Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi dilarang merokok (Pexels/Graphixchon)

Setiap 31 Mei, kita rutin memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia. Tapi mari jujur: berapa banyak dari kita yang benar-benar merasa tanggal itu relevan? Di tengah gegap gempita promosi gaya hidup sehat, iklan vape rasa stroberi dan rokok mint tetap merajalela, menyusup ke algoritma anak-anak muda lebih licin dari kodok kena minyak.

Dunia, termasuk Indonesia, sedang di-prank oleh industri yang lihai memoles racun jadi keren. Rokok bukan sekadar lintingan tembakau, tapi simbol dari ironi sosial: kita tahu ia membunuh, tapi tetap dijual di minimarket sebelah Taman Kanak-Kanak.

Tahun ini, WHO membawa tema "Unmasking the Appeal"—membuka topeng daya tarik tembakau. Slogan ini seakan menyuruh kita jadi detektif kesehatan publik: melihat melampaui iklan, rasa buah palsu, dan warna kemasan yang lebih mirip permen daripada produk mematikan.

Nyatanya, 8 juta jiwa per tahun melayang karena rokok, dan hanya seperlima dari seluruh manusia yang hidup di planet ini benar-benar terlindungi oleh kebijakan antitembakau yang ketat. Selebihnya? Jadi target pasar empuk.

Topeng ini tak hanya menutupi fakta, tapi juga menyembunyikan niat: keuntungan. Dalam balutan CSR dan jargon keberlanjutan, industri tembakau menari di atas kuburan publik.

Ironisnya, kita membiarkan anak muda melihat rokok sebagai gaya, bukan bencana. Hari Tanpa Tembakau seharusnya bukan ajang simbolik belaka, melainkan waktu untuk melucuti strategi yang membungkus kematian dalam rasa mint dan berry.

Saatnya kita buka kedok itu. Karena nyawa manusia bukan barang diskon. Dan masa depan anak-anak kita bukan ruang iklan nikotin.

Taktik Manis dalam Racun yang Harus Kita Cermati

Coba intip akun media sosial anak-anak zaman sekarang. Banyak yang lebih tahu rasa rokok elektrik "mango ice" ketimbang rasa buah mangga sungguhan. Ini bukan kebetulan.

Industri tembakau telah memanfaatkan teknik pemasaran era digital dengan sangat canggih—berkolaborasi dengan influencer, menyelipkan produk dalam konten, dan membuat rokok terlihat seperti fashion item ketimbang alat pembunuh pelan-pelan. Bahkan algoritma platform digital tampak seperti sahabat karib para pemasar nikotin.

Rokok berperisa bukan sekadar soal variasi rasa. Ia adalah pintu gerbang menuju kecanduan. Rasa mint dan berry bukan hanya menyamarkan bau, tapi juga menyamarkan bahaya.

Anak-anak remaja lebih mudah menerima rokok yang terasa seperti permen daripada yang pahit dan keras seperti tembakau konvensional. Ini semacam modus: berikan rasa manis di awal, lalu jebak dengan nikotin selamanya.

Penelitian mutakhir (Birdsey et al., 2023) menunjukkan bahwa mayoritas remaja pengguna rokok elektrik memang memilih varian rasa. Itu artinya, jika rasa itu dilarang, potensi konsumsi bisa ditekan drastis.

Tapi industri tentu tidak tinggal diam. Mereka pandai bersembunyi di balik klaim-klaim palsu soal "mengurangi bahaya" atau "mendukung perokok dewasa". Padahal target utamanya adalah remaja.

Kita harus jujur melihat wajah ini. Ketika produk mematikan dibungkus seperti permen, yang harus bertindak bukan hanya orang tua dan guru, tapi juga negara. Karena ini bukan semata soal selera, melainkan strategi kolonialisme baru: menguasai paru-paru generasi muda.

Ketika Sekolah dan Komunitas Gagal Menjadi Benteng

Sekolah sering disebut sebagai benteng terakhir pendidikan karakter. Tapi ketika rokok sudah menyelinap lewat celah seragam dan grup WhatsApp siswa, benteng ini mulai keropos.

Kita tidak bisa berharap pada razia rutin dan spanduk peringatan saja. Dibutuhkan pendekatan yang lebih dalam, menyentuh hati dan logika anak muda, bukan sekadar menakut-nakuti dengan gambar paru-paru gosong di bungkus rokok.

Intervensi berbasis sekolah dan komunitas memiliki potensi besar untuk mengubah sikap remaja terhadap tembakau. Program edukasi yang melibatkan teman sebaya (peer-led) terbukti efektif, karena anak muda lebih percaya teman daripada guru atau pejabat.

Tapi masalahnya, banyak sekolah masih kaku, menyampaikan pesan antitembakau seperti membaca diktat usang. Bagaimana mau menyaingi iklan rokok yang tampil seperti video musik K-pop?

Kita perlu menyulap edukasi menjadi dialog yang relevan. Libatkan alumni, influencer lokal, bahkan pelaku yang pernah terjebak rokok, untuk berbicara jujur.

Jadikan komunitas sekolah sebagai ruang resistensi terhadap propaganda nikotin, bukan sekadar ruang kelas yang penuh larangan. Jika tidak, anak-anak akan terus merasa rokok itu keren dan larangan itu hanya formalitas.

Alsahli et al. (2025) menyarankan kombinasi pendekatan edukatif dan kebijakan struktural. Artinya, edukasi tanpa dukungan lingkungan yang bersih dari iklan rokok tak akan berhasil. Sekolah dan komunitas bukan hanya penyampai pesan, tapi juga pencipta atmosfer yang bebas dari asap dan tipu daya.

Kebijakan yang Gagah di Atas Kertas, Pincang di Lapangan

Kita punya banyak peraturan soal tembakau: larangan iklan, pelarangan merokok di ruang publik, kenaikan cukai. Tapi berapa yang benar-benar ditegakkan?

Di banyak daerah, merokok di halte masih dianggap hal lumrah. Bahkan ada warung sebelah sekolah yang menjual rokok ketengan, tanpa sedikit pun rasa bersalah. Hukum jadi aksesoris yang hanya dipakai saat rapat dinas.

Peningkatan pajak tembakau memang terbukti efektif menurunkan konsumsi (Bi, 2024), tapi kalau kenaikannya setipis kulit bawang dan tetap terjangkau bagi kantong remaja, apa gunanya?

Kita perlu kebijakan yang bukan cuma menggertak, tapi menggigit. Naikkan harga setinggi langit kalau perlu, dan larang total rokok berperisa. Kalau bisa negara melarang permen impor demi “kesehatan gigi”, kenapa tak bisa melarang rokok rasa buah?

Masalah lainnya adalah pengawasan. Banyak kebijakan bagus di pusat, tapi longsor di daerah. Kurangnya sumber daya, kolusi, atau sekadar ketidakpedulian membuat regulasi ibarat kaleng kosong.

Kita butuh mekanisme pengawasan yang tak hanya bertumpu pada birokrat, tapi juga partisipasi masyarakat. Karena kalau hanya mengandalkan aparat, kita akan terus dikejar asap.

Harus ada keberanian politik untuk menantang kekuatan industri tembakau. Jangan sampai pejabat yang bicara soal kesehatan di depan kamera adalah orang yang sama yang menerima dana CSR dari produsen rokok di belakang layar. Kalau hukum jadi topeng, siapa yang buka topengnya?

Saatnya Kita Bicara Soal Hak, Bukan Cuma Risiko

Seringkali kampanye antitembakau terjebak pada narasi risiko: risiko kanker, risiko jantung, risiko kematian. Tapi kita lupa bahwa ini bukan hanya soal menghindari bahaya, melainkan menuntut hak dasar: hak untuk hidup sehat. Ketika anak-anak dijejali iklan rokok sejak kecil, itu bukan lagi pilihan pribadi, tapi hasil dari manipulasi sistemik.

Hak anak untuk tumbuh di lingkungan bebas asap harus menjadi prioritas. Ini bukan soal moralitas individual, tapi keadilan sosial.

Kenapa anak di kota besar punya akses ke sekolah bebas rokok, tapi anak di desa terpaksa belajar di dekat warung yang menjual rokok eceran? Ketimpangan ini mencerminkan bagaimana kebijakan kita masih menempatkan industri di atas hak publik.

Kita perlu memikirkan ulang hak-hak konsumen, terutama generasi muda. Hak untuk tidak disasar iklan racun, hak untuk tidak dijadikan objek eksperimen rasa, hak untuk tidak dikorbankan demi laba perusahaan. Tembakau bukan sekadar isu kesehatan, tapi juga hak asasi manusia.

Dan yang terpenting, hak untuk mendapatkan informasi yang jujur. Jika label rokok penuh dengan gambar horor, kenapa iklannya bisa tampil ceria? Ini paradoks yang hanya bisa dijawab dengan membongkar topeng industri: mereka ingin kita takut pada penyakit, tapi tetap tertarik pada kemasan. Saatnya balikkan logikanya.

Menyingkap Asap, Menyusun Harapan

Setiap batang rokok yang dinyalakan bukan cuma membakar paru-paru, tapi juga membakar masa depan. Kita tak bisa terus membiarkan generasi muda tumbuh dalam ilusi. Industri tembakau terlalu lama dibiarkan bersolek tanpa dibongkar wajah aslinya. Hari Tanpa Tembakau seharusnya jadi momen untuk mengubah arah—bukan sekadar kampanye, tapi perlawanan.

Perlawanan ini bukan hanya soal larangan, tapi juga soal keberanian membela hak hidup sehat. Membela anak-anak dari jebakan rasa dan asap. Dan membela masyarakat dari tipu daya kemasan. Kita sudah tahu bahayanya, saatnya bertindak. Bukan setahun sekali, tapi setiap hari.

Bayangkan jika kebijakan benar-benar ditegakkan, sekolah jadi benteng edukasi, komunitas jadi ruang aman, dan media digital tak lagi jadi ladang iklan rokok. Itu bukan utopia, tapi hak yang harus diperjuangkan. Dunia tanpa rokok bukan dunia yang steril, tapi dunia yang lebih adil.

Karena nyawa bukan komoditas. Dan kesehatan bukan produk sampingan dari pertumbuhan ekonomi. Saatnya kita buka topengnya—dan hirup udara yang benar-benar bebas.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yudi Wili Tama