Sekar Anindyah Lamase | Athar Farha
Netflix (Netflix)
Athar Farha

Kasus seorang warga Bekasi yang melaporkan Netflix karena memuat konten dewasa sebetulnya bukan sekadar isu lucu-lucuan yang ramai di media sosial.

Di balik cerita yang terdengar absurd itu, ada problem jauh lebih besar, yakni minimnya pemahaman masyarakat tentang bagaimana platform digital bekerja dan bagaimana tanggung jawab pengguna itu seharusnya dibangun di era internet yang makin canggih.

Di zaman ketika internet sudah menjadi ruang publik kedua (bahkan bagi sebagian orang: ruang publik utama) aturan mainnya sebenarnya sudah sangat jelas.

Netflix, misalnya, bukan sekadar aplikasi nonton film. Ini tuh layanan global dengan regulasi rating yang ketat, sistem pengawasan orang tua, kontrol PIN, profil anak yang sepenuhnya terkurasi, hingga pembatasan judul. Bahkan langkah-langkah pengamanan yang mereka sediakan jauh melebihi stasiun TV lokal yang tayang 24 jam tanpa filter personal.

Artinya, sejak awal Netflix sudah menyerahkan ‘kendali kemudi’ ke tangan pengguna. Terserah mau dipakai atau nggak. Dan seperti banyak hal dalam hidup, alat keamanan hanya berguna kalau benar-benar digunakan.

Inilah akar masalah yang paling sering terjadi, bukan hanya soal Netflix, tapi semua platform digital. Orang tua nggak mengunci profil, nggak mengatur batasan usia, nggak memfilter tontonan, lalu ketika anak atau dirinya sendiri menemukan konten dewasa yang disalahkan justru platformnya.

Padahal kalau bicara jujur, konten dewasa di platform streaming itu bukan jebakan, bukan hantu yang tiba-tiba nongol di profil anak, dan bukan sesuatu yang ‘tanpa sengaja muncul’.

Film 365 Days: This Day atau Film A Girl + A Guy bahkan sejak posternya saja sudah terlihat jelas ini konten dewasa, 18+, eksplisit, bukan konsumsi keluarga. Untuk bisa menontonnya, seseorang harus meng-klik judul itu, masuk ke halaman filmnya, membaca atau melewati ratingnya, dan menekan tombol Play. Nggak mungkin film-film tersebut ‘terputar sendiri’ tanpa interaksi pengguna.

Karena itu, ketika ada orang menonton film 18+ secara sadar lalu merasa keberatan, ini bukan masalah algoritma. Ini masalah kurangnya kebiasaan membaca informasi dasar yang disediakan.

Masyarakat di sini (kayaknya) punya kecenderungan unik dalam menyikapi hal yang nggak cocok, alih-alih mencari tahu cara mengelola, solusinya langsung ‘blokir saja’. Bukan edukasi, bukan literasi digital, bukan pembinaan orang tua, tapi pemutusan akses massal. Pola pikir ini membuat internet terasa semakin sempit dan pengguna semakin nggak cakap mengatur teknologi. 

Ini jadi semakin absurd ketika permintaan pemblokiran itu diajukan untuk seluruh masyarakat, hanya karena satu orang menemukan dua film yang dianggap nggak pantas.

Yang sering dilupakan, anak-anak di era digital lahir dengan kecepatan belajar yang luar biasa. Mereka bisa mengoperasikan gawai bahkan sebelum bisa membaca. Itu sebabnya orang tua harus lebih cepat, lebih paham, dan lebih terlibat. Bukan malah percaya bahwa teknologi bisa mendidik sendiri tanpa campur tangan. Netflix bukan babysitter dan gadget bukan pengasuh otomatis.

Kalau orang tua nggak mengatur profil, nggak mengaktifkan PIN, nggak membatasi usia tontonan, maka risiko konten dewasa bisa ditemui di mana saja, bahkan di YouTube atau TikTok yang jauh lebih mudah diakses daripada Netflix. Jadi, kalau logikanya ‘blokir karena berbahaya’, maka seluruh internet seharusnya ditutup. Dan itu jelas mustahil.

Karena itu, laporan-laporan seperti ini memang terdengar menggelikan, tapi sebenarnya jauh lebih menyedihkan. Ini menunjukkan betapa literasi digital kita belum mengikuti perkembangan teknologi.

Negara lain sudah mengajarkan digital parenting, keamanan siber, dan kemampuan memilih konten sejak pendidikan dasar. Sementara kita masih berkutat di perdebatan lama: ini salah platform atau salah pengguna?

Setiap orang berhak melapor bila merasa terganggu. Itu sah. Namun, meminta pemblokiran nasional tanpa mempertimbangkan fitur keamanan yang sudah tersedia menandakan kegagalan memahami tanggung jawab personal dalam dunia digital.

Analoginya sederhana. Misalnya, ketika masuk toko buku, dan melihat ada rak buku dewasa, bukan tokonya yang harus ditutup lho, tapi kita yang harus tahu mana rak yang ingin kita buka.

Akhirnya, semua bermuara pada satu prinsip yang harus kita pahami bersama: internet itu luas. Sangat luas. Nggak semua ruang harus cocok untuk semua usia. Nggak semua konten harus nyaman bagi semua orang. Dan nggak semua selera layak dijadikan standar universal.

Yang dewasa tetap ada, yang ramah anak tetap ada. Tugas pengguna adalah memilih, bukan meminta dunia diubah hanya karena sesuatu terasa kurang nyaman.

Dan ya Sobat Yoursay, mau nggak mau pelajaran pentingnya tetap sama: kasus-kasus seperti ini memang lucu kalau dibaca, tapi sekaligus menunjukkan PR besar kita soal edukasi digital. Karena kalau setiap ketidaknyamanan diselesaikan dengan laporan dan pemblokiran, internet lama-lama tinggal kartun, tutorial slime, dan video kucing. Itu pun mungkin suatu hari ada yang melaporkan juga. Ups. 

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS