Pemerintah kembali menyusun Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk tahun 2026. Seperti biasa, janji efisiensi kembali digaungkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan bahwa efisiensi anggaran tetap menjadi fokus utama, sambil menyesuaikan belanja negara dengan delapan agenda prioritas nasional (Asta Cita) dari Presiden Prabowo.
Target pertumbuhan ekonomi pun dipatok ambisius: antara 5,2% hingga 5,8%, dengan defisit anggaran maksimal 2,48% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Kalau dibaca sepintas, semuanya terdengar ideal. Kedengerannya rapi dan penuh perhitungan.
Tapi kalau kita kulik lebih dalam, ada beberapa tanda tanya besar yang perlu kita obrolin bareng. Karena efisiensi itu gampang diucapin, tapi seberapa realistis eksekusinya kalau ambisinya segede langit tapi dompet negara masih cekak?
Pertama, kita bahas target pertumbuhan ekonomi 5,2%–5,8%. Target ini sebenarnya bukan hal baru. Selama beberapa tahun terakhir, Indonesia selalu menargetkan angka pertumbuhan di atas 5%.
Tapi kenyataannya? Menurut BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2023 tercatat 5,05%. Nyaris di batas bawah target. Tahun 2024 pun diprediksi gak jauh-jauh amat dari situ.
Dengan tekanan global yang belum mereda, seperti perang dagang, inflasi, suku bunga tinggi, dan perubahan iklim, memaksakan target pertumbuhan ekonomi yang agresif itu seperti memaksa naik roller coaster yang belum diuji kelayakan. Bisa-bisa bukan naik, tapi anjlok di tengah jalan.
Efisiensi dalam anggaran negara idealnya berarti uang rakyat digunakan tepat sasaran, tanpa kebocoran, tanpa belanja aneh-aneh, dan hasilnya bisa dirasakan langsung. Tapi, sayangnya, dalam praktiknya “efisiensi” sering disalahartikan jadi “ngiritin rakyat, bukan pejabat.”
Contohnya? Ketika subsidi pendidikan dipangkas, tapi dana kunjungan kerja pejabat tetap jalan. Ketika fasilitas kesehatan di daerah minim, tapi pengadaan mobil dinas tetap diproses. Bahkan ketika masyarakat butuh bantuan langsung, tapi anggarannya malah nyangkut di proyek mercusuar yang gak mendesak.
Jadi kalau hari ini kita denger "efisiensi anggaran", pertanyaannya, efisiensi buat siapa? Apakah benar dipangkas dari pos-pos pemborosan? Atau justru masyarakat kecil yang disuruh maklum kalau anggarannya dikurangi lagi?
Nah, bagian menarik lain dari RAPBN 2026 adalah soal penyesuaian dengan Asta Cita, delapan agenda prioritas dari Presiden Prabowo. Di atas kertas, cita-cita ini kelihatan indah, ada makan siang gratis, asuransi kesehatan, pertahanan kuat, hilirisasi industri, sampai pembangunan desa.
Program makan siang gratis aja, menurut perhitungan awal, bisa memakan lebih dari Rp400 triliun per tahun kalau diterapkan penuh. Itu hampir seperlima dari total belanja negara 2024. Gak heran banyak ekonom bilang, “Kalau beneran mau jalan, harus ada pengorbanan besar atau utang besar.”
Jadi, ketika Menkeu bilang efisiensi tetap dijaga, tapi juga bilang anggaran akan menyesuaikan Asta Cita, rasanya kayak nonton orang mau naik sepeda dan motor bersamaan. Kaki satu di pedal sepeda, kaki lain nginjek gas motor. Bisa jalan? Mungkin. Tapi bisa juga nyungsep.
Kadang kita terlalu terpesona dengan angka-angka. 5,2% pertumbuhan, 2,48% defisit, triliunan rupiah di sana-sini. Tapi jangan lupa bahwa APBN itu bukan cuma angka di Excel. Itu adalah cermin dari prioritas moral negara.
Kita harus nanya, apakah APBN 2026 akan menyejahterakan petani yang gagal panen karena cuaca ekstrem? Apakah akan memperbaiki nasib guru honorer yang masih dibayar di bawah UMR? Apakah akan memberikan ruang aman bagi anak muda buat berkembang, bukan hanya melalui startup atau UMKM yang tren sesaat, tapi lewat pendidikan, riset, dan sistem sosial yang suportif?
Kalau jawabannya “belum tentu”—ya, berarti kita harus tetap kritis. Karena negara yang baik bukan yang punya APBN gede, tapi yang tahu persis buat apa dan siapa uang itu digunakan.
Jadi yuk, mulai biasakan nanya, RAPBN ini beneran buat rakyat, atau cuma buat jadi panggung sandiwara politik lima tahunan?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Revisi KUHAP: Jurang Baru Antara Kewenangan Aparat dan Hak Warga Negara
-
Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
-
Krisis Empati: Mengapa Anak-Anak Tidak Lagi Tahu Caranya Berbelas Kasih?
-
Kota Tanpa Trotoar: Indonesia untuk Mobil, Bukan Manusia?
-
Arogansi Politik vs Sains: Ahli Gizi Dibungkam di Forum MBG
Artikel Terkait
-
Ikut Nakba Day di Bangkok, Partai Gelora Ungkit Ucapan Prabowo: Warga Palestina Butuh Aksi Nyata
-
Dijanjikan Prabowo saat May Day, Tokoh Buruh Marsinah Batal Dapat Gelar Pahlawan Tahun Ini, Kenapa?
-
Sri Mulyani Kritik SDM Indonesia Rendah, Pendidikan dan Budaya Kerja Jadi Biangkerok?
-
Bimo Wijayanto Dipanggil Prabowo ke Istana: Dirjen Pajak Baru?
-
Rosan Roeslani Buka-bukaan di Hadapan Prabowo: Danantara Siap Genjot Investasi di Sektor Strategis!
Kolom
-
Filosofi Menanam Bunga Matahari untuk Tumbuh di Tengah Quarter Life Crisis
-
Meraba Realita Musisi Independen yang Hidup dari Gigs Berbayar Seadanya
-
Mahasiswa Melek Literasi: Gerakan Kecil yang Bikin Dampak Besar
-
Revisi KUHAP: Jurang Baru Antara Kewenangan Aparat dan Hak Warga Negara
-
Partisipasi Publik Palsu: Strategi Komunikasi di Balik Pengesahan Revisi KUHAP
Terkini
-
3 Flat Shoes di Bawah 200 Ribu yang Bikin Look Makin Chic
-
IDID Melawan Batasan dan Tetap Jadi Diri Sendiri di Lagu Terbaru, Push Back
-
Bikin Wangi Seharian! 3 Parfum Pria Cocok Banget Buat Kado Pacar
-
Segera Diumumkan, Pelatih Baru Skuat Garuda Harus Rela Dirundung Standar Tinggi Warisan STY
-
Sinopsis Bison: Kaalamaadan, Film India Terbaru Dhruv Vikram di Netflix