Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Akramunnisa Amir
Ilustrasi Buku Fisik vs. E-Book (Freepik)

Di tengah gempuran digitalisasi hari ini, perlahan-lahan eksistensi buku fisik mulai tergeser. Tidak hanya oleh konten media sosial yang menurunkan minat baca orang-orang terhadap buku, tapi kehadiran buku digital yang perlahan mengganti kehadiran buku fisik ternyata semakin digandrungi.

Dalam survei yang dilakukan oleh Rakuten Insight dalam Katadata, menunjukkan bahwa hanya sekitar 12% responden Indonesia yang membaca buku fisik. Selebihnya yakni sebanyak 83% lebih memilih untuk membaca buku digital melalui smartphone.

Laporan yang juga ditunjukkan oleh Market.us juga memperkirakan tren pasar ebook global yang akan meningkat. Yakni dari USD 18,3 miliar pada tahun 2023 yang akan mencapai USD 29,9 miliar pada tahun 2033.

Jika melihat angka tersebut, kita bisa sedikit menyimpulkan bahwa semakin hari, peran dari buku fisik mulai tergeser dengan kehadiran e-book atau buku digital.

Bagi saya pribadi, kecenderungan untuk membaca buku digital memang lebih praktis ketimbang harus menenteng buku fisik ke mana-mana.

Selain itu, adanya kemudahan untuk mengakses banyak buku dalam waktu yang singkat juga menjadi kelebihan dari penggunaan e-book ini.

Kita bisa membawa banyak buku dalam satu kali genggaman, dan juga harga yang ditawarkan buku e-book seringkali lebih murah karena diskon maupun pembelian paket langganan buku di platform baca digital.

Hal tersebut barangkali juga dirasakan oleh banyak pembaca buku lainnya. Jika sudah begini, maka timbullah pertanyaan, akankah eksistensi buku fisik ini nantinya akan punah?

Fakta ini memang sedikit mengkhawatirkan. Tapi saya tetap optimis bahwa peran buku fisik sampai kapan pun tidak akan bisa tergantikan dengan adanya e-book atau buku digital.

Ada kalanya pengalaman membaca tidak hanya ditujukan untuk menyerap pengetahuan atau isi dari buku itu sendiri. Bagi para pencinta buku, pengalaman saat menghidu aroma kertas, membalik halaman, hingga mendengarkan bunyi lembaran buku tidak bisa diperoleh dari membaca buku digital.

Meskipun terlihat sepele, tetapi nyatanya hal di atas mampu menghadirkan hubungan emosional dan perasaan puas yang tidak tergantikan dengan pengalaman menggeser layar.

Para kolektor buku, khususnya yang gemar mengoleksi buku-buku langka, buku dari penulis favorit, atau buku dengan edisi khusus tentu menjadi golongan orang-orang yang menjadi garda terdepan dalam melestarikan eksistensi dari buku fisik ini.

Meskipun ada di antara mereka yang sudah membaca buku versi digital, tapi keinginan untuk mengoleksi dan merawat buku fisik merupakan aktivitas yang mereka cintai. Hal ini tidak bisa diwujudkan jika hanya mengoleksi e-book.

Jadi, bisa disimpulkan bahwa meskipun industri buku fisik sedang terpuruk dengan adanya gelombang digitalisasi, namun buku fisik masih memiliki segmen pembacanya.

Bukannya punah, hanya saja sedang berevolusi dalam bentuk yang lebih berkembang. Adanya alternatif pilihan untuk membaca buku tidak hanya dalam bentuk fisik tetapi juga digital adalah sebuah perkembangan yang patut disyukuri juga.

Digitalisasi adalah sebuah kemudahan, tapi sasaran pasar untuk buku fisik tetap masih ada. Khususnya mereka yang merasa bahwa paparan layar gawai yang intens saat membaca buku digital terkadang menimbulkan masalah kesehatan.

Bahkan, bagi sebagian orang, buku fisik tidak lagi sekedar sumber pengetahuan dan hiburan. Buku bisa menjadi simbol dari preferensi, gaya hidup, hingga aksesoris untuk dekorasi.

Kesimpulannya, untuk saat ini buku fisik hanya sedang beralih peran dari sebuah pilihan utama menuju pilihan sadar. Para pembaca buku kini bisa memilih ingin membaca lewat media apa, sesuai dengan kenyamanannya. Dalam dunia yang saat ini serba cepat, adanya nilai-nilai personal dari kehadiran buku fisik tentu juga menjadi bagian yang tidak bisa tergantikan dengan buku digital.

Akramunnisa Amir