Kesuksesan bisa diraih apabila usaha dan doa orang tua berjalan dengan beriringan. Begitulah pesan yang dapat diambil dari sebuah novel fenomenal Dompet Ayah Sepatu Ibu karya J.S. Khairen.
J.S. Khairen dikenal sebagai penulis novel Indonesia yang telah menerbitkan beberapa novel yang banyak digemari para pembaca, salah satunya adalah novel yang berjudul Dompet Ayah Sepatu Ibu yang telah menjadi novel Mega Best Seller.
Novel ini diketahui merupakan sebuah karya yang ditulis oleh Khairen berdasarkan kisah nyata yang terinspirasi dari cerita kedua orang tuanya, yang berlatar di Sumatera Barat.
Novel ini menceritakan tentang perjuangan seorang anak yang ingin meraih cita-citanya dengan menempuh pendidikan yang layak demi mengangkat derajat keluarganya.
Ditulis dari dua poin of view, Zenna dan Asrul, dua tokoh utama yang menceritakan peruangan sebagai seorang sarjana pertama dalam keluarga.
Tokoh utama perempuan, Zenna, diceritakan tinggal di daerah yang berada di punggung Gunung Singgalang, dan tokoh utama laki-laki, Asrul, digambarkan tinggal di daerah yang berada di punggung Gunung Marapi.
Novel ini menjadi cermin realistis bagi para first-generation graduates, tentang beban harapan dan perjuangan yang harus mereka pikul sebagai seorang sarjana pertama di keluarga.
Novel ini menarasikan Zenna dan Asrul yang sama-sama berasal dari keluarga dengan keterbatasan ekonomi. Dalam konteks ini, pendidikan tinggi, status sarjana bukanlah sekadar pencapaian pribadi, melainkan sebuah usaha untuk mengangkat derajat keluarga.
Ketika seseorang dari latar belakang miskin berhasil masuk perguruan tinggi, ia membawa serta janji perubahan nasib bagi seluruh kerabat. Beban ini terasa begitu berat.
Seorang sarjana pertama harus menyeimbangkan antara tuntutan akademik yang tinggi dengan tanggung jawab finansial sebagai tulang punggung keluarga, bahkan saat mereka sendiri masih berjuang membiayai kuliah dan hidup di perantauan.
Menjadi seorang sarjana pertama di keluarga, di satu sisi, ada kebanggaan luar biasa, rasa hormat dari keluarga dan masyarakat. Di sisi lain, ada rasa bersalah yang menusuk.
Mereka harus merantau jauh dari rumah, meninggalkan orang tua yang mungkin membutuhkan bantuan fisik atau finansial, hanya demi mengejar selembar ijazah.
Zenna dan Asrul diceritakan harus jatuh bangun mencari uang, bekerja serabutan, bahkan menghadapi cemooh, demi tetap bisa sekolah dan meringankan beban keluarga.
Perjuangan mereka adalah representasi nyata bahwa biaya untuk sebuah gelar sarjana bagi mereka tidak hanya diukur dari uang kuliah, tetapi juga dari keringat, air mata, dan kerinduan yang harus ditahan.
Seringkali, masyarakat mengira bahwa setelah upacara wisuda, pintu kesuksesan akan terbuka lebar. Namun, dalam novel Dompet Ayah Sepatu Ibu menunjukkan bahwa tantangan justru baru dimulai setelah gelar sarjana didapat.
Gelar tidak serta merta menjamin pekerjaan instan atau gaji tinggi. Sarjana pertama harus menghadapi realitas pahit di dunia kerja, di mana persaingan sangat ketat dan jaringan (networking) mereka terbatas.
Mereka tidak memiliki jaring pengaman finansial seperti teman-teman dari keluarga berada. Setiap masa menganggur setelah lulus terasa seperti kegagalan, karena di kampung halaman, keluarga dan tetangga sudah menanti kabar baik.
Novel ini sangat cocok dibaca untuk semua kalangan karena pesan yang disampaikan dalam novel ini dapat menjadi pembelajaran hidup bahwa usaha dan doa orang tua adalah kunci utama keberhasilan.
Selain itu, novel ini juga memiliki makna yang sangat menyentuh tentang makna keluarga, perjuangan, dan ketahanan di tengah kemiskinan.
Jika kamu tertarik dengan tema-tema novel yang bertema heartwarming, novel Dompet Ayah Sepatu Ibu ini akan sangat cocok untuk kamu baca.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
5 Rekomendasi Novel Berlatar Masa Kolonial Hindia Belanda di Indonesia
-
5 Rekomendasi Novel Slice of Life yang Penuh dengan Nilai-Nilai Kehidupan
-
Minat Baca Tinggi, Akses Belum Merata: Akar Masalah Literasi di Indonesia
-
5 Rekomendasi Novel untuk Membaca Ulang Peristiwa Sejarah Tahun 1998
-
Solo Activity Bukan Tanda Kesepian, tetapi Bentuk Kemandirian Emosional
Artikel Terkait
-
Gaji Program Magang Nasional Dijamin Tak Telat, Langsung Dibayar dari APBN
-
Ulasan Novel Karung Nyawa: Nggak Hanya Klenik Semata, Tapi Full Kekecewaan!
-
Novel Ada Zombie di Sekolah: Ketika Pesta Olahraga Berubah Jadi Mimpi Buruk
-
Ulasan Novel Rumah Lentera: Teenlit Yang Nggak Cuma Omong Kosong Remaja
-
Kios Buku di Tengah Wisata Edukasi: Sudut Yang Hampir Terlupakan
Ulasan
-
Ulasan Film Pipeline: Seo In Guk Jadi Tukang Bor Nyentrik yang Bikin Ngakak
-
Ulasan Novel The Game of Love: Hidup Bersama Tanpa Menaruh Rasa
-
Review Film Agak Laen: Menyala Pantiku! Lebih Ngakak, Hangat, dan Menyala
-
Ulasan Film Pawn, Perjalanan Haru Jaminan dan Rentenir yang Jadi Keluarga
-
5 Rekomendasi Novel Berlatar Masa Kolonial Hindia Belanda di Indonesia
Terkini
-
4 Ide Fashion Zhou Yiran: Effortlessly Stylish dengan Clean Look
-
Selingkuh hingga Poligami Publik Figur: Mengapa Ramai Jadi Konsumsi Medsos?
-
Inara Rusli Laporkan Dugaan CCTV Rumah Dibobol, Nama Virgoun Ikut Terseret?
-
Indy Masuk Nominasi Akting, Jadi Anjing Pertama yang Raih Pengakuan Ini
-
Nova Arianto Ditunjuk Latih Timnas U-20, Realisasi Jangka Panjang PSSI