek tambahan, atau berinteraksi dengan rekan kerja di luar kewajiban yang ada.

Fenomena ini lebih mencerminkan masalah mendalam dalam hal keterlibatan karyawan. Para pekerja yang mengalami Quiet Quitting tidak merasa dihargai atau mendapatkan penghargaan yang sesuai dengan kontribusi mereka. Ini adalah bentuk ketidakpuasan yang lebih subtil, tetapi sangat berdampak pada produktivitas dan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Quiet Quitting sering kali berakar pada perasaan teralienasi, diabaikan, atau bahkan merasa bahwa pekerjaan mereka tidak memberikan arti yang lebih besar dalam kehidupan mereka.

Sebagai contoh, dalam industri perhotelan, di mana banyak pekerja muda yang memiliki aspirasi lebih tinggi dan menginginkan perkembangan karier yang lebih cepat, banyak dari mereka yang memilih untuk "berhenti" tanpa benar-benar mundur. Mereka hanya akan melakukan tugas yang mereka anggap sebagai kewajiban, tetapi tidak lebih dari itu. Mereka tidak ingin terlibat dalam kultur organisasi atau memberikan ide baru, yang pada akhirnya berdampak pada menurunnya inovasi dan kualitas pelayanan.

Formica dan Sfodera (2022) menyarankan beberapa solusi yang bisa diambil oleh organisasi untuk mengatasi fenomena ini. Salah satunya adalah dengan menciptakan lingkungan kerja yang lebih menghargai kesejahteraan karyawan, baik secara fisik maupun psikologis. Organisasi perlu lebih peduli terhadap pemenuhan kebutuhan dasar karyawan, serta memberikan peluang bagi mereka untuk berkembang secara profesional. Ini bisa berupa program pelatihan, pengembangan karier, hingga pengakuan terhadap pencapaian individu.

Selain itu, penting untuk menciptakan budaya yang lebih inklusif dan menghargai kontribusi setiap individu, serta memastikan bahwa nilai-nilai pribadi karyawan selaras dengan nilai-nilai organisasi. Dengan kata lain, perusahaan perlu lebih fokus pada menciptakan makna dalam pekerjaan, sehingga karyawan merasa bahwa apa yang mereka lakukan memiliki dampak yang positif tidak hanya bagi diri mereka sendiri, tetapi juga bagi masyarakat atau organisasi secara keseluruhan.

Di samping itu, perusahaan harus memperhatikan pentingnya fleksibilitas kerja, seperti pengaturan waktu kerja yang lebih fleksibel atau peluang untuk bekerja dari rumah, yang semakin penting di era pasca-pandemi ini. Dalam banyak kasus, pekerja tidak hanya mencari gaji yang lebih tinggi, tetapi juga kesempatan untuk memiliki kehidupan pribadi yang lebih baik, yang berarti bahwa kebijakan kerja yang fleksibel menjadi sangat krusial.

Dunia kerja yang ada sekarang memerlukan transformasi yang lebih mendalam. The Great Resignation dan Quiet Quitting bukan sekadar fenomena sementara yang akan hilang seiring waktu. Mereka adalah indikator adanya pergeseran besar dalam cara kita memandang pekerjaan. Organisasi yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini akan semakin terpinggirkan, kehilangan pekerja berbakat dan mengalami penurunan kinerja yang signifikan. Sebaliknya, perusahaan yang mampu merangkul perubahan ini dengan lebih humanis, memberikan ruang bagi karyawan untuk berkembang, serta menekankan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, akan lebih mampu bertahan dan berkembang di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks.

Sebagai kesimpulan, kedua fenomena ini tidak bisa dipandang sebagai masalah individu, tetapi sebagai sinyal bahwa dunia kerja membutuhkan reformasi besar-besaran. Pekerja tidak lagi hanya mencari gaji, tetapi juga makna dalam pekerjaan mereka. Oleh karena itu, perusahaan yang ingin tetap relevan di masa depan harus mampu menanggapi perubahan paradigma ini dengan lebih bijak dan sensitif terhadap kebutuhan serta harapan karyawan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Rion Nofrianda