Dalam beberapa tahun terakhir, kita hidup di tengah gempuran narasi yang mengagungkan produktivitas tanpa henti. Istilah hustle culture muncul untuk menggambarkan gaya hidup di mana seseorang bekerja terus-menerus, sering kali melewati batas waktu normal demi pencapaian profesional.
Bagi sebagian orang, ini dianggap sebagai bentuk dedikasi dan ambisi. Namun, di sisi lain, muncul tekanan psikologis yang cukup besar seperti adanya rasa bersalah saat beristirahat, kecemasan saat tidak bekerja, bahkan ketakutan jika terlihat 'tidak sibuk'. Fenomena ini tidak sekadar persoalan gaya hidup, tapi mencerminkan dinamika psikologis yang kompleks di balik dorongan untuk selalu produktif.
Apa Itu Psikologi Hustle Culture?
Secara umum, hustle culture adalah budaya yang mengagungkan kesibukan, kerja keras berlebihan, dan mengukur keberhasilan seseorang dari seberapa sibuk atau capeknya mereka. Dalam perspektif psikologi, hustle culture berkaitan dengan pembentukan identitas yang sangat terikat pada pencapaian dan performa.
Dikutip dari Sampoerna University (23/07/2022), hustle culture berarti mendorong seseorang untuk bergerak lebih cepat secara agresif. Secara sederhana, hustle culture berarti budaya yang membuat orang bergerak lebih cepat atau agresif, di mana ini terjadi pada dunia kerja.
Didefinisikan sebagai budaya yang mendorong karyawan atau pekerja atau buruh untuk bekerja melebihi jam kerja normal. Mereka bahkan memikirkan pekerjaan ketika memiliki waktu luang, seperti akhir pekan. Budaya ini menuntut mereka untuk menyelesaikan suatu pekerjaan sesuai target dan tepat dengan ritme yang lebih cepat dari biasanya.
Ketika seseorang merasa nilai dirinya hanya ada saat ia bekerja, muncul kondisi psikologis yang disebut sebagai self-worth contingency—harga diri bergantung pada hasil atau kesuksesan. Hal ini bisa memicu stres kronis, perfeksionisme tidak sehat, hingga burnout. Budaya ini seringkali tidak memberikan ruang bagi istirahat, refleksi, dan pemulihan emosional yang esensial bagi kesehatan mental.
Tekanan Sosial dan Media Sosial
Media sosial memperkuat hustle culture melalui tampilan pencapaian tanpa henti. Unggahan tentang “kerja 12 jam sehari”, “mulai bisnis sambil kuliah”, atau “ngopi sambil ngerjain proyek” menjadi norma baru yang dianggap keren dan produktif. Tanpa sadar, kita membandingkan diri dan merasa kurang jika tidak punya aktivitas serupa.
Validasi digital, dalam bentuk likes dan komentar menjadi bahan bakar untuk terus menunjukkan kesibukan, meski itu mengorbankan waktu istirahat dan kesehatan mental.
Ketakutan Akan Ketertinggalan
Salah satu pemicu utama hustle culture adalah ketakutan tertinggal, terutama di tengah kompetisi kerja yang semakin tinggi dan standar sosial yang kian tak realistis. Banyak orang merasa jika mereka tidak bekerja ekstra, mereka tidak akan mampu 'mengejar' seperti membeli rumah, punya karier stabil, atau hidup layak.
Ketakutan inilah yang mendorong individu untuk terus menumpuk pekerjaan dan proyek, bahkan di luar jam kerja. Padahal, ritme seperti ini hanya akan mendorong kita menuju kelelahan dan kehilangan arah.
Ketika Istirahat Jadi Sumber Rasa Bersalah
Ironisnya, ketika kita memiliki waktu luang atau mencoba beristirahat, muncul rasa bersalah karena merasa "tidak melakukan apa-apa." Ini adalah dampak dari internalisasi hustle culture yang membuat kita merasa tidak berharga jika tidak produktif. Padahal, istirahat adalah bagian penting dari siklus produktivitas yang sehat. Jika dibiarkan, rasa bersalah ini dapat mengikis kebahagiaan, mengganggu relasi sosial, dan menciptakan tekanan internal yang konstan.
Hustle culture telah menciptakan ilusi bahwa hidup harus selalu penuh kesibukan agar bernilai. Padahal, kesehatan mental, relasi yang hangat, dan keseimbangan hidup jauh lebih penting daripada sekadar terlihat sibuk.
Psikologi hustle culture mengajak kita untuk memahami bahwa produktivitas tidak selalu berarti bekerja terus-menerus. Terkadang, diam dan berhenti sejenak justru merupakan bentuk keberanian untuk merawat diri. Sudah saatnya kita bIisa memahami, apakah produktivitas kita masih sehat, atau justru menjadi bentuk lain dari pelarian?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Grup 'Fantasi Sedarah', Alarm Bahaya Penyimpangan Seksual di Dunia Digital
-
Neural Fatigue: Kelelahan Kognitif Akibat Terpapar Stimulus Berulang
-
Fleksibilitas dan Kecemasan: Potret Gen Z Hadapi Realita Dunia Kerja
-
Ketika AI Mengadopsi Jawaban User dan Hobi 'Menjilat'
-
Ulasan The Midnight Library: Petualangan di Perpustakaan Mencari Arti Hidup
Artikel Terkait
-
Menyingkap Makna Tersembunyi di Balik Great Resignation dan Quiet Quitting
-
Kepuasan Kerja di Persimpangan Etika dan Tekanan Psikologis
-
Etika yang Hilang, Mengapa Tim Kompak Bisa Saling Menikam?
-
Bangun Kesadaran Self-Compassion, Psikologi UNJA Adakan Lomba dan Seminar
-
Mahasiswa Psikologi UNJA Tanggapi Darurat Pelecehan Seksual Lewat MindTalks
Kolom
Terkini
-
Stefano Lilipally Comeback ke Timnas dan Peluang Main di Usianya yang Senja
-
Tak Hanya Shayne Pattynama, 3 Pemain Naturalisasi Timnas yang Pilih Berkarir ke Asia
-
Baekhyun EXO 'Elevator': Lagu Genit dan Boyish saat Cinta Pandangan Pertama
-
Dekati Waktu Pertarungan, Pelatih Malaysia Berikan "Ancaman Tambahan" kepada Kubu Vietnam
-
Malaysia Masters 2025 Day 1: Dua Wakil Ganda Putri Lolos ke Babak Kedua