Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Ruslan Abdul Munir
Ilustrasi seorang pria memegang buku (Pexels/Cottonbro Studio)

Bagi banyak pembaca buku, kadang kala ada satu momen yang sering terasa seperti dilema ketika sebuah buku terasa membosankan, tidak relate, atau bahkan mengganggu, tapi tetap dipaksa untuk diselesaikan.

Alasannya biasanya sangat beragam, ada rasa bersalah, ada harapan ceritanya akan membaik di tengah jalan, atau bahkan hanya karena merasa sayang sudah dibeli.

Namun dalam dunia membaca, ada satu istilah yang mulai populer dan sebetulnya cukup membebaskan, yaitu DNF alias Did Not Finish.

Artinya, buku tersebut tidak diselesaikan hingga halaman terakhir. Dan, tak perlu merasa berdosa karenanya, karena itu adalah hal yang wajar.

Munculnya istilah DNF mengajarkan kita satu hal penting bahwa kita berhak memilih untuk tidak menyelesaikan sebuah buku yang sedang kita baca karena suatu alasan tertentu.

Membaca bukanlah kewajiban yang mutlak harus dituntaskan. Apalagi jika kita membaca untuk menikmati, bukan untuk mengejar target atau pamer jumlah buku yang telah berhasil dibaca.

Setiap pembaca tentunya punya selera dan kebutuhan yang berbeda. Apa yang membuat satu orang terhanyut, bisa jadi justru membuat orang lain sama sekali tidak bisa merasakannya.

Kadang kita DNF karena genrenya kurang cocok, gaya penulisan terasa berat atau terlalu berlebihan, atau isi bukunya yang terlalu jauh dari pengalaman kita. Dan itu adalah hal yang sah-sah saja.

Membaca seharusnya tidak menjadi beban, karena itu adalah aktivitas yang dilakukan karena dorongan dan keinginan hati. Jika satu buku terasa tidak menyenangkan, kita boleh berhenti dan pindah ke buku lain.

Hal ini sama halnya seperti kita berhenti nonton sebuah film yang dirasa tidak menarik, atau mengganti playlist lagu yang mungkin tidak sesuai suasana hati kita saat itu.

Yang perlu kita sadari juga adalah tidak semua buku ditulis untuk semua orang. Setiap buku biasanya punya target pembaca tertentu.

Jadi ketika kita tidak nyambung dengan salah satu buku, itu bukan karena kita kurang pintar atau kurang sabar, tapi karena mungkin memang bukan waktunya atau bukan untuk kita.

Kebebasan untuk DNF juga membantu kita menjaga agar tetap semangat dalam membaca. Memaksakan diri menyelesaikan buku yang tidak kita nikmati justru bisa membuat kita jenuh, bahkan trauma untuk mulai membaca lagi.

Padahal, di luar sana masih banyak buku yang menunggu untuk kita temukan dan mungkin jauh lebih cocok untuk kita baca. Maka dari itu, sebelum mulai membaca kita juga sebisa mungkin meminta ulasan kepada orang lain yang telah membaca agar keputusan kita lebih tepat.

Sebetulnya tidak ada salahnya juga ketika kita ingin mencoba membaca genre baru diluar kebiasaan kita. Yang jadi perhatian dalam hal ini adalah ketika kita tidak bisa menyesaikan buku yang kita baca apabila tidak sesuai dengan selera kita.

Kadang orang beranggapan, ketika kita sudah membaca maka kita harus menyelesaikannya. Namun, pada dasarnya semua tergantung kepada selera masing-masing, sehingga lahirlah konsep DNF.

Tentu saja, ini tidak berarti kita harus gampang menyerah. Kadang, buku yang sulit di awal justru memberikan kejutan besar di akhir. Tapi kita harus jujur pada diri sendiri apakah kita sedang membaca karena ingin, atau karena merasa harus?

Dengan memahami dan menerima konsep DNF, kita sedang membangun relasi yang lebih sehat dengan kegiatan membaca. Tidak semua yang tidak selesai itu sia-sia. Mungkin dari 50 halaman pertama, kita tetap dapat satu kalimat penting yang membekas. Dan itu sudah cukup.

Jadi, jangan takut kalau kamu tiba-tiba berhenti di tengah jalan ketika membaca karena merasa ada hal yang kurang menarik atau tidak sesuai selera. Tak semua buku harus selesai dibaca. Yang penting, kita terus membaca dengan jujur, sadar, dan bahagia.

Ruslan Abdul Munir