Di kota-kota besar, toko buku tumbuh di mal-mal megah, perpustakaan digital bisa diakses lewat gawai, dan komunitas baca hadir hampir di setiap sudut kota.
Namun di balik gemerlap akses tersebut, ada sisi lain Indonesia yang masih kesulitan sekadar mendapatkan buku cerita bergambar atau kamus sederhana.
Di desa-desa pelosok, perkampungan yang jauh dari akses fasilitas umum seperti perpustakaan, atau daerah terluar, bahan bacaan adalah barang yang langka.
Perpustakaan sekolah seharusnya menjadi jantung dari budaya literasi, bukan sekadar ruang kosong dengan rak-rak berdebu.
Terutama di jenjang sekolah dasar, perpustakaan berperan penting dalam memperkenalkan anak-anak pada dunia cerita, imajinasi, dan pengetahuan di luar buku pelajaran.
Namun sayangnya, banyak perpustakaan sekolah yang tidak mengalami pembaruan koleksi selama bertahun-tahun. Buku-buku yang tersedia sudah usang, tidak relevan, bahkan tidak layak baca.
Anak-anak pun akhirnya kehilangan minat karena tidak menemukan bacaan yang menarik atau sesuai usia mereka. Pembaruan koleksi dan perbaikan fasilitas perpustakaan harus menjadi prioritas.
Buku-buku baru yang menarik, ilustratif, dan sesuai dengan perkembangan zaman bisa memicu rasa ingin tahu dan cinta membaca sejak dini.
Lebih dari itu, sekolah-sekolah harus diberikan pelatihan dan pendampingan agar perpustakaan tidak hanya berfungsi sebagai tempat menyimpan buku semata.
Perpustakaan juga dijadikan ruang belajar yang hidup, penuh kegiatan literasi, hingga diskusi dan berbagi cerita. Dengan begitu, perpustakaan sekolah dasar tidak hanya menjadi tempat wajib, tapi juga tempat favorit bagi setiap murid.
Literasi rendah bukan semata-mata soal kemauan, melainkan juga kesempatan. Sering kali, masyarakat desa disalahkan karena dianggap tak memiliki minat baca.
Padahal, bagaimana mungkin minat bisa tumbuh jika buku saja tak pernah hadir? Bagaimana mungkin anak-anak bisa mengenal dunia luar jika bahan bacaan hanya sebatas buku paket pelajaran usang yang sudah lusuh dimakan waktu?
Kesenjangan literasi antara kota dan desa nyata adanya. Di satu sisi, anak-anak di kota bisa membaca buku terbaru dengan mudah, mengikuti tren penulis populer, bahkan bisa meminjam dari aplikasi berbasis daring.
Di sisi lain, ada anak-anak yang bahkan belum pernah memegang buku cerita karena perpustakaan sekolahnya kosong dan tak diperbarui sejak bertahun-tahun lalu.
Banyak sekolah di pedalaman yang perpustakaannya hanya menjadi formalitas, ruang kosong dengan rak penuh debu. Buku-buku di dalamnya adalah sisa-sisa pengadaan lama yang tak lagi relevan.
Jangankan novel fiksi atau ensiklopedia anak, kamus Bahasa Inggris-Indonesia pun kadang tak tersedia. Di sinilah letak ironi sebuah negara yang menggaungkan budaya literasi, namun gagal menghadirkan keadilan literasi.
Literasi tidak hanya lahir dari kampanye, tapi dari distribusi bahan bacaan yang merata. Dari intervensi kebijakan yang sadar akan kesenjangan sosial.
Dari komitmen untuk menjadikan membaca sebagai hak, bukan hanya peluang yang dinikmati oleh mereka yang tinggal di pusat kota.
Berbagai inisiatif swadaya masyarakat seperti motor pustaka, perahu buku, hingga gerakan relawan bacaan patut diapresiasi. Namun itu saja tidak cukup.
Pemerintah perlu menjadikan literasi sebagai agenda pembangunan inklusif. Sekolah-sekolah di pelosok harus diprioritaskan dalam distribusi buku bermutu. Perpustakaan disetiap sekolah harus ditingkatkan kualitas dan kuantitasnya.
Tanpa keadilan dalam akses bacaan, kita akan terus menciptakan kesenjangan pengetahuan. Kota akan terus maju dengan generasi pembaca, sementara desa tertinggal karena tak diberi kesempatan yang sama.
Maka, saat kita bicara soal literasi rendah, mari berhenti menyalahkan mereka yang tak membaca. Mulailah bertanya, sudahkah buku benar-benar sampai ke tangan mereka?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
5 Fakta Menarik Novel Animal Farm Jelang Adaptasi Film di Tahun 2026
-
Ulasan Novel Cantik Itu Luka: Ketika Kecantikan Menjadi Senjata dan Kutukan
-
Ulasan Film Qorin 2: Mengungkap Isu Bullying dalam Balutan Horor Mencekam
-
3 Daftar Novel Dee Lestari yang Akan Diadaptasi Menjadi Serial Netflix
-
Bullying dan Kesehatan Mental Anak: Mengapa Sekolah Belum Menjadi Ruang Aman?
Artikel Terkait
-
Desa Jadi Mesin Ekonomi: Kisah Sukses Revitalisasi Pedesaan di China
-
Dedi Mulyadi Skakmat Aksi Kepala Desa Cirebon Nyawer di Kelab Malam
-
Dorong Ekonomi Desa, LPDB Siapkan Pembiayaan untuk 80 Kopdes Usai Terbitnya Permenkop Baru
-
Tol Bogor-Serpong Lewat Parung Segera Dibangun, Ini Daftar 14 Desa yang Dilewati
-
Semedja Javanese Cuisine, Surga Kuliner Jawa di Tengah Kota Jambi
Kolom
-
Dari Warisan Kolonial ke Kota Sporadis: Mengurai Akar Banjir Malang
-
Jejak Ketangguhan di Pesisir dan Resiliensi yang Tak Pernah Padam
-
Mengapa Widji Thukul Terasa Asing bagi Generasi Hari Ini?
-
Second Child Syndrome: Mengapa Anak Kedua Kerap Dianggap Lebih Pemberontak?
-
Dari Pesisir Belitung, Lahir Harapan Baru untuk Laut yang Lebih Baik
Terkini
-
CERPEN: Kali Ini Izinkan Aku Selingkuh
-
Trailer Live-Action Look Back Resmi Dirilis Adaptasi Manga Tatsuki Fujimoto
-
Marsha Aruan Kunjungi Masjid Agung Sheikh Zayed di Dubai, Netizen: Mualaf?
-
Aktor James Ransone Tutup Usia di Umur 46 Tahun, Ini Penyebabnya!
-
7 Teknik Jepang untuk Atasi Overthinking yang Bisa Kamu Coba