Hikmawan Firdaus | Ruslan Abdul Munir
Novel Ca-Bau-Kan Karya Remy Sylado (Dok. Pribadi/Ruslan Abdul Munir)
Ruslan Abdul Munir

Novel Ca-Bau-Kan karya Remy Sylado adalah sebuah sastra klasik Indonesia yang melampaui batas fiksi biasa. Novel ini hadir sebagai dokumen sejarah sosial, studi linguistik, dan sekaligus ratapan pahit atas nasib perempuan terpinggirkan di masa lalu.

Novel ini secara mendalam mengangkat kisah kehidupan budaya Tionghoa peranakan di Indonesia, membentang dari era kolonial Belanda, pendudukan Jepang, hingga awal perjuangan kemerdekaan.

Dengan ketebalan narasi dan kekayaan detailnya, Ca-Bau-Kan adalah novel yang menuntut perhatian dan meninggalkan kesan mendalam bagi pembacanya.

Cerita utama novel ini dipicu oleh sebuah pencarian jati diri yang mengharukan. Berawal dari Geraldine, seorang perempuan dari Belanda yang datang ke Indonesia untuk menelusuri asal-usul ibunya.

Ia akhirnya menemukan fakta yang mengejutkan bahwa ibunya ternyata adalah seorang ca-bau-kan, istilah yang merujuk pada perempuan penghibur di kalangan masyarakat Tionghoa.

Penelusuran ini mengungkap kisah Tinung, sang ibu, yang nasibnya terjalin dengan dua laki-laki keturunan Tionghoa yang kebetulan bernama sama, Tan Peng Liang, satu dari Bandung dan satu dari Semarang.

Kisah Tinung adalah inti dari kekejaman sosial yang diangkat novel ini. Hubungannya dengan Tan Peng Liang asal Bandung, seorang rentenir yang kejam dan tak segan melakukan hal-hal keji di depan mata Tinung, dipenuhi ketakutan dan penderitaan.

Kekejaman ini memaksa Tinung melarikan diri ke rumah orang tuanya. Namun, ironi terbesar terkuak, alih-alih dilindungi, keluarga dan kerabatnya malah menyuruh Tinung kembali menjadi ca-bau-kan, bahkan saat ia sedang mengandung anak dari pria itu.

Kisah ini dengan sangat gamblang menggambarkan isu budaya patriarki di masa itu, di mana perempuan pribumi diposisikan sebagai objek kekuasaan laki-laki, rentan terhadap kekerasan dan pelecehan, dan bahkan dikhianati oleh darah dagingnya sendiri.

Perjuangan Tinung untuk melawan ketidakadilan gender dan patriarki menjadi benang merah yang menggetarkan jiwa. Penulis sangat cerdas dalam menggambarkan setiap detail cerita, sehingga pembaca selalu merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi.

Kontras mencolok ditampilkan melalui sosok Tan Peng Liang asal Semarang. Pria ini digambarkan memiliki sifat yang jauh lebih penyayang dan memiliki semangat nasionalis, meski ia tetap seorang pengusaha kaya yang penuh perhitungan.

Ia bahkan mencetak uang palsu untuk mendanai perjuangan melawan pemerintah kolonial yang menindas rakyat. Namun, tindakan heroik ini berujung tragis, ia terbongkar dan harus melarikan diri ke Macau, meninggalkan Tinung dan anak-anaknya.

Perpisahan ini menambah duka mendalam bagi Tinung, apalagi kondisi ekonomi yang sulit membuatnya harus merelakan kedua anaknya diadopsi oleh suami istri Belanda yang menjanjikan pengobatan.

Penderitaan Tinung diperparah oleh fakta bahwa keluarganya buta huruf. Kabar terakhir melalui surat dari Belanda, yang berisi berita duka tentang salah satu anaknya yang meninggal, tidak bisa dipahami Tinung. Ketidakmampuan membaca surat itu menjadi simbol betapa rentannya posisi sosial Tinung.

Kekuatan narasi Remy Sylado terletak pada kekayaan linguistik yang luar biasa. Novel ini adalah pesta bahasa, menggabungkan bahasa Tionghoa, Jawa, Betawi, Sunda, Belanda, Jepang, hingga bahasa-bahasa dengan ejaan lama.

Keragaman ini tidak hanya menghidupkan latar multikultural pada masa itu, tetapi juga mengukuhkan Remy Sylado sebagai sastrawan yang piawai.

Istilah-istilah asing yang digunakan tidak lantas membingungkan pembaca karena dijelaskan melalui footnote, membuat novel ini tetap mudah diakses.

Selain itu, unsur romansa di dalamnya juga digarap dengan sangat pas dan tidak berlebihan, menjadi bumbu yang menguatkan perjuangan para tokoh.

Meskipun secara keseluruhan novel ini dipuji karena kedalaman temanya, ada beberapa catatan kecil, di antaranya adalah hadirnya beberapa tokoh yang dirasa kurang penting dalam alur cerita.

Selain itu, penamaan Tionghoa yang beragam dan sulit dihafal mungkin menjadi tantangan tersendiri bagi para pembaca yang kurang familiar dengan nama-nama Tionghoa.

Namun, hal ini tertutup oleh kedalaman refleksi filosofis yang disajikan melalui kutipan-kutipan menyentuh, seperti renungan tentang ketidakadilan di pengadilan, kerendahan hati dalam melihat diri, dan kekuatan kerja keras.

Novel ini dapat menjadi pengingat bahwa di balik kisah-kisah yang terpinggirkan, tersimpan sejarah bangsa yang kaya, pahit, namun sarat makna. Ini adalah warisan sastra yang wajib kamu baca untuk memahami mozaik budaya dan perjuangan perempuan di masa lalu.