Apakah kamu termasuk orang yang senang melakukan aktivitas sendirian? Tenang, kamu tidak aneh dan justru hal itu adalah hal yang wajar terjadi dalam hidup seseorang.
Terkadang di masyarakat fenomena tersebut memang sering menimbulkan penasaran, keanehan bahkan stigma tentang seseorang yang asyik makan sendirian di restoran, menjelajahi tempat wisata tanpa ditemani, atau menonton bioskop seorang diri.
Bagi sebagian besar orang, melakukan aktivitas sendirian sering kali disamakan dengan kesepian atau kegagalan bersosialisasi.
Padahal, fenomena ini, yang dilakukan oleh banyak individu sebagai pilihan sadar, justru merupakan indikasi kuat dari kemandirian emosional dan tingkat kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi.
Titik kunci dari kecenderungan menyukai aktivitas solo adalah pelepasan dari ketergantungan validasi sosial. Kebanyakan orang membutuhkan kehadiran teman untuk merasa nyaman, valid, atau terhibur saat melakukan kegiatan publik.
Mereka yang terbiasa menikmati kesendirian telah melewati tahap tersebut. Mereka nyaman dengan pikiran mereka sendiri dan tidak membutuhkan kebisingan atau percakapan untuk merasa terhubung.
Kemampuan untuk menenangkan diri, menghibur diri, dan merasa cukup dengan kehadiran diri sendiri ini adalah ciri khas dari EQ yang tinggi. Mereka memahami dan menerima emosi mereka tanpa perlu diakui oleh orang lain.
Selain kemandirian emosional, kecenderungan solo activity mencerminkan kemampuan melihat value intrinsik dalam pengalaman itu sendiri.
Ketika kamu makan sendirian, perhatianmu tentu sepenuhnya tertuju pada rasa makanan, tekstur, dan pengalaman kuliner yang disajikan.
Ketika kamu berjalan di taman kota sendirian, kamu benar-benar melihat arsitektur, dinamika pejalan kaki, atau detail bangunan, tanpa harus membagi fokus untuk menanggapi obrolan.
Perhatianmu terfokus pada esensi pengalaman, bukan pada dinamika sosial di sekitarnya. Orang-orang ini memprioritaskan kualitas input (apa yang mereka serap dari lingkungan) di atas output (apa yang mereka tampilkan ke orang lain), sebuah tanda kedewasaan dan kesadaran diri yang tinggi.
Lebih jauh lagi, memulai aktivitas solo, apalagi yang menantang seperti solo travelling ke tempat asing, adalah pembangun kekuatan mental.
Hal ini menuntut kepercayaan diri, kemampuan memecahkan masalah tanpa bantuan, dan keberanian untuk menghadapi hal tak terduga sendirian.
Mereka yang mampu melakukannya menunjukkan bahwa mereka memiliki self-efficacy yang tinggi, keyakinan pada kemampuan diri sendiri. Mereka tidak takut pada ketidakpastian karena mereka percaya pada sumber daya internal mereka.
Uniknya, kemandirian dalam kesendirian ini justru berefek positif pada kualitas hubungan interpersonal mereka dengan orang lain di sekitarnya.
Bagi mereka yang telah menemukan kenyamanan dan kepuasan secara internal (melalui refleksi dan aktivitas solo), hubungan seperti kekeluargaan, persahabatan, pertemanan, dan berbagai hubungan lainnya tidak lagi bersifat transaksional.
Mereka tidak lagi mendekati orang lain dengan pertanyaan tersirat, "Apa yang bisa kamu berikan padaku?" atau "Bagaimana kamu bisa mengisi kekosongan emosiku?".
Karena kekosongan emosional telah diisi oleh diri sendiri, kebutuhan akan dukungan emosional, rasa aman, atau validasi dari luar menjadi berkurang.
Hubungan yang mereka bangun adalah murni berdasarkan koneksi tulus, nilai bersama, dan kasih sayang yang jujur, bukan berdasarkan kemanfaatan, kewajiban sosial, atau barter emosional. Ini memungkinkan mereka untuk memiliki persahabatan yang lebih autentik dan mendalam.
Kesendirian yang disengaja ini juga dapat menjadi bentuk self-care yang penting bagi diri sendiri, memberikan ruang bagi refleksi mendalam, menumbuhkan kreativitas, dan mengisi ulang baterai mental dari kelelahan sosial.
Pada intinya, kesendirian yang dilakukan secara sadar bukanlah sinyal bahwa seseorang itu kesepian. Sebaliknya, itu adalah bentuk kemerdekaan emosional dan bukti kecerdasan seseorang yang memilih untuk menggunakan waktunya untuk introspeksi dan menikmati esensi hidup tanpa perlu persetujuan atau kehadiran orang lain.
Baca Juga
-
Bukan Sekadar Membaca: Kebijakan Resensi dan Literasi Kritis di Sekolah
-
Moderate Reader: Indonesia Peringkat Ke 31 Negara Paling Giat Membaca Buku
-
Jarak dan Trauma: Pentingnya Komunikasi Efektif dalam Novel Critical Eleven
-
Perjuangan untuk Hak dan Kemanusiaan terhadap Budak dalam Novel Rasina
-
Paradoks Literasi Gen Z: Mengapa Minat Baca Tinggi tapi Pemahaman Rendah?
Artikel Terkait
-
Bed Rotting Jadi Tren Self-Care buat Gen Z, Sehat atau Nggak Sih?
-
Bukan Cuma Soal Mandiri, Ini 5 Seni Menikmati Hidup Saat Tinggal Sendiri
-
Biar Nggak Gampang Mental Breakdown, Ini 4 Jurus Problem Solving yang Wajib Kamu Kuasai!
-
Selalu Terlihat Bahagia, Ivan Gunawan Ternyata Sering Merasa Hampa: Capek Tapi Gak Ada Obatnya
-
Dari Healing ke Hustling: Gaya Hidup Anak Muda yang Terjebak Produktivitas
Kolom
-
25 November Punya Dua Penanda, Guru dan Keberanian Perempuan
-
Guru Sudah Berjuang, Lalu Siapa yang Belum Hadir dalam Pendidikan Kita?
-
The Let Them Theory: Self-Healing untuk Kamu yang Sering Overthinking!
-
Ironi Hari Guru: Ketika Cokelat Murid Dianggap Ancaman Gratifikasi
-
Kegagalan Sistem: Mengkritisi Pernyataan Mendikdasmen soal Nilai TKA
Terkini
-
Sugar Baby: Davina Karamoy Jadi Penggoda, Adipati Dolken Kena Imbasnya
-
Luna Maya Siapkan Nama Anak Bertema Alam, Ungkap Rencana Hamil Tahun Depan!
-
Kulit Sensitif dan Berjerawat? 4 Phycisal Sunscreen SPF 30 Anti-Whitecast
-
6 Jenis Makanan Terbaik untuk Mencegah Tulang Rapuh di Masa Depan
-
Inara Rusli Terseret Isu Orang Ketiga, Reaksi Mantan Mertua Jadi Sorotan