Ada yang hilang secara diam-diam dari rencana anggaran tahun depan, dan sayangnya, itu adalah literasi. Berdasarkan data Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2026, program Perpustakaan dan Literasi dipangkas secara drastis.
Dilansir dari Notes on Nusantara, dari daftar program K/L dari KEM PPKF 2026, sebagian besar program mengalami pengurangan anggaran.
Dari 109 program, 85 program mengalami pengurangan anggaran, 4 program beranggaran sama atau bersifat baru, serta 20 program mengalami penambahan anggaran.
Hal yang menjadi perhatian dalam persoalan ini adalah terdapat beberapa program yang dirasa memiliki urgensi tinggi, namun malah anggarannya berkurang lebih dari setengahnya, bahkan terdapat program yang anggarannya Rp0, salah satunya adalah program Perpustakaan dan Literasi.
Jumlah anggaran dari Rp459,6 miliar pada APBN tahun 2025 menjadi hanya Rp0,1 miliar saja pada tahun 2026 hampir saja mencapai angka Rp0.
Angka ini mengejutkan, bukan hanya karena besarnya selisih, tetapi karena yang dikorbankan adalah salah satu fondasi utama pembangunan sumber daya manusia yaitu minat baca dan akses terhadap bacaan.
Seolah-olah literasi tidak lagi penting, atau setidaknya tidak mendesak untuk dibiayai. Padahal dalam beberapa tahun terakhir banyak data yang menyebutkan tingkat literasi masyarakat Indonesia tergolong sangat rendah.
Padahal, kita semua tahu, krisis literasi di Indonesia bukan hal baru. Data-data sebelumnya juga menunjukkan rendahnya minat baca masyarakat, akses terbatas ke bahan bacaan berkualitas, serta rendahnya dukungan terhadap perpustakaan, terutama di daerah-daerah.
Dengan adanya pemotongan ini justru bisa memperlebar jurang kesenjangan antara pusat dan pinggiran, antara yang bisa mengakses bacaan, dan yang tidak pernah diberi kesempatan.
Indonesia masih sangat minim ruang-ruang literasi dan perpustakaan yang memadai dengan bahan bacaan yang berkualitas khususnya di daeah-daerah tertinggal.
Hal ini sering kali menimbulkan kesenjangan antara daerah yang memang memiliki akses bagus dengan yang masih kurang, Namun jika anggarannya saja semakin kecil. Apakah bisa untuk mengatasi kesenjangan tersebut?
Apa jadinya negara yang mengaku ingin berdaya saing di tingkat global, tapi enggan berinvestasi pada literasi? Padahal sejatinya membaca adalah investasi terbesar.
Jika generasi muda bangsa didukung dengan akses literasi yang baik, maka tidak menutup kemungkinan akan melahirkan generasi yang mampu berpikir kritis dan tidak mudah terpropaganda.
Perpustakaan dan program literasi bukan sekadar tempat menyimpan buku saja. Mereka adalah ruang tumbuhnya imajinasi, analisis kritis, dan kemampuan memahami dunia.
Di sekolah-sekolah, perpustakaan seharusnya menjadi jantung dari pembelajaran, bukan sekadar ruang kosong berisi buku-buku usang.
Di komunitas pun demikian, sebuah ruang baca bisa menjadi tempat belajar informal, ruang diskusi dan berbagi informasi, bahkan pelarian sehat dari kesibukan hidup yang itu-itu saja.
Ketika negara mengabaikan program literasi, lantas siapa yang akan mengisi kekosongan itu? Masyarakat sipil? Komunitas? Relawan? Ya, mungkin mereka akan tetap bergerak, tapi dampaknya tidak akan sebanding dengan kekuatan sistemik dari program negara.
Bagaimanapun negara juga memiliki peran paling besar dalam hal ini. Karena tanpa dukungan dari negara mana mungkin masyarakat akan bisa maju jika akses terhadap bacaan berkualitas pun terbatas.
Ironisnya lagi, saat wacana peningkatan kualitas pendidikan terus digembar-gemborkan, justru program pendukung utamanya ini malah dikebiri.
Ini menunjukkan bahwa komitmen terhadap pendidikan belum sepenuhnya utuh. Kita masih terjebak dalam pandangan sempit bahwa pendidikan hanya tentang ruang kelas dan ujian, bukan tentang akses terhadap sumber pengetahuan yang lebih luas.
Saya paham mungkin anggaran negara terbatas dan perlu dibagi-bagi untuk program lainnya. Tapi rasanya untuk memotong anggaran perpustakaan dan literasi secara drastis seperti ini bukan solusi terbaik dalam melakukan efisiensi.
Kini, yang perlu ditanyakan bukan hanya mengapa anggaran ini dipotong, tapi apa pesan yang ingin disampaikan negara kepada rakyatnya?
Apakah kita harus puas dengan literasi seadanya, dan membiarkan generasi mendatang tumbuh dalam kekosongan bacaan yang layak?
Kalau benar kita ingin masyarakat berpikir kritis, melek informasi, dan cerdas dalam menyaring wacana, maka program seperti perpustakaan dan literasi seharusnya diperkuat, bukan diabaikan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Adaptasi Novel Menjadi Film: Versi Baru atau Justru Kehilangan Makna?
-
Review Novel Astravalor Princess: Saat Dunia Nyata dan Astral Tak Ada Batas
-
Eksistensi Novel Populer: Ketika Karya Fiksi Menjadi Cerminan Kehidupan
-
Review Buku Steal Like an Artist: Bukan Plagiat, tapi Seni Kreativitas
-
Melampaui Stigma: Menempatkan Buku Kiri dalam Perspektif Literasi
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku One in a Millennial: Refleksi Kehidupan dalam Budaya Pop
-
Ketika Tubuh Menjadi Doa: Refleksi dalam In The Hands of A Mischievous God
-
Ulasan Novel Anxious People: Ketika Sandera Menjadi Keluarga
-
Ulasan 'Everything, Everything': Dinamika Madeline Lari dari Penjara Ibunya
-
Nasib Buku Fisik di Tengah Gempuran Buku Digital: Punah atau Berevolusi?
Kolom
-
Mainan Anak dan Stereotip Gender: Antara Mobil-mobilan dan Boneka
-
Qurban di Zaman Digital: Tantangan dan Harapan Generasi Muda
-
Makna Kurban dalam Kehidupan Modern: Antara Ibadah dan Kepedulian Sosial
-
Menembus Batas Budaya, Strategi Psikologis Mahasiswa Rantau
-
Antara Keringat dan Ketakutan: Saat Catcalling Membayangi Langkah Perempuan
Terkini
-
10 Rekomendasi Drama China yang Memakai Kata "Legend" pada Judulnya
-
Doyoung Usung Tema Yakin dan Percaya di Highlight Medley Album Soar Part 3
-
Jackson Wang Ungkap Rasa Sakit Jalani Hubungan Toksik di Lagu Hate To Love
-
Curug Balong Endah, Pesona Air Terjun dengan Kolam Cantik di Bogor
-
Sutradara Pastikan Doctor Doom Tak Muncul di Fantastic Four: First Steps