Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Rizky Pratama Riyanto
Ilustrasi Raja Ampat (Unsplash/Ernests Vaga)

Isu penambangan nikel di Raja Ampat menjadi sorotan publik di media sosial akibat merusak kekayaan alam. Logam yang satu ini dihasilkan di Indonesia begitu besar di dunia, bahkan permintaan nikel dalam skala global sedang meningkat karena makin bertumbuhnya industri baterai untuk mobil listrik. Namun, ini menjadi permasalahan baru karena meski memberikan dampak positif untuk transisi energi terbarukan tetapi justru mengancam ekosistem surga terakhir di bumi. 

Nikel sangat berperan penting pada produksi baterai kendaraan listrik yaitu baterai lithium-ion. Pemerintah gembar-gembor melakukan transisi energi terbarukan dengan membuat langkah-langkah penggunaan kendaraan berbahan bakar fosil beralih menjadi kendaraan berenergi listrik. Hal ini dilakukan untuk mengurangi polusi udara dari emisi gas buang yang dapat merusak iklim bumi dan gangguan kesehatan. 

Ironi dari produksi nikel walau sangat berdampak positif dalam mendukung transisi energi, tetap saja proses mendapatkannya perlu melakukan aktivitas tambang. Penambangan nikel sendiri memunculkan kedua efek di antaranya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bisa saja dapat merusak lingkungan alam. Lokasi yang menjadi sorotan masyarakat dalam penambangan nikel dan berakhir merusak kekayaan alam sudah terjadi di Kepulauan Raja Ampat. 

Nikel memang berperan penting terhadap produksi kendaraan listrik, hanya saja proses yang dilakukan masih berasal dari sumber energi kotor, salah satunya penggunaan batu bara. Meskipun tidak mengeluarkan emisi gas buang ketika digunakan, tetapi saat proses pembuatan baterai disinilah keluarnya emisi tersebut. Penggunaan kendaraan listrik di Indonesia tidak sepenuhnya merupakan energi bersih, justru dari segi proses saja masih perlu dievaluasi. 

Selain menjadi cadangan terbesar di Indonesia, nikel juga berhasil membuat deforestasi di Indonesia meluas hingga 25.000 hektar. Habis-habisan eksploitasi demi nikel, pemerintah terlupa akan mementingkan ekosistem lingkungan hidup. Kekayaan alam di Indonesia yang seharusnya dimanfaatkan di Raja Ampat, malahan dirusak begitu saja dan baru diketahui setelah isu tersebut memuncak dan viral di tengah masyarakat. 

Krisis dan tantangan hari ini dalam produksi nikel terdapat pada penambangan yang pada hakikatnya merusak lingkungan. Penambangan nikel sebelumnya sudah dilakukan seperti di Morowali (Sulawesi Tengah), Halmahera (Maluku Utara), Konawe (Sulawesi Tenggara), dan lokasi lainnya. Aktivitas penambangan di lokasi tersebut sudah memunculkan peristiwa alam seperti banjir, merusak lingkungan, menekan ekonomi dan merugikan masyarakat setempat. 

Tidak hanya didapatkan dari tambang, nikel juga menjadi salah satu logam yang mudah didaur ulang. Mendaur ulang nikel memang belum sepenuhnya dapat dilakukan di Indonesia, beberapa perusahaan juga mulai menjajaki pabrik daur ulang listrik untuk mendukung daur ulang nikel, salah satunya Pertamina NRE. Pengelolaan limbah untuk baterai listrik pun hingga saat ini belum dapat terkelola dengan baik oleh negara. 

Jika memang tetap ingin mendapatkan nikel dari hasil tambang, maka lakukan penambangan dengan mencari wilayah yang berpotensi tinggi menghasilkan nikel tetapi minim konflik sosial dan ekologis. Dengan memperhatikan aspek kondisi lingkungan dan ekosistem sekitar, pemerintah diharapkan tidak asal melakukan tambang di manapun. Daur ulang baterai usahakan dipercepat walau masih merangkak, hal ini ditujukan agar tidak menimbulkan krisis yang berkelanjutan. 

Pada tahun 2030 mendatang, jumlah limbah baterai seiring meningkat akan penggunaan kendaraan listrik. Maka pemerintah harus bersiap melakukan daur ulang baterai. Oleh karena itu, aktivitas tambang yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini harus dievaluasi karena makin banyak kerugian dan dampak buruk telah terjadi. Daur ulang baterai juga perlu diperhatikan oleh pemerintah dan tidak hanya fokus melakukan pertambangan saja, tentunya untuk mewujudkan Net Zero Emissions dengan energi hijau terbarukan di Indonesia.

Rizky Pratama Riyanto